YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Universitas Ahmad Dahlan (UAD) kembali menggelar kajian jelang berbuka puasa pada hari ketujuh Ramadan. Acara yang berlangsung di Masjid Islamic Center kampus UAD ini mengangkat tema "Islam dan Harmonisasi Sosial" dengan menghadirkan Dr. Arif Rahman, M.Pd.I., Dekan Fakultas Agama Islam UAD sekaligus Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PWM DIY, sebagai narasumber utama.
Dalam kajiannya, Arif menekankan pentingnya memahami Islam sebagai ajaran yang menekankan keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Ia menjelaskan bahwa manusia sejak lahir hingga meninggal selalu membutuhkan orang lain dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, menjaga hubungan sosial yang baik merupakan bagian dari ajaran Islam yang fundamental.
“Kehidupan manusia itu tidak bisa terlepas dari orang lain. Sejak lahir, kita ditolong oleh orang lain, tumbuh dan berkembang juga bersama orang lain. Bahkan, ketika kita meninggal pun kita masih membutuhkan bantuan orang lain untuk mengurus jenazah kita. Maka dari itu, kehidupan sosial adalah hal yang tidak bisa dihindari,” ujar Arif.
Ia juga menyoroti berbagai permasalahan sosial yang tengah dihadapi masyarakat Indonesia, seperti intoleransi, polarisasi ekstremisme, serta dampak negatif perkembangan teknologi yang memicu penyebaran berita hoaks. Menurutnya, generasi muda, khususnya Gen Z dan Gen Alpha, harus mampu memanfaatkan teknologi dengan bijak agar tidak terjebak dalam arus informasi yang menyesatkan.
“Islam mengajarkan keseimbangan, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam bermasyarakat. Seperti halnya seseorang yang berjalan di atas tali, ia membutuhkan keseimbangan agar tidak jatuh. Begitu pula dalam kehidupan sosial, kita perlu keseimbangan agar bisa hidup harmonis,” tambahnya.
Arif juga mengutip Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 10-13 yang menegaskan bahwa seluruh umat manusia adalah bersaudara dan diciptakan dengan berbagai keberagaman agar saling mengenal, bukan untuk saling berseteru.
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat (QS. Al-Hujurat: 10). Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal, bukan untuk saling bermusuhan,” ungkapnya.
Arif menjelaskan bahwa ayat tersebut menegaskan bahwa sesama orang beriman adalah saudara. Oleh karena itu, jika terjadi perselisihan, harus segera dilakukan islah atau perbaikan agar tercipta kembali keharmonisan. “Sering kali, umat Islam terpecah karena perbedaan furu'iyah atau cabang dalam agama, padahal tauhid kita satu, Tuhan kita satu. Maka, jika terjadi perbedaan, yang harus diutamakan adalah penyelesaian dan perbaikan, bukan perpecahan,” ujarnya.
Ia juga mengangkat pengalaman pribadi saat belajar di pesantren, di mana konsep pendidikan yang diterapkan lebih menekankan islah dibandingkan dengan hukuman. “Kami diajarkan bahwa kesalahan adalah bagian dari proses pembelajaran, sehingga yang ditekankan adalah perbaikan, bukan sekedar hukuman,” tambahnya.
Selain menyoroti persaudaraan dalam Islam, Arif juga menyinggung ayat 13 dari surat Al-Hujurat, yang sering ia sebut sebagai ‘ayat multikultural’. Ayat ini menjelaskan tentang penciptaan manusia dalam keberagaman suku dan bangsa, bukan untuk perpecahan, melainkan agar saling mengenal (lita'ārafū). “Keberagaman yang ada seharusnya menjadi potensi untuk mempererat hubungan sosial, bukan sebagai sumber konflik. Sayangnya, di era modern ini, perbedaan sering kali dijadikan alasan untuk perselisihan,” jelasnya.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, nilai-nilai yang terkandung dalam ayat ini sangat relevan untuk menjaga persatuan. Arif menekankan bahwa dalam Islam, tidak ada dominasi satu kelompok atas yang lain, termasuk dalam hal gender. “Allah menciptakan manusia dari laki-laki dan perempuan dengan derajat yang sama. Tidak ada yang lebih unggul kecuali berdasarkan ketakwaan,” tambahnya.
Selain Al-Qur'an, Arif juga mengutip beberapa hadis Nabi Muhammad SAW yang mendukung konsep harmonisasi sosial. Salah satunya adalah hadis yang menyebutkan bahwa seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, serta hadis yang menekankan pentingnya mencintai sesama sebagaimana mencintai diri sendiri.
Beliau juga menyinggung fenomena modern di mana banyak orang yang terjebak dalam budaya flexing atau pamer demi validasi sosial. “Kita hidup dalam era di mana orang lebih banyak mencari pengakuan dari luar, padahal sesungguhnya tidak ada yang perlu dibanggakan secara berlebihan. Islam mengajarkan kita untuk rendah hati dan selalu introspeksi diri,” tegasnya.
Arif menegaskan bahwa nilai-nilai Islam telah memberikan pedoman yang jelas untuk membangun masyarakat yang harmonis dan penuh keberkahan. Beliau menyoroti empat golongan yang dirindukan oleh surga sebagaimana yang telah dibahas, yakni mereka yang memiliki intelektual yang berlandaskan Al-Qur'an, menjaga lisan dalam berkomunikasi, memiliki solidaritas sosial yang tinggi, serta memiliki kedisiplinan dan kontrol diri yang kuat.
Ia menambahkan juga bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang memiliki intelektual yang kuat dan mampu menciptakan stabilitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. "Kita tidak bisa membayangkan seorang pemimpin yang hanya sibuk dengan hiburan dan lupa akan tanggung jawabnya. Seorang pemimpin harus memiliki intelektualitas yang kuat, memahami prinsip demokrasi, serta terbuka terhadap kritik yang membangun," tegasnya.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya komunikasi yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. "Hafzil lisan atau menjaga lisan bukan sekadar berbicara dengan baik, tetapi juga tentang bagaimana kita berkomunikasi dengan bijak, terutama dalam situasi yang penuh tantangan. Seorang pemimpin yang baik harus mampu mengkomunikasikan keadaan dengan jelas kepada masyarakat agar tercipta ketenangan dan kepercayaan," ujarnya.
Dalam konteks solidaritas sosial, Arif menekankan bahwa membantu sesama bukan hanya tugas mereka yang memiliki harta lebih, tetapi juga menjadi kewajiban bagi setiap individu, sesuai dengan kapasitas dan keahlian masing-masing. "Solidaritas sosial tidak hanya berbentuk bantuan materi, tetapi juga bisa dalam bentuk ilmu dan tenaga. Misalnya, mahasiswa pendidikan dapat memberikan pengajaran di daerah terpencil, atau mahasiswa teknologi informasi dapat menciptakan aplikasi yang memudahkan distribusi bantuan sosial," tambahnya.
Terakhir, Arif menggarisbawahi pentingnya disiplin dan kontrol diri sebagaimana yang diajarkan dalam ibadah puasa. "Di bulan Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang menahan hawa nafsu dalam berbagai aspek kehidupan. Kontrol diri ini sangat penting dalam menciptakan masyarakat yang harmonis, di mana setiap individu mampu menjaga keseimbangan antara akal, hati, dan jasadnya," jelasnya.
Sebagai penutup, ia mengingatkan bahwa untuk mencapai harmonisasi sosial, setiap individu harus memiliki tiga prinsip utama, yaitu ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan). "Ketiga prinsip ini harus kita jaga dan amalkan dalam kehidupan sehari-hari agar kita menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama," tutupnya.