IMM: Kedekatan dengan Penguasa dan Makna Diaspora Kader
Oleh: Mansurni Abadi, Mantan Pengurus RPK IMM Malaysia
Tentu amat disayangkan jika merah maroon yang menjadi kawah candradimukanya para kaum terpelajar Muhammadiyah yang kelak akan menjadi pemikir, pemimpin, dan pejuang bagi umat dan bangsa itu menjadi objek humor akibat ulah sebagian kecil pengurusnya di tingkat pusat yang menurut banyak kader di akar rumput dinilai blunder karena terlalu terbuka menunjukkan keterpihakan kepada salah satu poros politik dengan membawa pengurus yang masih aktif lengkap dengan simbol IMM.
Jika berangkat dari hak politik seorang warga negara, memang tidak ada yang salah ketika aktivis Muhammadiyah apalagi jika sudah berstatus mantan pengurus memutuskan untuk bergabung dengan salah satu kekuatan politik, saya pun bergabung dengan salah satu cabang partai politik di luar negeri semenjak tidak aktif lagi di pengurusan.
Oleh karena itu dalam merespons isu ini, baik dari sisi pro maupun kontra mestilah bijaksana, bukan pada pilihan politiknya yang kita hakimi dan jangan sampai pula ada pembulian yang tidak sesuai dengan budaya IMM yang religius, humanis, dan intelektual itu.
Toh konteks hak politik itu memang praksisnya dapat menjadi relawan, pengurus, atau pemimpin masyarakat dari salah satu partai politik asalkan tindakan itu perlu mengambil jarak dengan keorganisasian Muhammadiyah yang masih digeluti dan tidak menggunakan persyarikatan sebagai kendaraan untuk masuk ke pusara syahwat kekuasaan yang menguntungkan salah satu pihak.
Jika hal ini terjadi, maka tindakan itu akan mengkhianati netralitas Muhammadiyah terhadap politik praktis, membuka peluang konflik antar sesama warga persyarikatan terutama sesama kader IMM yang bisa menggerus kepercayaan dan kolektivitas kelompok, mencetuskan labeling negatif di tengah masyarakat luas, dan berpotensi membuka ruang terinfiltrasinya agenda kekuasaan ke dalam tubuh organisasi sehingga objektivitas dan responsi organisasi itu terhadap hal-hal mungkar dari kekuasaan menjadi tertutupi.
Dalam kejadian yang baru-baru ini viral kalau kita tarik ke belakang, sebenarnya tidaklah mengherankan seakan telah seperti plot twist dari gerakan cawe-cawe yang sudah terbangun sejak masa-masa pemilu 2024, di mana bermunculan poros dukungan terhadap kesemua paslon yang membawa-bawa nama Muhammadiyah terutama di kalangan generasi mudanya.
Memikirkan Ulang Kedekatan dengan Penguasa
Dekat dengan kekuasaan itu tidaklah salah, apalagi IMM sebagai gerakan sipil yang lekat dengan tugas mewujudkan negara dan bangsa ke arah yang lebih baik, sebagaimana makna dari gerakan sipil itu sendiri yang diungkapkan oleh Bauman, menjadikan IMM tidak harus selalu berhadap-hadapan dalam gelombang aksi massa apalagi menutup ruang kepercayaan terhadap kekuasaan sehingga saling menegasikan.
Strategi dan taktis perjuangan IMM ketika berhadapan dengan kekuasaan, tentu bukan untuk menggelorakan pembangkangan sipil apalagi insureksi ala-ala anarko tetapi pendekatan yang penuh kebijaksanaan yang tidak bersifat ghuluw (melampaui batas) sehingga menciptakan ketidakstabilan bagi bangsa dan negara.
Oleh karena itu, kalau dicermati kita tentu masih bersikap objektif untuk menilai mana yang sudah baik dilakukan dan mana yang masih harus diperbaiki dari kekuasaan meskipun presentase mana yang baik dan buruk itu bisa jomplang. Tapi kita masih percaya kemungkinan-kemungkinan baik yang dapat diciptakan ketika masuk ruang kekuasaan dengan tujuan menciptakan negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur.
Dari sini saja menjadi wajar ketika IMM mesti duduk satu meja dengan pihak penguasa bahkan menjadi bagian dari kekuasaan dengan tujuan untuk menciptakan dampak yang diidealkan, menyelesaikan persoalan yang sedang diresahkan, atau mendapatkan akses dukungan finansial dan non finansial dengan batas-batas sewajarnya.
Bahkan strategi ini pernah digunakan oleh K.H Ahmad Dahlan pada saat mendirikan Muhammadiyah, kala itu kedekatan dengan penguasa kolonial membuahkan akses terhadap program sosial dan pengakuan dari pemerintah kolonial dalam keputusan Gubernur Jendral nomor 81, tanggal 22 Agustus 1914 berdasarkan staatsblad 1870 nomor 64 tentang perkumpulan-perkumpulan berbadan hukum.
Kalau kata seorang ilmuwan Inggris, Sarah Thomas dari Sheila McKechnie Foundation, gerakan sipil apapun itu perlu mengakui dan mentransformasikan dinamika yang menciptakan hambatan terhadap solidaritas dan kolaborasi dalam upaya mencapai tujuan yang diidealkannya.
Namun kedekatan dengan penguasa itu mestilah dipikirkan ulang, akan menjadi dekat yang seperti apa? Apakah hanya sebagai pesuruh yang menjurus menjadi antek kekuasaan dengan mentalitas asal bapak senang dan larut dalam sistem yang sempat mereka nilai telah rusak itu atau kedekatan itu bertransformasi menjadi kekuatan perubahan sembari tetap menjaga idealisme.
Derick W. Brinkerhoff dalam penelitian berjudul “Exploring State–Civil Society Collaboration: Policy Partnerships in Developing Countries”, menggarisbawahi empat hal penting perihal kedekatan antara gerakan sipil dan kekuasaan, yang pertama adanya tujuan yang jelas dengan tingkat konvergensi tertentu, yang kedua adanya mekanisme untuk mengolah kerjasama yang adil dan terbuka, yang ketiga ada penentuan peran dan tanggung jawab yang tepat sehingga tidak saling mengintervensi, dan yang keempat ada kapasitas tanggung jawab dari gerakan sipil itu untuk memenuhi peran yang diciptakan dari kedekatannya dengan penguasa untuk kebaikan bersama.
Secara lebih sederhana praksis kedekatan itu harus bermakna karena ada tujuan yang lebih besar yang ingin dicapai daripada sekadar nafsu kekuasaan, harus inklusif atau terbuka yang hasilnya memberi manfaat secara kolektif bagi umat dan bangsa, harus mengutamakan musyawarah yang erat kaitannya dengan budaya demokrasi, dan harus sesuai dengan etika organisasi yang tidak menormalisasi nir-etika.
Katakanlah niat untuk dekat dengan kekuasaan itu sudah benar, karena ingin membawa nilai-nilai mulia sebagaimana Tanwir Banjarmasin. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya sebagaimana tanya dari seorang kader di IMM di Universitas Belgrade, Serbia yang dimuat di Instagram warta IMM, apakah langkah membawa mantan ketua umum sebelumnya dengan membawa serta pengurus aktif dengan simbol IMM ke partai dari anak penguasa yang naiknya sudah memicu kontroversi di ruang publik itu sudah tepat?
Apakah upaya kedekatan itu mesti menciptakan ruang pertikaian antar sesama kader? Apakah upaya kedekatan itu mesti dilakukan dengan menafikan idealisme yang selama ini melekat? Atau apakah upaya kedekatan yang disejajarkan dengan istilah pendiasporaan kader ini, hanya sempit pada ruang politik praktis? Dan sedikit saya tambahkan, jika benar hal itu disandingkan dengan upaya ijtihad gerakan sebagaimana yang dilakukan K.H Ahmad Dahlan tulis salah seorang pengurus DPP, lantas pada sisi yang mana yang dapat dikatakan sesuai sebagaimana wacana yang berupaya dibangun oleh pihak yang pro?
Memaknai Diaspora Kader
Mendiasporakan kader untuk masuk ke ruang-ruang kekuasaan menjadi dasar dari tindakan yang dilakukan saat itu, yang menurut salah satu pengurus DPP dalam tulisannya itu untuk mendorong orang-orang yang kita anggap layak dan punya gagasan serta mimpi besar bagi masyarakat luas.
Membahas persoalan pendiasporaan ini amat menarik apalagi pengalaman pribadi bermuhammadiyah di luar negeri dari Australia, Singapura, Thailand, sampai saat ini di Malaysia memang sangat lekat dengan istilah diaspora yang identik dengan internasionalisasi gerakan.
Cerita-cerita seputar internasionalisasi gerakan Muhammadiyah itu, sudah dituliskan dalam sebuah buku dengan judul “Internasionalisasi Muhammadiyah: Sejarah dan Dinamika Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Luar Negeri 2002-2022”, pada tahun 2022 yang bisa di-download gratis.
IMM pun turut serta berdiaspora di level internasional menjadi partner strategis dari PCIM seperti di Malaysia, misalnya yang kontribusinya sangat signifikan bagi masyarakat Indonesia maupun lokal di Malaysia terutama dalam bidang aktivisme sosial terutama di masa-masa covid-19.
Kembali ke persoalan diaspora kader IMM, rasa-rasanya perihal ini memang sudah tepat namun dalam konteks politik, persoalan diaspora di ruang kekuasaan perlu dimaknai ulang agar tindak tanduknya tidak semata-mata persoalan elektoral dan pembagian kue setelahnya yang endingnya justru ikut telunjuk si penguasa.
Ketika memasuki ruang kekuasaan, kader IMM perlu sadar akan dirinya sebagai rausyanfikr atau golongan intelektual yang memberi penilaian sebagaimana seharusnya. Citra dirinya ketika menjadi bagian di ruang kekuasaan harus menjadi golongan ulil albab yang dipimpin dengan iman, ditajamkan dengan akal, dan digerakkan dengan nurani sehingga harus lepas dari jebakan “the power of powerless”, istilah yang diungkapkan intelektual Cekoslovakia sebagai ketidakupayaan untuk mendidik dan memperjuangkan masyarakat karena tidak percaya diri ataupun berani di tengah sistem yang sudah rusak-rusakan.