In Memoriam: Drs. H. Jindar Tamimi Harahap, M.A., Kader Tulen Muhammadiyah dari Tapanuli yang Mengabdi Tanpa Henti
Oleh : Haidir Fitra Siagian, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar / Wakil Ketua LP2M Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan
Saya mengenal almarhum Drs. H. Jindar Tamimi Harahap, M.A., bukan dari hubungan dekat, melainkan dari cerita masa kecil di Sipirok. Sekitar tahun 1980-an, beliau mondok di Pesantren Modern KH Ahmad Dahlan Sipirok dan tinggal di rumah gurunya, yang kebetulan masih keluarga kami, Abdul Mulkan Hutasuhut. Rumah itu hanya berjarak dua rumah dari rumah orang tua saya. Waktu itu usia saya masih sekitar enam tahun. Mungkin saja kami pernah bertemu tanpa saling mengenal, karena saya sering bermain ke rumah gurunya tersebut.
Setelah masa itu, kami tidak pernah berjumpa lagi. Hingga akhirnya, empat puluh tahun kemudian, kami dipertemukan kembali dengan cara yang tak terduga. Sekitar dua bulan lalu, beliau datang dari Sipirok ke rumah saya di Makassar, mengantar putrinya yang diterima kuliah di Jurusan Farmasi UIN Alauddin Makassar lewat program beasiswa Kementerian Agama.
Ketika beliau datang, saya melihat kondisinya sudah tampak menurun. Tubuhnya terlihat lelah, namun semangatnya luar biasa. Ia menempuh perjalanan jauh ribuan kilometer dari Sipirok di Pulau Sumatra ke Makassar di Pulau Sulawesi, hanya untuk satu tujuan: mengantar anaknya menuntut ilmu. Dari caranya berbicara dan bercerita, saya tahu betul bahwa hal itu sangat berarti baginya.
Bagi beliau, pendidikan bukan sekadar soal sekolah atau gelar, tapi bagian dari ibadah dan pengabdian. Katanya, jika anak-anak menuntut ilmu dengan niat yang benar, maka orang tuanya juga mendapat pahala. Ba’sa subuh, ketika kami duduk di kolong rumah sambil minum kopi, ia bercerita tentang perjuangannya dulu menempuh pendidikan. Cerita itu begitu membekas.
Setelah tamat dari pesantren tahun 1985, beliau berangkat ke Yogyakarta untuk kuliah, berbekal surat pengantar dari PDM Tapanuli Selatan. Di sana beliau bertemu dengan Pak Muhammad Muqaddas dan sempat kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Fakultas Agama Islam. Namun karena keterbatasan biaya, ia hanya bertahan tiga bulan, lalu mau balik kampung.
Saat hendak pulang ke Tapanuli, di Jakarta beliau mengurungkan niat. “Apa juga saya mau bikin di kampung”, pikirnya. Lalu ia memustuskan kembali ke Yogyakarta dan tinggal di masjid. Di situlah beliau menjadi imam dan muazin sambil mencari pekerjaan agar bisa melanjutkan kuliah. Akhirnya ia bisa melanjutkan studinya di Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga dan lulus tahun 1992. Saat ujian skripsi, pengujinya adalah Ustaz Abuseri Dimyati, seorang anggita pengurus Majelis Pusataka Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan salah satu dosennya adalah Ustaz Syukriyanto AR.
Setelah menyelesaikan kuliah, beliau kembali ke Sipirok tahun 1993 dan kembali mengabdi di Pesantren KH Ahmad Dahlan. Tak lama kemudian, beliau diterima sebagai pegawai Kementerian Agama. Awalnya ditempatkan di pedalaman Kecamatan Saipar Dolok Hole, lalu dipindahkan ke Sipirok. Jabatan terakhirnya adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Sipirok.
Sebagai Kepala KUA, beliau dikenal aktif dan dekat dengan masyarakat. Banyak orang mengenangnya sebagai sosok yang sabar dan teliti, terutama dalam mengurus masalah wakaf, pernikahan, dan pembinaan keluarga. Beliau sering menyampaikan bahwa wakaf adalah tabungan pahala yang terus mengalir tanpa henti.
Dalam organisasi Muhammadiyah, beliau termasuk kader tulen. Sejak muda aktif di persyarikatan, hingga akhirnya menjabat sebagai Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tapanuli Selatan yang membidangi Majelis Wakaf dan Kehartabendaan. Ia sering menjadi pembicara dalam pengajian dari ranting ke ranting Muhammadiyah di Sipirok, dan juga mengajar mengaji di Masjid Aek Milas Sosopan, tidak jauh dari rumahnya.
Nama “Jindar Tamimi” sendiri bukan nama sembarangan. Orang tuanya memberi nama itu terinspirasi dari KH Djindar Tamimy, seorang tokoh Muhammadiyah pada tahun 1940-an. Sejak kecil beliau sudah tumbuh dalam lingkungan keluarga Muhammadiyah di kawasan Pijor Koling, Padangsidimpuan.
Kembali ke pertemuan terakhir kami di Makassar, selama beberapa hari beliau tinggal di rumah kami bersama putrinya. Kami berbicara banyak hal: tentang pendidikan, dakwah, dan kehidupan di Sipirok. Saya bisa merasakan ketulusan dalam setiap ceritanya. Walau kondisi kesehatannya tidak terlalu baik, ia tidak pernah mengeluh. Ia tetap tersenyum, bahkan lebih sering menanyakan keadaan orang lain dibanding dirinya sendiri.
Malam hari sebelum kembali ke Sipirok, kami sempat berbincang di ruang tamu, beliau berkata pelan, “Kalau anak-anak kita bisa sekolah tinggi dan bermanfaat bagi orang lain, itu sudah cukup bagi kita sebagai orang tua.” Ucapan itu sederhana, tapi penuh makna. Ia seperti menegaskan bahwa tugas seorang ayah bukan hanya membesarkan anak, tapi juga mengantarnya sampai ke pintu ilmu dan kebaikan.
Kini, setelah kabar kepergiannya saya dengar, kenangan itu terasa begitu dekat. Saya masih ingat jelas suaranya, senyumnya, dan tutur lembutnya. Siapa sangka, percakapan hangat di rumah itu menjadi perjumpaan terakhir kami.
Drs. H. Jindar Tamimi Harahap, M.A. meninggal dunia di Rumah Sakit Kota Sibolga, Sumatra Utara, pada Rabu, 8 Oktober 2025. Jenazahnya dimakamkan di kampung halamannya, Sipirok, Tapanuli Selatan, pada Kamis, 9 Oktober 2025.
Beliau telah meninggalkan banyak kenangan, bukan hanya bagi keluarga dan sahabat, tapi juga bagi masyarakat yang pernah dibimbingnya. Semangatnya dalam pendidikan, dedikasinya di Muhammadiyah, dan keteguhannya dalam mengabdi di Kementerian Agama menjadi teladan bagi banyak orang.
Inilah perjalanan hidupnya. Boleh jadi menjadi cerminan dari ketekunan, kesabaran, dan cinta yang tulus kepada ilmu dan keluarga. Semoga segala amal baik almarhum diterima di sisi Allah Swt., dan semoga putrinya yang sedang menuntut ilmu menjadi penerus kebaikan ayahnya.***