International Women’s Day; Apa Kabar Paradigma Kesetaraan dan Keadilan Gender IMM?

Publish

13 March 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

2
789
Foto Istimewa

Foto Istimewa

International Women’s Day; Apa Kabar Paradigma Kesetaraan dan Keadilan Gender IMM?

Savanna Selma Ghassani, Kabid RPK PC IMM Bantul 2023-2024

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah telah gagal mengejawantahkan kesetaraan dan keadilan gender (ruang inklusif) dalam mekanisme organisasi sebagai bagian dari ortom Muhammadiyah. Indikatornya, tidak ada representasi Immawati dalam hasil formatur terpilih Dewan Pimpinan Pusat IMM periode 2024-2026. Jumlah calon formatur pada prosesi Muktamar ke-XX, 61 nama yang terdaftar. Jumlah tersebut merepresentasikan Immawan berjumlah 53 orang sedangkan Immawati berjumlah 8 orang.

Immawati yang berjumlah 8 orang, tidak ada satupun yang masuk kedalam formatur terpilih (Suara Muhammadiyah, 2024). Tentu ini merepresentasikan kegagalan IMM dalam mengejawantahkan kesetaraan dan keadilan gender. Maka dari itu, pertanyaan yang muncul kemudian apakah dari 8 Immawati itu tidak ada satupun yang memiliki kriteria dan kemampuan dalam memimpin IMM, atau musyawarah tertinggi tersebut merupakan representasi politik praktis tanpa memiliki kriteria dan kemampuan dalam memimpin.

Keadilan dan kesetaraan gender, memang tidak bisa dilihat menggunakan kacamata kuda (satu sisi) hanya diukur melalui keterwakilan Immawati, namun keterwakilan Immawati merupakan titik awal dalam meninjau apakah IMM memiliki perspektif kesetaraan dan keadilan gender dalam berorganisasi. Prof Alimatul Qibtiyah menuliskan pada bukunya “Feminisme Muslim di Indonesia” bahwa keadilan gender yaitu mengakui bahwa laki-laki dan perempuan berangkat dari kompleksitas hidup yang berbeda, maka dibutuhkan sumber daya dan support system yang sesuai dengan kebutuhannya (Alimatul Qibtiyah, 2020). Sementara konsep kesetaraan ini merupakan terbukanya akses sumber daya dan peluang yang sama bagi laki-laki maupun perempuan. Teori yang disampaikan tadi tentunya memiliki rujukan dari Q.S Al-Hujurat ayat 13 yang menerangkan bahwasanya ketaqwaan hamba-Nya tidak ditimbang berdasarkan apa identitasnya (gender, ras, suku, dan bangsa). 

Merujuk pada situasi dan kondisi Muktamar ke-XX di Palembang, pada akhirnya musyawarah tertinggi tersebut hanya mementingkan politik pragmatis, tanpa mementingkan peluang yang sama dan mengalokasikan Immawati pada proporsinya. IMM sebagai organisasi yang ikut terlibat dalam diskursus kesetaraan dan keadilan gender, sepatutnya merefleksikan kembali keterpilihan formatur pada prosesi Muktamar ke-XX, sebab suatu kemunduran besar bagi IMM dalam mengejawantahkan kesetaraan dan keadilan gender dengan realitas partisipasi aktif Immawati yang nihil. Immawati pada tubuh IMM bukan hanya sebagai pelengkap atau legitimasi narasi kesetaraan dan keadilan gender dalam berorganisasi, melainkan Immawati jua sebagai pelopor dan pelanjut cita-cita Muhammadiyah-Aisyiyah (DPP IMM Periode 2018-2020, 2019).

Orientasi Immawati tidak ubahnya dengan Immawan, sebab mereka berada pada jalur keorganisasian yang sama, walaupun memang start-nya memiliki kompleksitas yang berbeda. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teori sosial memainkan peran penting atas peran aktif bidang Immawati. Bidang Immawati memiliki orientasi gerakan yang merujuk pada prinsip memerdekakan, memberdayakan, membuka aktualisasi diri Immawati yang mengalami proses kompleksitas dari budaya, agama, sosial, politik, dan ekonomi. IMM sendiri, sebelum adanya perspektif kesetaraan dan keadilan gender, selalu menempatkan Immawati pada proporsi bidang bendahara umum, sekretaris umum, kaderisasi, dan bidang Immawati.

Bendahara umum merupakan pelabelan yang mengurus keuangan atau dapur organisasi, sekretaris umum merupakan pelabelan yang mengurus kelangsungan rumah atau organisasi, kaderisasi merupakan pelabelan yang mengurus, mendidik, mengasihi kader-kader baru, dan bidang Immawati merupakan bidang yang terkonstruk eksklusif (khusus untuk perempuan) dengan pengalaman empiris perempuan, sehingga hal-hal dan kegiatan-kegiatan yang diorganisir juga tidak lepas dari label yang dilekatkan dengan konstruk sifat-sifat feminin, sehingga isu yang dibahas seringkali melahirkan pandangan tertutup bagi Immawan untuk turut terlibat aktif dalam membangun budaya support system yang sehat. 

Kritik besar dalam diskursus kesetaraan dan keadilan gender, perempuan selalu ditempatkan mengurus dapur, mengurus rumah dan anak. Dengan perkembangan zaman di abad 21 ini, sudah sepatutnya IMM yang turut mewarnai khazanah gerakan mahasiswa di Indonesia, mampu merefleksikan dengan serius diskursus kesetaraan dan keadilan gender, jika memang betul IMM adalah organisasi mahasiswa yang memiliki perspektif kesetaraan dan keadilan gender dengan slogan “Inklusif berkemajuan”. 

Paradigma Kesetaraan dan Keadilan Gender

 Kata gender berasal dari bahasa latin “genus” dengan arti tipe atau jenis (Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Kulon Progo, 2017). Gender merupakan suatu konsep yang dibentuk oleh sistem kultur-budaya, agama, psikologis, dan politik sebagai konsep untuk mengidentifikasi manusia (laki-laki, perempuan dan lainnya). Merujuk pada istilah tersebut, kehadiran paradigma kesetaraan dan keadilan dalam bingkai gender, tentu perlu dicerna dan dicermati dengan tepat serta benar. Maka, penulis mencoba untuk menghadirkan beberapa perspektif yang menjadi rujukan penulis dalam meninjau paradigma kesetaraan dan keadilan gender. 

Prof. Amina Wadud memiliki konsep rekonstruksi metodologis tentang penafsiran Al-Qur’an yang menghadirkan sebuah perspektif keadilan dan sensitif gender (Janu Arbain, Nur Azizah, 2015). Penafsiran tersebut memiliki 3 kategori yakni;

Tafsir Tradisional

Tafsiran tradisional memberikan interpretasi tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan mufassir yang bersifat hukum, tasawuf, gramatik, retorik, maupun historis. Atomistik merupakan metodologi yang digunakan dengan cara mengupas ayat-per ayat secara berurutan. Tidak ada upaya untuk menempatkan dan mengelompokkan ayat-ayat sejenis ke dalam pokok-pokok bahasan tertulis. Prof. Amina menekankan bahwa tafsir tradisional sering kali ditulis oleh laki-laki secara eksklusif, dalam artian ayat-ayat tersebut ditafsirkan berdasarkan representasi pandangan dan pengalaman laki-laki. Sementara pengalaman, perspektif, visi-misi, keinginan (cita-cita) hingga kebutuhan perempuan pada akhirnya dibentuk atau ditundukkan pada pandangan laki-laki. 

Tafsiran Reaktif

Tafsiran reaktif berangkat dari perspektif para pemikir modern terhadap analisis jumlah hambatan yang dialami perempuan dengan anggapan berasal dari Al-Qur’an. Penafsiran ini berangkat dengan sprit pembebasan dari gagasan feminis dan rasionalis, namun tidak terlihat adanya hubungan dengan falsafah ideologi dan teologi Islam dikarenakan metode penafsirannya tidak dilandasi dengan Al-Qur’an.

Tafsiran Holistik
Tafsiran holistik menggunakan seluruh penafsiran dan mengaitkannya dengan pelbagai persoalan, ekonomi, politik, kultur-budaya, moral, termasuk isu perempuan di tengah era modern ini. Tafsiran holistik menjadi metode tafsiran yang terbaik karena dalam kategori inilah Prof. Amina menempatkan karyanya. 

Prof. Alimatul Qibtiyah telah memetakan struktur pemahaman Islam mengenai gender dalam tiga kelompok besar (Alimatul Qibtiyah, 2020) ;

Literalis

Kelompok literalis memiliki gabungan latar belakang yakni konservatif dengan kelompok muslim di Indonesia. Kelompok ini sepenuhnya menolak ide-gagasan tentang gender dan feminisme. Legitimasi penolakan yang mereka lakukan menggunakan cara mengutik ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang dianggap bertentangan dengan ide-gagasan feminisme. Pada umumnya, mereka menolak pada pembaharuan keagamaan dan masih berpegang pada nilai-nilai tradisional. Kelompok literalis memandang isu gender dan feminisme tidak sejalan dengan ajaran Islam, hal ini disebabkan laki-laki dan perempuan telah diciptakan dengan membawa kodrat masing-masing. Pemahaman gender dan feminisme dianggap hanya akan membuat perempuan muslim terbentuk menjadi pribadi yang berani melawan suami, melanggar ketentuan agama, dan berpeluang menelantarkan anaknya. 

Moderat

Kelompok moderat merupakan kombinasi antara kelompok islam pribumi dengan organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kedua kelompok tersebut termasuk kelompok yang adaptif dengan perkembangan ide-gagasan pemikiran barat, termasuk gender dan feminisme, sejauh tidak bertentangan dengan ajaran islam. Secara garis besar, kelompok moderat tidak menafsirkan teks-teks keagamaan secara literal, melainkan berusaha disesuaikan dengan perkembangan sama.  Namun, kelompok ini sering dianggap inkonsisten oleh dua kelompok lainnya, karena tidak memiliki metode yang pasti. Akan ada situasi kelompok ini menafsirkan Al-Qur’an dan Hadist menggunakan metode tekstual, namun di lain waktu memakai cara kontekstual. Golongan ini sering disebut sebagai kelompok ‘jalan tengah’ karena sikap dan pendapatnya selalu menengahi antara konservatif/literalis dengan liberal/progresif.

Progresif

Kelompok progresif adalah gabungan antara liberal dengan konsep neo-modernis. Kelompok ini memiliki perkembangan pemikiran yang signifikan jika dibandingkan dengan literalis dan moderat. Mereka memaknai teks-teks keagamaan secara kontekstual. Secara umum, kelompok ini berusaha menutupi apa yang belum bisa dijawab oleh kelompok moderat yang terkesan mengambil jalur aman. Bagi kelompok progresif, perbedaan fisik laki-laki dan perempuan seharusnya tidak membedakan mereka secara sosial dan budaya. Kemitrasejajaran (mutual partnership) yang justru menghendaki persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan, baik dalam bidang sosial, pendidikan, politik, dan ekonomi. Hal ini menjadi upaya untuk merekonstruksi wacana emansipasi yang menghendaki peran ganda perempuan.

Kesetaraan dan keadilan gender merupakan sebuah wacana memerdekakan perempuan dari struktur diskriminasi yang terbentuk oleh stereotip atau pelabelan, subordinasi, marginalisasi, beban ganda, dan kekerasan yang berkelindan dalam sosial, kultur-budaya, pendidikan, ekonomi, dan politik. Secara etimologis, kesetaraan dan keadilan memiliki akar kata yang sama-sama menggunakan “aequus” dengan arti “genap” atau “adil” atau “setara”. Kesetaraan memiliki arti bahwa setiap individu ataupun kelompok orang “diberikan” sumber daya dengan peluang yang sama. Keadilan berarti “mengakui” bahwa setiap individu ataupun kelompok memiliki “keadaan yang berbeda” yang tentu perlu “mengalokasikan” sumber daya dan peluang yang diberikan sesuai dengan keperluan atau kebutuhan untuk mencapai hasil yang setara (International Women's Day, 2023).

Memobilisasi Kesetaraan dan Keadilan Gender

Konsep kesetaraan dan keadilan gender dalam IMM sebetulnya telah menjadi wacana lama. Hal ini tentu bisa kita temukan dari bagaimana sejarah gerakan Immawati dalam buku Pedoman Immawati karya DPP IMM periode 2018-2020 (DPP IMM Periode 2018-2020, 2019). Namun, pada pengejawantahannya justru mendapatkan banyak kendala dan cenderung banyak dikorbankan untuk kepentingan politik praktis. Maka melihat situasi dan kondisi yang semakin memperkeruh gerakan Immawati, sudah waktunya wacana kesetaraan dan keadilan gender tidak hanya menjadi buah bibir semata, tapi perlu adanya pembahasan pada tahap memobilisasi wacana ini dari tingkat akar rumput hingga nasional. Mengapa pada mobilisasi ini dimulai dari akar rumput? Sebab, sudah tidak ada lagi struktur diatas komisariat yang bisa kita percaya dapat komitmen untuk memobilisasi ini.

Memobilisasi kesetaraan dan keadilan gender merupakan suatu tindakan yang mengandung dua konsep, yaitu tindakan kesetaraan dan tindakan keadilan gender. Tindakan kesetaraan gender artinya menyamakan perspektif bahwa laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan dan hak yang sama sebagai manusia, melibatkan dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan keamanan bersama, serta menikmati secara bersama-sama hasil dari upaya-upaya yang dibangun. Sedangkan tindakan keadilan gender merupakan suatu tindakan untuk mengkomunikasikan terlebih dahulu kebutuhan laki-laki maupun perempuan dalam menunjang proses aktualisasi dirinya, sehingga diberikan proporsi yang tepat dan benar. Keadilan gender inilah yang menghantarkan pada kesetaraan gender itu sendiri. 

Kesetaraan dan keadilan gender merupakan upaya-upaya yang masih panjang dalam memahaminya, namun menempatkan perempuan atau laki-laki dalam keadaan lemah dan terus mengglorifikasi sudut pandang sebagai korban dari sistem patriarki, tanpa menganalisis kebutuhan dari kompleksitas masing-masing dan memberikan kesempatan untuk mengekspor kemampuan merupakan tindakan yang memutus rantai kesetaraan dan keadilan gender. 

Perbedaan jenis kelamin merujuk pada perbedaan gender, dan perbedaan gender telah melahirkan bermacam-macam ketidakadilan, ketidakadilan gender inilah yang menghantarkan pada ketidaksetaraan gender. Maka, memobilisasi kesetaraan dan keadilan gender perlu memutuskan keistimewaan bahwa laki-laki yang istimewa di dunia ini karena mereka dinilai mampu melakukan tindakan bersifat maskulin, atau perempuanlah yang lebih istimewa karena dinilai mampu melakukan tindakan yang bersifat feminin. Jika tidak menghilangkan dan memutuskan keistimewaan di salah satu jenis kelamin yang dibentuk dengan konstruktif, pelabelan, diskriminatif, marginalisasi, dan standar ganda maka ketertindasan salah satu jenis kelamin akan terus membumi (Musdah Mulia, 2020). 

“Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan” – Pramoedya Ananta Toer 


Komentar

Ita Faerita Fadhillah

Baarokallahu fiikum Sukses aejahtera Khoerukum khaeru li anfusikum Khoerunnaas anfauhum linnaas

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Idul Fitri dan Penafsiran Budaya Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja, Associate Professor, Universitas A....

Suara Muhammadiyah

5 April 2024

Wawasan

Mengarungi Kecenderungan Tafsir Klasik Al-Qur`an (2) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Buday....

Suara Muhammadiyah

29 May 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Islam menjadikan kesenangan dan kenikmatan sebagai bagian dari agama. Apa artin....

Suara Muhammadiyah

1 November 2023

Wawasan

Kelompok Salafi  dan Pudarnya Kesalehan Sosial Oleh: Muhammad Utama Al Faruqi, Demisioner Sekr....

Suara Muhammadiyah

26 April 2024

Wawasan

Bagaimana Islam Melihat Sosok Isa Al Masih (Mesias)?  Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu....

Suara Muhammadiyah

21 June 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah