Menjaga Lisan dalam Kehidupan
Penulis: Suko Wahyudi, PRM Timuran
Dalam kehidupan sehari-hari, lisan adalah salah satu anugerah besar yang sering kali kita anggap sepele. Dengan lisan, kita dapat berkomunikasi, menyampaikan gagasan, dan membangun hubungan dengan orang lain. Namun, lisan juga dapat menjadi sumber permasalahan jika tidak digunakan dengan bijak. Di balik kemampuannya yang luar biasa, lisan menyimpan potensi besar untuk menciptakan kebaikan atau menimbulkan kehancuran. Oleh karena itu, menjaga lisan adalah hal yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan yang harmonis baik dalam skala individu maupun masyarakat.
Lisan sering kali mencerminkan isi hati dan pikiran seseorang. Kata-kata yang terucap menjadi gambaran sejati bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri dan orang lain. Dalam ajaran agama, lisan bahkan dianggap sebagai salah satu bagian tubuh yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Sebuah hadis Nabi Muhammad SAW menyatakan, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menekankan pentingnya berpikir sebelum berbicara dan memastikan bahwa setiap kata yang keluar membawa manfaat, bukan keburukan. Dengan menjaga lisan, seseorang menunjukkan kedewasaan emosional dan kebijaksanaan dalam menghadapi kehidupan.
Kekuatan Lisan dalam Membentuk Realitas
Pepatah lama mengatakan, “Mulutmu harimaumu.” Ungkapan ini menggambarkan bagaimana lisan, jika tidak dijaga dengan baik, dapat menjerumuskan seseorang ke dalam masalah besar. Kata-kata yang diucapkan bisa berdampak panjang, jauh melampaui niat awal pengucapnya. Dalam dunia yang semakin terkoneksi melalui media sosial, dampak lisan, baik dalam bentuk ucapan langsung maupun tulisan, semakin besar.
Kata-kata bisa menjadi alat untuk menyemangati dan menguatkan, tetapi juga bisa menjadi senjata yang menyakitkan. Contohnya, ucapan motivasi dari seorang pemimpin atau figur publik dapat menginspirasi jutaan orang untuk bertindak lebih baik. Sebaliknya, komentar yang tidak pantas atau ujaran kebencian dapat memicu konflik sosial yang meluas.
Seringkali, manusia merasa bahwa hanya ucapan besar seperti penghinaan atau fitnah yang berbahaya. Namun, sejatinya, komentar sederhana yang dilontarkan tanpa empati pun bisa merusak hubungan. Contohnya, kritik yang tidak membangun, candaan yang tidak semestinya dan sepantasnya, atau gosip kecil tentang orang lain.
Sebagai makhluk sosial, manusia hidup dalam interaksi. Ucapan yang kasar, sindiran, atau gosip kecil dapat menjadi api kecil yang membesar, memecah belah keluarga, teman, bahkan masyarakat luas.
Lisan Bisa Merusak Persaudaraan
Dalam banyak kasus, hubungan saudara kandung menjadi renggang karena kesalahpahaman kecil yang dibiarkan membesar. Persahabatan yang bertahun-tahun terjalin bisa hancur hanya karena kata-kata tajam tak berperasaan yang diucapkan. Bahkan, komunitas yang solid pun dapat terpecah karena isu yang dipicu oleh lisan yang tak terjaga.
Sekali kata-kata keluar dari mulut, ia tidak dapat ditarik kembali. Kata-kata yang menyakitkan sering kali meninggalkan luka yang dalam dan membutuhkan waktu lama untuk sembuh, bahkan mungkin tak pernah hilang. Kata-kata menyakitkan sering dimulai dari obrolan santai, guyonan atau candaan tetapi dampaknya bisa menghancurkan hubungan. Fitnah, yang sering kali berakar pada lisan yang tidak bertanggung jawab, dapat menciptakan kesalahpahaman yang mendalam.
Banyak orang tidak menyadari kekuatan lisannya. Ketidaksadaran ini membuat mereka merasa bebas berbicara tanpa memikirkan dampaknya. Padahal kata-kata kasar atau tidak sopan dapat meninggalkan bekas luka emosional yang mendalam. Mungkin pengucapnya tidak menyadari dampaknya, tetapi bagi penerima, luka itu bisa membekas bertahun-tahun. Karena itu pepatah Arab mengatakan,
"Jaraḥatus-sinani laha iltiyam,
Wa la yalta’imu ma jaraḥal-lisanu."
Luka yang disebabkan oleh senjata dapat sembuh,
Namun luka karena lisan tak kunjung pulih.
Luka karena lisan sulit disembuhkan karena kata-kata yang menyakitkan sering kali meninggalkan bekas yang tidak terlihat tetapi sangat dalam di hati dan pikiran seseorang. Kata-kata yang menyakitkan dapat menyerang harga diri, rasa percaya diri, atau martabat seseorang. Efek psikologis ini sering kali menetap lebih lama daripada luka fisik karena terus berulang dalam ingatan. Setelah kata-kata terlontar, tidak ada cara untuk menghapusnya sepenuhnya. Permintaan maaf mungkin bisa mengurangi rasa sakit, tetapi memori tentang ucapan tersebut tetap terukir di pikiran.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Hati-hatilah dengan lisanmu. Lisan itu lebih tajam daripada mata pedang.”
Perkataan ini menekankan bahwa kata-kata dapat melukai seseorang lebih dalam daripada luka fisik. Lisan yang tajam dapat menghancurkan hubungan, reputasi, dan bahkan keharmonisan masyarakat. Mu’adz bin Jabal pernah bertanya kepada Rasulullah SaW tentang amal yang paling utama. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah SaW mengingatkan tentang pentingnya menjaga lisan: “Bukankah manusia diseret ke dalam neraka di atas wajah mereka (atau di atas hidung mereka) hanya karena hasil dari ucapan lisan mereka?”
Kata-kata yang baik memiliki kekuatan untuk mempererat hubungan antarindividu. Dalam keluarga, kata-kata yang lembut dan penuh kasih sayang dapat menciptakan suasana harmonis. Begitu pula dalam lingkungan kerja atau pergaulan, komunikasi yang santun dan penuh penghargaan mampu membangun kepercayaan dan rasa hormat.
Sebaliknya, kata-kata kasar atau menyakitkan dapat merusak hubungan yang telah dibangun dengan susah payah. Luka akibat perkataan buruk sering kali lebih sulit sembuh dibanding luka fisik, karena kata-kata itu terukir dalam hati dan ingatan.
Bijak dalam Menggunakan Lisan
Ibnu Rajab Al-Hanbali, seorang ulama besar dalam bidang hadits dan fiqh, banyak membahas tentang pentingnya bijak dalam menggunakan lisan dalam karya-karyanya. Salah satu perkataannya yang masyhur adalah:
“Barangsiapa yang menghisab dirinya dan menjaga lisannya, maka sedikitlah kesalahannya. Barangsiapa yang meremehkan lisannya, niscaya ia akan terjatuh dalam dosa yang banyak.”
Perkataan ini menggarisbawahi betapa pentingnya kontrol terhadap apa yang kita ucapkan. Lisan adalah salah satu alat manusia yang paling sering digunakan, namun sekaligus paling rentan menjerumuskan seseorang ke dalam dosa seperti ghibah (menggunjing), fitnah, ucapan sia-sia, dan dusta.
Ibnu Rajab juga menjelaskan dalam kitab Jami'ul Ulum wal Hikam tentang hadits Rasulullah SaW:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ia menjelaskan bahwa menjaga lisan adalah tanda keimanan seseorang. Ucapan yang keluar dari mulut seorang mukmin seharusnya membawa manfaat, bukan mudarat. Jika ragu apakah ucapan itu baik atau buruk, diam adalah pilihan terbaik.
Pesan dari Ibnu Rajab ini sangat relevan di era modern, di mana kebebasan berbicara sering disalahgunakan, baik secara langsung maupun di media sosial. Mengikuti nasihat beliau, bijak dalam menggunakan lisan adalah langkah awal untuk memperbaiki diri dan menjaga keharmonisan hubungan sosial. Untuk itu ada beberapa prinsip agar bijak dalam menggunakan lisan:
Pertama. Berpikir sebelum berbicara. Sebelum mengucapkan sesuatu, tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini benar? Apakah ini baik? Apakah ini bermanfaat? Prinsip ini dapat membantu kita memilah mana ucapan yang layak disampaikan dan mana yang sebaiknya ditahan.
Kedua. Mengutamakan ejujuran. Meski kejujuran adalah kebajikan, kejujuran juga harus disampaikan dengan cara yang bijak. Misalnya, menyampaikan kritik dengan cara yang sopan dan konstruktif akan lebih diterima daripada menyampaikannya dengan nada kasar.
Ketiga. Mengendalikan emosi. Banyak ucapan yang disesali lahir dari emosi yang tidak terkendali. Oleh karena itu, penting untuk belajar menenangkan diri sebelum berbicara, terutama saat marah atau kecewa.
Keempat. Mengenali konteks dan lawan bicara. Apa yang pantas diucapkan kepada teman dekat belum tentu pantas diucapkan kepada atasan atau orang yang lebih tua. Memahami konteks dan menyesuaikan bahasa adalah bagian dari kebijaksanaan lisan.
Kelima. Menghindari ghibah dan fitnah. Islam mengajarkan untuk menjauhi ghibah (menggunjing) dan fitnah karena keduanya dapat merusak hubungan dan menciptakan dosa besar. Dalam masyarakat multikultural, menjaga ucapan agar tidak menyinggung atau merugikan orang lain adalah kunci menciptakan harmoni.
Bijak dalam menggunakan lisan adalah cerminan kedewasaan dan kebijaksanaan seseorang. Dalam kehidupan bermasyarakat, lisan yang terjaga dengan baik dapat menjadi alat untuk membangun keharmonisan, menciptakan kedamaian, dan menyebarkan kebaikan. Sebaliknya, ketidakbijaksanaan lisan dapat menjadi sumber konflik dan perpecahan.
Mari kita jadikan lisan sebagai sarana untuk berbagi kebaikan. Sebelum berbicara, tanyakan pada diri sendiri apakah ucapan kita akan membawa manfaat atau justru menciptakan masalah. Dengan menjaga lisan, kita tidak hanya menjaga hubungan dengan sesama, tetapi juga mendekatkan diri kepada Tuhan. Bukankah kehidupan yang damai dan harmonis dimulai dari ucapan yang penuh kebijaksanaan?