Iman dan Amal Shaleh: Benteng Kuat dari Budaya Konsumtif
Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran
Budaya konsumtif telah menjadi fenomena global yang tidak dapat dihindari, termasuk di Indonesia. Gaya hidup yang memprioritaskan materi, kemewahan, dan kepemilikan sering kali menjadi tolok ukur kesuksesan. Budaya ini tidak hanya menyerang wilayah urban, tetapi juga merembes hingga ke pedesaan, membawa dampak negatif seperti pemborosan, utang, dan hilangnya rasa syukur. Dalam menghadapi gempuran budaya ini, umat Islam memiliki benteng kuat yang telah diajarkan sejak lama: iman dan amal shaleh.
Secara umum, konsumtif berasal dari kata "konsumsi," yang merujuk pada kegiatan mengonsumsi barang dan jasa. Namun, konsumtif memiliki konotasi negatif karena merujuk pada pembelian yang tidak rasional atau berlebihan. Perilaku konsumtif cenderung dipengaruhi oleh dorongan emosional, tekanan sosial, atau pengaruh iklan yang kuat.
Secara sosiologis, adalah pola hidup yang menekankan pada konsumsi barang dan jasa secara berlebihan tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang sebenarnya. Media sosial, iklan, dan gaya hidup modern sering kali menjadi pemicu utama.
Dalam Islam, gaya hidup seperti ini bertentangan dengan prinsip qana'ah (merasa cukup) dan zuhud (menjauhkan diri dari cinta dunia yang berlebihan). Allah SWT memperingatkan kita dalam Al-Qur'an:
Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak... (QS. Al-Hadid [57]: 20).
Ayat ini mengingatkan kita bahwa orientasi terhadap materi tidak lebih dari permainan dan tipuan belaka. Konsumtif adalah cerminan hati yang kurang memiliki rasa syukur, dan solusi terbaiknya adalah memperkuat iman serta beramal shaleh.
Berkenaan dengan ayat ini Imam At-Tabari menjelaskan bahwa ayat ini mengingatkan manusia agar tidak terjebak dalam kenikmatan duniawi yang bersifat sementara, seperti permainan dan hiburan yang tidak memberi manfaat kekal. Dunia ini, menurutnya, adalah tempat ujian, dan segala yang ada di dunia tidak sebanding dengan kehidupan akhirat yang abadi.
At-Tabari juga mengartikan "permainan dan senda gurau" sebagai metafora untuk segala hal yang menarik perhatian manusia, namun pada akhirnya tidak membawa manfaat yang signifikan bagi kehidupan spiritual atau kekal mereka. Hal ini mengingatkan umat agar tidak terfokus pada kenikmatan duniawi, tetapi lebih pada keimanan dan ketakwaan, yang akan membawa pahala di sisi Allah.
Iman sebagai Pondasi
Iman adalah kepercayaan yang teguh kepada Allah SWT, termasuk yakin akan rezeki, takdir, dan kehidupan akhirat. Seorang mukmin yang kokoh imannya akan memiliki pemahaman mendalam bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara, sedangkan kehidupan akhirat adalah tujuan utama.
Allah SWT berfirman:
Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, Kami akan sempurnakan balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka. (QS. Hud [11]: 15-16).
Ayat ini memperingatkan bahwa orientasi yang hanya terpusat pada dunia akan membawa kehancuran di akhirat. Iman yang kokoh mengajarkan kita untuk menempatkan dunia pada tempatnya: sebagai alat, bukan tujuan.
Menurut Yunahar Ilyas, seorang cendekiawan Muslim Indonesia, dunia dipandang sebagai tempat ujian dan persinggahan sementara, sementara akhirat adalah tujuan sejati setiap individu. Dalam perspektif ini, segala aktivitas di dunia, meski penting, harus diarahkan untuk meraih kebahagiaan yang abadi di akhirat. Dunia dengan segala kenikmatannya tidak boleh membuat seseorang terbuai, karena tujuan hidup sebenarnya adalah untuk beribadah kepada Allah dan mempersiapkan diri untuk kehidupan yang kekal di akhirat. Oleh karena itu, hidup di dunia harus dilalui dengan sikap yang bijak, dengan tetap menjaga keseimbangan antara memenuhi kebutuhan duniawi dan tidak melupakan kewajiban-kewajiban spiritual.
Implementasi Iman
Amal shaleh adalah bentuk nyata dari iman yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Amal ini meliputi perbuatan baik yang mendatangkan manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain, seperti sedekah, infaq, menolong sesama, dan menjaga lingkungan.
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan berkurang harta karena sedekah, dan Allah akan menambah kemuliaan bagi seorang hamba yang pemaaf.” (HR. Muslim).
Dengan beramal shaleh, seorang Muslim tidak hanya mencegah dirinya dari sifat konsumtif, tetapi juga melatih untuk berbagi dan peduli kepada sesama. Dengan melakukan amal shaleh, seseorang dapat menyeimbangkan antara kebutuhan pribadi dan tanggung jawab sosial. Sifat konsumtif yang berlebihan cenderung mengarah pada ketidakpedulian terhadap orang lain, sedangkan amal shaleh mendorong individu untuk berbagi, membantu, dan memberikan manfaat kepada orang lain. Dalam konteks ini, amal shaleh berfungsi sebagai pengingat bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya datang dari kepuasan pribadi, tetapi juga dari kemampuan untuk memberikan kebaikan kepada sesama.
Sedekah, misalnya, adalah cara terbaik untuk membersihkan hati dari cinta dunia yang berlebihan. Melalui sedekah, seorang Muslim diajarkan untuk melepaskan keterikatan emosional dengan harta dan memperkuat kecintaan kepada Allah, sehingga hati menjadi lebih bersih dan jauh dari godaan duniawi. Sedekah menjadi cara untuk mencapai kebersihan hati dan mendekatkan diri kepada Allah.
Sungguh, hartamu yang paling baik adalah yang kamu berikan sebagai sedekah. (HR. Muslim)
Dari hal ini maka amal shaleh bukan hanya sekedar perwujudan iman. Namun secara lebih mendalam amal shaleh adalah pengontrol nafsu konsumtif manusia dengan memberikan kesadaran berupa
Pertama, Menumbuhkan Kesadaran akan Akhirat:
Orang yang beriman selalu menyadari bahwa apa yang mereka miliki hanyalah titipan. Kesadaran ini menahan mereka dari pemborosan dan hasrat memiliki sesuatu hanya untuk pamer.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia. (QS. Al-Qashash [28]: 77).
Ayat ini menyeimbangkan kebutuhan dunia dan akhirat. Islam tidak melarang menikmati dunia, tetapi melarang pemborosan dan sikap tamak.
Kedua. Melatih Sifat Qana’ah (Merasa Cukup):
Orang yang memiliki iman kuat akan merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan. Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan merasa puas dengan apa yang Allah berikan kepadanya.” (HR. Muslim).
Qana’ah adalah kunci untuk menghindari gaya hidup konsumtif. Dengan rasa cukup, seorang Muslim tidak akan mudah terpengaruh oleh gaya hidup mewah yang sering kali hanya memperbudak hati.
Ketiga. Mengutamakan Amal daripada Barang:
Amal shaleh mengarahkan energi dan perhatian kita pada hal-hal yang lebih bermanfaat daripada mengejar kepemilikan materi. Rasulullah SAW menegaskan: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ahmad).
Orang yang fokus pada amal shaleh akan menggunakan hartanya untuk membantu sesama daripada membuangnya untuk keinginan yang tidak perlu.
Tantangan di Era Modern
Di era digital, iman dan amal shaleh sering kali diuji dengan kemudahan akses terhadap kemewahan. Platform media sosial mempromosikan gaya hidup konsumtif, sementara diskon dan penawaran menarik membuat seseorang mudah tergoda untuk membeli sesuatu yang sebenarnya tidak diperlukan. Solusi utama adalah kembali kepada prinsip Islam:
Pertama. Meningkatkan Kesadaran Diri: Dengan rutin berdzikir dan membaca Al-Qur'an, hati akan lebih terarah untuk tidak mudah tergoda.
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram. (Ar-Ra'du [13]: 28]
Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus...(Al-Isra' [17]: 9)
Kedua. Mengatur Keuangan dengan Bijak: Islam mengajarkan pentingnya perencanaan keuangan, seperti membagi harta untuk kebutuhan, tabungan, dan sedekah.
Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Dan janganlah kamu menghabiskan harta secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah makhluk yang sangat ingkar kepada Tuhannya. (Al-Isra' [17]: 26-27)
Ketiga. Berkumpul dengan Lingkungan Positif: Bergaul dengan orang-orang shaleh akan mengingatkan kita untuk menjalani hidup sederhana. Rasululullah bersabda,
"Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Adapun penjual minyak wangi, bisa jadi ia memberimu minyak wangi atau kamu membeli darinya, atau kamu mencium bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi ia membakar pakaianmu atau kamu mencium bau busuk darinya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa berkumpul dengan orang-orang yang baik, seperti penjual minyak wangi, akan memberi manfaat, baik itu berupa ilmu, nasihat, atau kebaikan lainnya. Sebaliknya, berkumpul dengan orang yang buruk dapat membawa pengaruh negatif.
Dengan ketiga kiat di atas iman dan amal shaleh adalah benteng utama untuk melindungi diri dari budaya konsumtif yang terus menggerogoti kehidupan modern. Dengan iman, kita menyadari bahwa dunia hanyalah persinggahan. Dengan amal shaleh, kita mengarahkan energi untuk membantu sesama dan mendekatkan diri kepada Allah. Allah SWT berfirman:
Barangsiapa mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik. (QS. An-Nahl: 97).
Mari jadikan iman dan amal shaleh sebagai kompas hidup kita. Dengan begitu, kita tidak hanya selamat dari jebakan budaya konsumtif, tetapi juga memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.