Opsi (Tersisa) bagi Bangsa Palestina

Publish

5 December 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1154
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Opsi (Tersisa) bagi Bangsa Palestina

Oleh: Yasmi Adriansyah

Zionis Israel sampai detik ini terus menumpahkan darah di Gaza, Palestina. Ribuan nyawa sudah menjadi syuhada. Hampir separuhnya anak-anak tak berdosa.

Potret-potret penuh kengerian menjadi tontonan keseharian. Darah, tumpukan jenazah, reruntuhan bangunan, dan wajah-wajah penuh tangis seolah tak berkesudahan. Tahun ajaran pendidikan anak-anak sudah terhenti. Gaza terancam hilang satu generasi.

Sampai kapan derita bangsa Palestina akan berakhir? Jawabannya sangatlah tidak pasti. Kepastian bagi mereka sepertinya hanya pada akhir kehidupan dunia. Kematian.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sudah menyatakan bahwa operasi perang tentara Israel di Gaza akan berlangsung lama. “Tidak ada gencatan senjata. Karena jika itu terjadi, berarti kami menyerah,” tegas PM yang juga mantan kapten di Sayeret Matkal, pasukan khusus Zionis Israel.

 Ironisnya, organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seolah tak berdaya. Resolusi Dewan Keamanan, sekalipun hanya meminta jeda kemanusiaan, seketika ‘mati’ usai diveto Amerika Serikat, sekutu utama Zionis Israel. Majelis Umum (MU) PBB sempat memberikan harapan. Resolusi bertajuk “Protection of Civilians and Upholding Legal and Humanitarian Obligations”, yang menekankan pada perlindungan rakyat sipil dan gencatan senjata, sudah disepakati mayoritas negara anggota. Namun karena resolusi MU-PBB tidak mengikat, kecil kemungkinan Zionis Israel akan mematuhinya. 

Zionis Israel memang jarang patuh, apalagi peduli, dengan hukum internasional. Dalam prinsip mereka, silahkan dunia nyatakan keinginan, tapi Israel tetap lakukan yang harus mereka lakukan (“the world says what it wants, Israel does what it must”).

Apakah masih ada secercah optimisme bagi bangsa Palestina? Apakah opsi yang tersisa hanyalah penderitaan, kematian, atau bahkan kepunahan akibat genosida?

Saya meyakini bahwa bangsa Palestina yang mayoritas Muslim tidak akan menyerah pada keadaan. Setidaknya masih ada, walau hanya sedikit, opsi yang tersisa. Opsi tersebut adalah, pertama, kesabaran. Kedua, opsi perlawanan. Semuanya, secara spiritual, memiliki dimensi pahala di mata Allah azza wa jalla.

Untuk opsi kesabaran, masih ada upaya masyarakat antarbangsa, baik melalui lembaga internasional maupun masyarakat sipil dunia memberikan bantuan kemanusiaan. 

Sekalipun proses penyaluran tidak mudah karena pintu masuk ke Gaza melalui perbatasan Rafah tidak sepenuhnya dibuka. Namun belakangan, berbagai jenis bantuan khususnya dalam bentuk makanan, air, dan obat-obatan perlahan mulai mengalir.

Bantuan kemanusiaan ini seyogianya akan terus menjadi dukungan, baik terhadap kekuatan fisik maupun moril bagi bangsa Palestina. Setidaknya, di antara desingan peluru dan bahkan bom fosfor, mereka masih mendapatkan perhatian. 

Termasuk dalam opsi kesabaran adalah penciptaan bina-damai. Pertanyaannya, apakah masih ada peluang untuk ciptakan perdamaian, sementara pihak Zionis Israel sulit untuk dipercaya?

Dalam hal ini, kegiatan ‘bina-damai’ (peacebuilding) yang dapat dilakukan adalah pemberian terapi terhadap trauma psikologis. Warga Palestina yang masih hidup namun menjadi korban agresi Zionis Israel dapat dipastikan telah mengalami trauma yang berat. 

Bantuan terapi psikologis ‘trauma healing’ bagi rakyat Palestina tentu akan bermakna bagi mereka. Setidaknya bantuan ini akan memberikan rasa optimisme, masih ada hari esok yang kemungkinan memberikan perubahan.

Adapun upaya dialog atau negosiasi perdamaian dengan Zionis Israel sangat jauh panggang dari api. Amatlah naif jika bangsa Palestina harus dipaksa berdamai dengan penjajah, yang dengan kekuatan internal dominasi militer dan dukungan eksternal dari AS justru kerap gunakan kekerasan bahkan genosida.

Bagaimana dengan opsi perlawanan? Jika opsi kesabaran bersifat pasif, opsi perlawanan bersifat aktif. Artinya, jika bangsa Palestina ingin merdeka, hanya ini opsi yang tersisa. Sejarah menunjukkan, kemerdekaan suatu bangsa umumnya diraih dengan perlawanan senjata. Negosiasi perdamaian lebih sebagai penyerta.

Secara politik, lembaga internasional seperti PBB sudah tidak dapat berbuat banyak dalam mewujudkan Palestina merdeka. Meminjam bahasa Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, PBB seperti “impoten”. Dalam banyak kasus, hak veto AS di Dewan Keamanan adalah penyebab utamanya. 

Bangsa Palestina apalagi di Gaza tentu tidak akan meminta apalagi mengemis kepada AS. Sejak dahulu, apakah dipimpin Demokrat ataupun Republikan, sikap negara ini tidak banyak berubah. Amerika Serikat adalah anjing penjaga Zionis Israel sang penjajah. 

Bangsa Palestina di Gaza juga tidak akan meminta belas kasihan kepada Inggris, Perancis, Jerman dan bahkan Uni Eropa. Mereka setali tiga uang dengan AS. Kalaupun menggeser posisi, itu hanya sesekali. Dipaksa rakyatnya melalui demonstrasi. Selebihnya sama saja.

Harapan lain adalah kepada negara-negara mayoritas Muslim, baik secara bilateral, regional, maupun multilateral melalui Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Namun kondisi internal, termasuk instabilitas politik dan perang, di masing-masing negara membuat tidak banyak yang dapat mereka lakukan. Belum lagi dependensi ekonomi-politik sebagian negara terhadap AS.

OKI pada awal 1990an sejatinya pernah mengeluarkan resolusi pendirian Biro Koordinasi Militer bagi Palestina. Biro tersebut memberikan bantuan bidang militer bagi otoritas Palestina. Dana, senjata, dan pelatihan tempur sempat menjadi program penguatan tentara Palestina yang terjajah.

Namun sayang, usia Biro tersebut tidak panjang. Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda resolusi serupa akan dikeluarkan. Dinamika politik regional yang kompleks sepertinya menjadi kendala utama.

Kembali kepada cita-cita Palestina merdeka, jika berkaca dari fenomena di atas, sepertinya hanya opsi perlawanan yang masih terbuka. Dengan atau tanpa dukungan PBB, OKI, negara Arab atau mayoritas Muslim lainnya, hanya itu opsi yang tersisa.

Apa yang dilakukan Hamas atau berbagai gerakan perlawanan di Palestina hanyalah sedikit opsi yang mereka miliki. Untungnya, hal ini diperkuat dengan bersatunya faksi Fatah dengan Hamas pascaserangan 7 Oktober 2023. Fatah, yang menguasai Tepi Barat dan selama ini dianggap berseberangan, telah menyatakan bahwa mereka sejalan dengan Hamas, penguasa Gaza.

Berkaca dari perkembangan di atas, sudah saatnya Indonesia dan negara-negara yang masih ‘waras’ memberikan dukungan penuh kepada bangsa Palestina, termasuk untuk opsi perlawanan. Selain memberikan dukungan konvensional bantuan kemanusiaan, sudah sangat wajar jika mereka diberikan bantuan penguatan kapasitas militer. 

Baik opsi kesabaran ataupun perlawanan, semua hanyalah sedikit opsi yang tersisa bagi bangsa Palestina. Semoga Indonesia dan negara ‘like-minded’ lain tak lekang memberikan dukungannya. Untuk kemerdekaan Palestina yang abadi dan keagungan masjid Al Aqsa yang suci.

Yasmi Adriansyah, PhD, Ketua Bidang Multilateral, Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional, PP Muhammadiyah


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Keteladanan RA Kartini Mendobrak Kejumudan Oleh: Rumini Zulfikar (Gus Zul), Penasehat PRM Troketon ....

Suara Muhammadiyah

22 April 2024

Wawasan

Oleh: Bobi Hidayat Beranjak dari kota jogiakarta yang terkenal dengan kota Pendidikan, sempat singg....

Suara Muhammadiyah

7 September 2023

Wawasan

Allah Tak Pernah Ingkar Janji Oleh: Mohammad Fakhrudin Pada akhir-akhir ini gejala "ambruknya" akh....

Suara Muhammadiyah

19 July 2024

Wawasan

Memahami Al-Qur`an Lewat Generasi Awal Kaum Muslimin (1) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu B....

Suara Muhammadiyah

3 May 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Istilah "jihad" sering kali dis....

Suara Muhammadiyah

7 October 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah