Jizyah dan Toleransi: Tafsir Ulang Ayat 9:29 dalam Cahaya Konteks Sejarah Islam

Publish

7 August 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
103
Dok Istimewa

Dok Istimewa

Jizyah dan Toleransi: Tafsir Ulang Ayat 9:29 dalam Cahaya Konteks Sejarah Islam

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Ayat Al-Qur'an Surah At-Taubah ayat 29 seringkali menjadi titik perdebatan sengit dan kesalahpahaman yang mendalam, terutama di antara mereka yang tidak familiar dengan seluk-beluk sejarah Islam. Ayat tersebut, yang berbunyi, "Perangilah orang-orang yang diberikan Kitab, yang tidak benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, yang tidak mengikuti aturan keadilan, sampai mereka membayar jizyah dan bersedia tunduk," sering disalahartikan sebagai justifikasi untuk penaklukan paksa dan penindasan. Nah kunci untuk memahami ayat ini terletak pada penelusuran kembali ke konteks historis dan sosialnya yang unik.

Narasi yang sering digaungkan oleh para kritikus, khususnya dari kalangan Kristen, menggambarkan Islam sebagai agama yang agresif, berhasrat untuk menaklukkan non-Muslim dan memaksa mereka menjadi 'dzimmi' – istilah hukum Islam yang sering disalahartikan sebagai rakyat jajahan yang tertindas. Namun, kita perlu dengan tegas membantah penafsiran reduktif ini. Tafsir semacam itu secara fundamental mengabaikan konteks utama di mana ayat ini diturunkan: situasi peperangan yang genting.

Pada masa wahyu ayat ini, kaum Muslimin masih merupakan kelompok minoritas yang rentan dan terkepung. Mereka tidak dalam posisi untuk melancarkan serangan penaklukan luas, melainkan tengah berjuang keras untuk bertahan hidup melawan koalisi pasukan musuh yang ingin menghancurkan mereka. Dalam kondisi yang sangat menantang inilah, Al-Qur'an menurunkan pedoman yang, alih-alih memerintahkan penindasan, justru memberikan perlakuan istimewa kepada Ahli Kitab, yaitu kaum Yahudi, Kristen, dan kelompok lain yang diakui memiliki kitab suci dari Tuhan.

Maka, dalam konteks perang dan pertahanan diri ini, Surah 9 ayat 29 harus dipahami sebagai bagian dari kerangka hukum dan etika yang memungkinkan Ahli Kitab untuk hidup secara damai sebagai minoritas di wilayah Muslim. Ini bukan tentang penaklukan brutal, melainkan tentang pembentukan sebuah perjanjian perlindungan timbal balik. Konsep jizyah, pajak yang dibayarkan oleh Ahli Kitab, bukanlah tanda penghinaan atau perbudakan, melainkan sebuah kontribusi finansial yang sepadan dengan perlindungan dan jaminan keamanan yang diberikan oleh negara Muslim.

Dalam kancah sistem hukum Islam klasik, peran dan kedudukan Ahli Kitab—khususnya komunitas Yahudi dan Kristen—diatur secara cermat melalui konsep jizyah. Ini bukanlah sekadar pajak, melainkan sebuah pajak khusus yang membedakan mereka dari umat Muslim yang, di sisi lain, diwajibkan membayar zakat. Zakat sendiri bukan hanya pungutan finansial, melainkan salah satu pilar fundamental Islam yang kaya akan konotasi religius dan spiritual. Pengaturan ini merupakan sebuah mekanisme keadilan yang dirancang untuk menata hubungan antara Muslim dan non-Muslim secara seimbang.

Bayangkan skenarionya: di satu sisi, umat Muslim memikul tanggung jawab besar untuk mempertahankan perbatasan komunitas dan, yang terpenting, melindungi kehidupan dan properti Ahli Kitab yang berada di bawah naungan mereka. Tanggung jawab ini seringkali berarti kesediaan untuk terjun ke medan perang. Di sisi lain, Yahudi dan Kristen, dengan membayar jizyah, dibebaskan dari kewajiban militer ini. Mereka tidak harus mengangkat senjata atau mempertaruhkan nyawa di garis depan. Dengan demikian, jizyah sejatinya adalah bentuk perlindungan timbal balik: kontribusi finansial sebagai imbalan atas jaminan keamanan dan kebebasan sipil, jauh dari gambaran penindasan yang seringkali disematkan padanya.

Ada sebuah sudut pandang yang kerap terlewatkan mengenai interpretasi Surah 9 ayat 29. Bahwa, jika ayat ini ditafsirkan secara harfiah, ia justru berpotensi mengecualikan orang Kristen yang beriman. Ayat tersebut secara spesifik menyebutkan "orang-orang dari Ahli Kitab yang tidak beriman kepada Allah." Banyak terjemahan modern seringkali menambahkan kata 'sungguh' dalam kurung—menjadi "yang tidak sungguh-sungguh beriman kepada Allah"—guna memperluas cakupan penerapan ayat ini kepada Yahudi dan Kristen.

Namun, penambahan ini mencerminkan adanya interpretasi yang mendalam di kalangan Muslim terkait pemahaman tentang monoteisme atau tauhid. Bagi sebagian Muslim, keyakinan Kristen yang menganggap Yesus sebagai putra Allah dapat dilihat sebagai kompromi terhadap konsep fundamental keesaan Tuhan yang merupakan inti ajaran Islam. 

Demikian pula, meskipun komunitas Yahudi secara tegas menganut monoteisme, mungkin ada pandangan-pandangan tertentu tentang praktik atau aspek keimanan mereka yang, dari perspektif Muslim tertentu, memerlukan pembahasan lebih lanjut. Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam teks suci, terdapat lapisan-lapisan makna dan interpretasi yang kompleks, yang memerlukan pemahaman konteks dan teologi yang mendalam.

Kita perlu mengupas makna di balik frasa-frasa kunci dalam Surah 9 ayat 29: "tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya" dan "tidak mengikuti aturan keadilan." Ini bukanlah tentang perbedaan remeh-temeh dalam ritual atau kebiasaan, seperti apakah suatu kelompok mengonsumsi daging babi atau tidak. 

Sebaliknya, frasa-frasa ini merujuk pada isu-isu fundamental dalam hukum yang berdampak langsung pada perdamaian dan stabilitas sosial. Ini adalah tentang pelanggaran terhadap prinsip-prinsip universal seperti menghormati kesucian hidup manusia atau secara aktif merongrong sistem hukum yang dirancang untuk menjaga keadilan bagi semua.

Sebagai contoh, pada Surah yang sama, ayat 12, di mana disebutkan tentang individu atau kelompok yang secara terang-terangan mengacaukan atau melanggar perjanjian yang berlaku. Dalam konteks inilah, apabila Ahli Kitab terbukti melanggar atau merusak hukum keadilan yang telah disepakati—bukan sekadar memiliki perbedaan pandangan keagamaan—maka barulah mereka akan dihadapkan pada tindakan militer dan ditundukkan. 

Namun, bahkan dalam skenario ini, tujuan akhirnya bukanlah pemusnahan atau pemaksaan. Hasil dari penundukan ini adalah mereka akan membayar jizyah dan, yang terpenting, diizinkan untuk hidup damai di antara umat Muslim. Ini menggarisbawahi bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari upaya penegakan hukum dan ketertiban, bukan agresi tanpa batas.

Surah 9 ayat 29 sama sekali bukan perintah untuk memaksa konversi agama. Jika tujuan utama ayat ini adalah untuk memaksa non-Muslim memeluk Islam, maka tidak akan ada gunanya menyebut mereka sebagai "Ahli Kitab"—sebutan yang secara intrinsik mengakui mereka sebagai penganut agama Ibrahim. Bukti paling kuat yang mendukung argumen ini adalah prinsip Al-Qur'an yang tegas: "Tidak ada paksaan dalam beragama" (QS. Al-Baqarah: 256).

Dengan demikian, umat Muslim tidak memiliki hak untuk memerangi orang lain demi memaksa mereka memeluk Islam. Akan tetapi, mereka memiliki hak, bahkan kewajiban, untuk menegakkan kepatuhan terhadap sistem hukum yang adil—sebuah sistem yang dirancang untuk melindungi hak-hak dan kesejahteraan semua individu, terlepas dari keyakinan agama mereka. Ini adalah tentang memastikan ketertiban sosial dan keamanan kolektif.

Oleh karena itu, untuk benar-benar memahami Surah 9 ayat 29 ini, kita harus melampaui penafsiran dangkal dan menghargai konteks historis dan nuansa bahasa yang terkandung di dalamnya. Ayat ini sejatinya adalah pedoman tentang manajemen konflik dan perlindungan minoritas di tengah situasi perang yang kompleks, bukan sebuah mandat untuk agresi tanpa pandang bulu atau penindasan religius. Ini adalah bukti lebih lanjut dari prinsip keadilan dan perlindungan yang mendasari ajaran Islam.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Khazanah

Al Ghazali dan Inkoherensi (Bagian ke-2) Oleh: Donny Syofyan Pada hari pertempuran, para bangsawan....

Suara Muhammadiyah

7 November 2023

Khazanah

Etika Terhadap Pemimpin  Oleh: Sukahar Ahmad Syafi’i, Alumni PUTM Yogyakarta & Sekre....

Suara Muhammadiyah

28 March 2025

Khazanah

Fathimah Az-Zahra Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Fathimah ada....

Suara Muhammadiyah

21 February 2024

Khazanah

Ibrah Sejarah Maroko - Spanyol Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim, Guru Besar Ilmu Sejarah dan Peradaban I....

Suara Muhammadiyah

26 April 2024

Khazanah

Aisyah binti Abu Bakar: Wanita Kritis dan Pemberani Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya ....

Suara Muhammadiyah

19 February 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah