Inklusi Sosial untuk Mewujudkan Masyarakat Berkemajuan
Oleh: Saherman
Saya berkesempatan untuk terlibat di dalam sebuah program bantuan pemerintah Amerika untuk masyarakat Indonesia melalui kerjasama antara Pemerintah dengan Pemerintah. Bantuan yang diberikan melalui USAID selama lima tahun ini untuk memajukan tujuan pembangunan Indonesia dalam meningkatkan akses ke air minum, sanitasi dan higiene (WASH) yang dikelola dengan aman di daerah perkotaan yang rentan dan memperkuat ketahanan iklim layanan air minum dan sanitasi dan Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA).
Dalam kemitraan yang erat dengan Pemerintah Indonesia, USAID IUWASH Tangguh mendukung upaya Indonesia untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) untuk memastikan akses ke air dan sanitasi untuk semua (SDG 6) serta untuk membuat kota dan pemukiman inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan (SDG 11). Saya diminta untuk membantu memfasilitasi pelatihan dalam upaya penguatan integrasi kesetaraan gender dan inklusi sosial (GESI) di lingkungan perusahaan daerah air minum (PDAM) di beberapa kota yang menjadi tempat pelaksanaan program.
GESI sendiri dipahami sebagai proses peningkatan syarat-syarat bagi individu dan kelompok untuk mengambil bagian dalam masyarakat. Artinya, untuk dapat terlibat di dalam aktifitas masyarakat, baik di tempat kerja maupun di lingkungan tempat kita berada, perlu meningkatkan kemampuan bagi semua orang yang dianggap kurang mampu untuk berpartisipasi sehingga kemudian dapat terlibat aktif di dalamnya. Ia juga bermakna sebagai proses peningkatan kemampuan, kesempatan dan martabat masyarakat kurang beruntung berdasarkan jati dirinya untuk berkiprah dalam masyarakat.
Gender, disabilitas, etnis, agama, ras, dan kebangsaan merupakan beberapa faktor yang paling umum menjadi rintangan yang hadapi oleh mereka yang "tidak dilibatkan" dalam aktifitas masyarakat. Kesadaran untuk menyingkirkan hambatan-hambatan itulah yang perlu difahami oleh semua pihak, baik yang memiliki kewenangan atau kekuasaan maupun bagi masyarakat umum, sehingga tidak ada lagi diskriminasi oleh sekelompok orang atas kelompok orang lainnya. Pelatihan GESI diselenggarakan untuk memungkinkan hilangnya hambatan-hambatan tersebut dan menciptakan inklusi sosial.
Pengalaman perempuan dan orang dengan disabilitas
Pengalaman peserta pelatihan GESI yang bekerja di perusahaan daerah air minum menarik untuk kita perhatikan. Pertama, seorang perempuan berusia sekitar 30 tahun, menceritakan kalau ia pernah di bagian teknis lapangan. Pada satu kesempatan, ia membantu pelanggan memperbaiki keran air di rumahnya karena memang ia sudah terlatih untuk melakukan pekerjaan teknis. Karena itu, ia sendiri memiliki standar keterampilan yang harus dimiliki oleh petugas teknis perusahaan air minum ini.
Sayangnya, pelanggan pemilik rumah justru tidak memercayainya dan menganggap ia tidak mungkin sanggup untuk mengerjakannya. Petugas perempuan ini kemudian merasa tidak nyaman karena diremehkan kemampuannya. Selanjutnya, ia kemudian tidak lagi menangani tugas teknis, beralih ke tugas-tugas administratif.
Pengalaman petugas teknis lainnya, seorang laki-laki usia 30-an tahun, pernah menangani pelanggan yang mendapatkan tagihan bulanan jutaan rupiah. Pelanggan ini merasa tidak pernah menggunakan air sebanyak yang tercatat di meteran PAM di rumahnya. Setelah dicek, ternyata ada kebocoran di dalam rumah yang tidak pernah ia perbaiki sehingga air yang terbuang terus bertambah banyak. Lalu petugas teknis ini membantu memperbaiki kebocoran di pipa di bagian dalam rumah tersebut. Saat melakukan perbaikan, ia harus masuk ke dalam rumah dimana pemilih rumah adalah perempuan.
Pemilik rumah mengenakan pakaian sangat menggoda, bahkan tidak mengenakan pakaian dalam, dan tampak sengaja hilir mudik ketika petugas memperbaiki kebocoran air. Petugas merasa sangat tidak nyaman ketika bekerja dan sepertinya memang sengaja menggodanya. Petugas merasa khawatir kalau ia nanti dijebak lalu diperas sehingga tagihan pelanggan dapat dibayar melalui cara ini.
Pengalaman lain dialami oleh seorang petugas teknis laki-laki juga. Ia seorang disabilitas dimana tangannya tidak utuh seperti orang kebanyakan. Namun demikian, ia mampu mengendarai sepeda motor dan juga mobil. Saat menjalani tes untuk mendapatkan surat izin mengemudi (SIM), polisi yang mengujinya tidak percaya kalau ia dapat mengendarai dua jenis kendaraan tersebut, namun ia mampu membuktikan keterampilannya berkendaraan. Dia juga bercerita bagaimana ia sebelumnya melamar pekerjaan di berbagai tempat, namun tak satupun mau menerimanya, meski ia menunjukkan kalau ia adalah seorang sarjana sebuah kampus swasta terkenal di Jakarta.
Akhirnya ia bekerja di PDAM setelah diajak seseorang yang mengetahui keterampilannya. Ia cakap tidak saja di bidang teknis, tetapi juga di bidang administrasi. Di bidang teknis, awalnya ia juga mendapatkan keraguan dari pelanggan, namun ia mampu menunjukkan keterampilannya dalam bekerja. Di bidang administrsi, ia pun mampu bekerja dengan baik karena ilmu yang ia dapatkan selama kuliah.
Sebagai sebuah perusahaan yang mendapatkan mandat untuk melayani dan memenuhi kebutuhan masyarakat atas air bersih, PDAM tentunya tidak boleh melakukan diskriminasi pada siapapun. Baik rumah tangga yang memiliki perempuan sebagai kepala keluarga, mereka yang dengan keyakinan tertentu yang berbeda dengan mayoritas di lingkungannya, bahkan bagi keluarga yang betul-betul miskin namun air bersih adalah kebutuhan yang mendesak untuk dipenuhi. Karena itu pula, perusahaan milik daerah ini pun memiliki kebijakan untuk memberikan hibah bagi rumah tangga yang miskin yang disebut masyarakat berpendapatan rendah (MBR). PDAM membuat kategori pelanggannya menjadi beberapa kelompok, dan MBR memiliki tarif tersendiri yang terjangkau dan memungkinkan mereka untuk mendapatkan air bersih.
Jika jajaran petinggi perusahaan dan staffnya tidak cukup sensitif pada kondisi miskin seperti itu, dapat saja berakibat pada diskriminasi dalam pelayanan. Perlu dipertimbangkan bahwa, kondisi miskin ditambah dengan situasi lain dalam keluarga seperti perempuannya sebagai kepala keluarga karena kematian suami atau suami mengalami sakit parah sehingga tidak dapat mencari nafkah lagi, agama, suku atau etnis tertentu yang berbeda dengan masyarakat umumnya di lingkungan tempat tinggalnya, dapat menjadikan keluarga ini tidak menerima hibah sambungan baru yang gratis dan kebijakan keringanan pembayaran dari perusahaan.
Beberapa cerita di atas memperlihatkan pentingnya menghargai orang lain karena kemampuannya di dalam lingkungan kerja dan masyarakat. Setiap orang bekerja dengan keahliannya masing-masing dan bahkan sudah memenui standar untuk mengemban tugas yang diberikan oleh perusahaan. Merupakan hal penting bagi semua pihak untuk menjauhkan penilaian dan sikap diskriminatif karena jenis kelaminnya, keterbatasan fisiknya, bahkan kelompok-kelompok lainnya yang dianggap tidak memenuhi syarat. Diskriminasi ini dapat terjadi di tempat kerja, sekolah bagi anak-anak, ataupun di tengah-tengah masyarakat di mana kita berada.
Pembelajaran untuk Persyarikatan
Bulan November tahun lalu saya mengantarkan anak saya untuk mengikuti ujian bahasa Jepang di daerah Jakarta Selatan. Pesertanya ramai sekali sehingga ujiannya ditempatkan di dua buah sekolah yang bersebelahan. Baru beberapa hari sebelumnya anak saya menjalani operasi di telapak kaki yang membuatnya tidak dapat berjalan dan masih harus menggunakan kursi roda. Ia mendapat ruang ujian di lantai 4, sementara tidak ada lift untuk naik ke lantai tersebut.
Akhirnya saya dan satu orang pengawas ujian memapah dan bahkan menggendongnya naik dan turun. Tidak terbayangkan, di daerah khusus ibu kota negara, sekolah negeri tidak menyediakan sekolah yang ramah disabilitas. Toilet pun tidak ada yang diperuntukkan bagi mereka yang disabilitas, jangankan dengan kursi roda, mereka yang memakai kruk/alat bantu berjalan pun tidak dapat menggunakan toiletnya dengan aman dan nyaman.
Ingatan saya kembali ke masjid dan lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah, yang jumlahnya ribuan, mulai dari Taman Kanak-Kanak “Bustanul Athfal”, Pondok Pesantren, Sekolah Umum, Kejuruan, Madrasah hingga Perguruan Tinggi. Apakah semua sudah memenuhi standar sebagai bangunan yang sudah dapat diakses oleh disabilitas, orang tua sesepuh persyarikatan yang sudah harus dipapah tapi masih setia mengunjungi amal usaha persyarikatan karena cintanya pada gerakan amar ma'ruf nahi munkar ini?
Hal sederhana saja, ada jalur jalan yang landai di komplek AUM, lift untuk naik ke lantai atas, atau pegangan tangan (handrail) di tangga dan toilet. Atau secara stategi, kita dapat saja memastikan pertemuan dilakukan di lantai dasar sehingga saudara kita yang disabilitas lebih mudah mengakses ketika ada pengajian atau rapat, jika belum mampu menyediakan lift.
Disabilitas dapat dialami oleh seseorang sejak ia lahir, dapat pula karena kecelakaan atau sakit sehingga ada fungsi fisik dan mental yang kemudian berkurang. Dan yang tak kalah penting, usia yang diberi Allah SWT cukup panjang, patut disyukuri, namun fisik juga kadang berkurang kemampuannya. Itulah sebabnya perlu dipastikan bahwa bangunan kita perlu juga ramah pada kondisi disabilitas yang dapat secara tiba-tiba dimiliki anggota keluarga atau anggota organisasi kita, baik secara permanen maupun bersifat sementara seperti mendapatkan kecelakaan dan harus menggunakan kursi roda sampai ia pulih kembali.
Dari sisi pelibatan orang dengan disabilitas, Muhammadiyah tentu sudah tidak diragukan lagi. Staff maupun tenaga pengajar sudah banyak yang bekerja di AUM bidang pendidikan. Peserta didik pun banyak yang mengenyam pendidikan disini. Tinggal perlu dipastikan standar ramah disabilitas bagi setiap AUM benar-benar diberlakukan. Tidak hanya rumah sakit PKU Muhammadiyah yang memang sudah mengikuti standar rumah sakit pada umumnya, tetapi juga semua masjid, kantor, sekolah, pesantren dan perguruan tinggi di lingkungan AUM sudah seharusnya memiliki semua fasilitas yang memungkinkan orang dengan disabilitas dapat berpartisipasi di dalamnya. Sebagai organisasi Islam berkemajuan, insya Allah Muhammadiyah akan tetap terdepan dalam mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin.
Saherman, warga Muhammadiyah dari PCM Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ia juga anggota ALIMAT, Gerakan Kesetaraan dan Keadilan Keluarga Indonesia