Kajian Wasathiyah Islam Berkemajuan

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
138
Haedar Nashir

Haedar Nashir

Oleh: Prof Dr H Haedar Nashir, MSi

Pandangan tentang "Islam Wasathiyah" (Wasathiyat al-Islam) telah menjadi arus utama keislaman di Indonesia maupun di dunia Islam dan  ranah global. Islam wasathiyah menunjuk pada karakter atau sifat beragama (berislam) maupun dalam menyikapi kehidupan dengan adil (al-‘adl), baik atau pilihan (al-khair, al-khiyar). Secara umum sering diidentikkan dengan Islam yang moderat atau tengahan.

Pandangan wasathiyah Islam bukan hanya dalam kehidupan keagamaan tetapi juga dalam kehidupan secara luas yakni bermasyarakat, berbangsa, dan kehidupan kemanusiaan di ranah global. Suatu pandangan moderat atau tengahan yang bersifat alternatif, sehingga melahirkan kebudayaan dan peradaban terbaik di banding sistem keagamaan dan kehidupan lainnya.

Bagaimana dengan Muhammadiyah? Apakah Muhammadiyah berada dalam arus utama wasathiyah Islam yang berkembang tersebut? Bagaimana dengan karakter khas dari wasathiyah yang melekat dalam Muhammadiyah. Dalam kaitan ini perlu dikaji konteks dan teks tentang wasathiyah Islam. Setelah itu bagaimana Muhammadiyah mengembangkan karakter wasathiyah sebagaimana termuat dalam Risalah Islam Berkemajuan.

Konteks Mutakhir

Kurun terakhir menurut banyak kajian dan pandangan terdapat kecenderungan beragama yang konservatif  (ortodoks,  jumud, puritan) dalam pengertian longgar dan memiliki irisan satu sama lain pada kekolotan, ketradisionalan, dan kemandegan. Semangatnya ingin kembali kepada ajaran dan praktik beragama yang “aseli” atau “murni” untuk menghindari “penyimpangan”. Kecenderungan tersebut mengenai semua agama, bahkan dalam aspek kehidupan lainnya seperti politik, nasionalisme, dan paham lain yang intinya kembali pada “keaselian” atau “kemurnian”. 

Kajian mutakhir yang kontriversial dilakukan oleh Daneshgar (2020) yang melakukan kritik pada tradisi kajian keislaman (Islamic Studies) yang dianggapnya lebih kuat pada sikap apologetik (Islamic Apologetics) khususnya dalam studi Al-Quran maupun kajian Islam secara umum. Daneshgar mengeritik kalangan akademisi dan kaum muslim yang menghalangi analisis kritis terhadap kajian Al-Qur’an sehingga tidak sampai pada substansi kebenaran yang kokoh. Kalangan Islam lebih banyak membela identitas Islam secara defensif (strategi bertahan) dan tidak mau membuka diri, sehingga yang berkembang kata cendekiawan muslim dari Iran itu bukanlah studi Islam melainkan apologetik Islam. Dicontohkannya bagaimana antara golongan Sunni dan Syiah masing-masing sulit menerima hasil kajian masing-masing secara objektif, bahkan sebaliknya saling menolak satu sama lain. Demikian halnya kalangan Islam sering memiliki kecurigaan kuat dan tidak mau menerima pandangan-pandangan Barat yang selalu dikaitkan dengan penjajah dan anti-Islam.

Al-Jabiri mengajukan analisi kritis sekaligus tawaran yang disebutnya sebagai “formasi nalar Arab-Islam” (takwim al-‘Aql al-‘Arab al-Islami), yakni “rekonstruksi kesadaran atas masa lalu, masa kini, serta hubunhan keduanya”. Al-Jabiri menawarkan kajian keislaman dan pemikiran Islam dengan melakukan wacana interreligius baru atas khazanah tradisi Islam mulai dari aspek bahasa, balaghah, fikih, kalam, filsafat, dan tasawuf dalam satu kesatuan epistemologi Islam. Epistemologi yang ditawarkannya sangat populer  yaitu bayani, burhani, dan irfani dalam sistem pemikiran Islam (Al-Jabiri, 2003).  

Di tengah dunia chaos, anomali, dan kehilangan etika-spiritual global, kaum muslim layak menyimak kembali pertanyaan Mohammad Iqbal, dalam “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” (1930), “mungkinkah agama hadir?”.  Peluang untuk kehadiran agama sangat besar, karena menurut sosiolog Bryan Wilson (1966)  dalam “Religion in Secular Society”,  bahwa pada masyarakat modern yang sekular sejatinya masih terdapat tempat pada kehadiran dan pengaruh agama, sebab “masyarakat yang sepenuhnya sekuler belum ada”. Bagi Wilson, masyarakat sekuler kelihatannya tidak tergantung pada satu arah saja dalam mempertahankan pemikiran, praktik, atau institusi-institusi agama. Pada titik ini agama dapat berfungsi sebagai kekuatan kohesi sosial, meski kecenderungannya agama berkembang menjadi lebih pribadi sifatnya. Dominasi suatu golongan agama atau keagamaan akan menurun seiring terjadinya proses domestikasi dan gerak sentrifugal organisasi-organisasi atau institusi-institusi keagamaan.

Muhammad Iqbal menawarkan integrasi spiritual dan intelektual dalam rekonstruksi ajaran Islam di tengah masyarakat modern. Religiusitas dalam Islam tidak semata-mata pada aspek spiritualitas atau keruhanian semata, tetapi juga terkoneksi dengan akal, sehingga keduanya dapat menjadi satu kesatuan yang saling mendukung dan bukan atau tidak saling bertentangan. Muhammad Iqbal termasuk pemikir muslim ternama yang memandang kesatuan iman dan akal maupun ilmu plus filsafat. Bagi Iqbal, bahwa pengetahuan dan pengalaman religius dimulai dengan pembahasan tentang hakikat pengetahuan filosofis yang didasarkan pada akal, dan pengetahuan religius yang didasarkan pada iman, yang dilandang saling melengkapi. Kemudian diikuti oleh interpretasi atas perkembangan historis filsafat Islam dan persoalan-persoalan pengetahuan dan pengalaman religius menurut prinsip Al-Qur’an.

Watak Islam Indonesia 

Umat Islam Indonesia pada dasarnya berwatak  moderat. Menurut Esposito (1997), wajah Islam Indonesia lebih lembut, dibentuk oleh angin tropis dan pengalaman multikultural yang panjang. Inilah wajah Islam yang sekarang populer disebut Islam moderat atau Islam tengahan (wasathiyyah). Penyebaran Islam berlangsung secara damai dan membawa pengaruh pada corak Islamisasi yang bersifat sosial-kultural (Kartodirjo, 1993). Islam Indonesia berkembang menjadi agama masyarakat secara luas, sekaligus menjadi kekuatan integrasi nasional dalam pembentukan kebudayaan Indonesia (Koentjaraningrat, wawancara Kompas). Fenomena yang menarik, pada abad ke-19 masyarakat Jawa  menjadi Islam, pada saat yang sama menjadi Muslim telah merupakan suatu identitas diri terutama di kalangan istana dan bangsawan, meskipun tidak selalu identik dengan menjalankan ritual ibadah (Furnivall, 2009: 109). Islam moderat memiliki akar pada sejarah Islam Indonesia.

Namun masih terdapat kontradiksi keberagamaan di tengah watak dasar Islam moderat itu. Belakangan terdapat kontradiksi dalam praktik keislaman dan kebudayaan Islam di Indonesia. Kecenderungan sekular-liberal dalam pandangan keislaman dan kebangsaan. Ide negara sekuler, pluralisme mengarah sinkretisme, sintetisme atau relativisme. Dalam aspek sosial-budaya umat Islam Indonesia  makin hari kian tidak menjadi kultur atau kebudayaan dominan di negeri ini. 

Budaya dan ruang publik Indonesia  tidak menunjukkan representasi kebudayaan Islam baik yang bersifat Islamics  atau aktualisasi dari ajaran Islam maupun yang bersifat Islamicate atau bercorak Islam. Ajakan shalat dan doa ala Islan hanya terdengar sesekali di pesawat atau bandara tertentu seperti di Yogyakarta International Airport dan di Terminal 1-2 Cengkareng, selain di Aceh. Kini para pejabat atasnama kebhinnekaan harus membaca salam semua agama ketika berpidato atau sambutan, padahal dulu di era Orde Lama dan Orde Baru sepenuhnya salam Islam. Klaim Islam Nusantara pun tidak menunjukkan budaya Islami yang kuat, kecuali sebatas tampilan ritual sosial-keagamaan tertentu. Secara umum budaya Indonesia cenderung sekular sebagaimana terjadi di negara-negara liberal. Suara adzan dan pengeras suara masjid pun banyak dipersoalkan di negeri mayoritas muslim ini, padahal berabad-abad lamanya tidak menjadi masalah.

Kecenderungan “Islamis parsial” atau “Islamis tekstual”. Di  pendulum lain terdapat praktik keislaman yang semakin lebih puritan dan simbolik. Cara berkerudung yang semakin “rapat” dan bahkan ada yang bercadar, yang sering diklaim sebagai berhijab yang “syar’i”. Penggunaan istilah sehari-hari yang semakin “puritan” sehingga kata-kata “insya Allah”, “amin”, “subhanallah”, dan lain-lain harus sesuai dengan penulisan Arab, meskipun sudah menjadi bahasa sehari-hari umat Islam Indonesia dan bahkan warga masyarakat pada umumnya. Cara berpakaian ala Timur Tengah bagi laki-laki muslim juga semakin meluas, yang membawa paham keisalaman yang lebih puritan atau “salafi”. Kecenderungan kedua ini juga dapat menimbulkan jarak antara Islam dan kebudayaan masyarakat Indonesia, sehingga Islam dan umat Islam menjadi identik dengan “Arab” dan alergi dengan keindonesiaan.

Dalam lintasan sosio-hostoris yang panjang dan penuh pergumulan, memang menjadi suatu diskontinyuitas (keterputusan) bila di kemudian hari ada fase “pengerasan” atau puritanisasi-ekstrem dalam proses Islamisasi di Indonesia, termasuk pasca reformasi. Proses Islamisasi yang keras, hitam-putih, tertutup, garang, dan tidak jarang takfiri  yang sering menimbulkan konflik keras bukan hanya dengan sasaran dakwah tetapi juga dengan sesama umat dan golongan lain seperti ini terjadi dalam sejumlah fase dulu hingga kini dengan dalih dan faktor yang kompleks.

Namun Islamisasi dan dakwah seperti itu tidak menjadi harapan bagi masa depan Islam. Boleh jadi penurunan jumlah kepemelukan Islam sebagaimana sering menjadi isu akhir-akhir ini —yang perlu dibaca datanya secara valid dan seksama— antara lain karena strategi dan model dakwah yang mengeras itu, sehingga kalah luwes dan tidak mampu bersaing dengan pihak lain. Ibarat menjual barang bagus tidak dengan pemasaran yang elok, sebagaimana pepatah at-thariqu khayra min al-maddah, bahwa cara itu jauh lebih penting ketimbang isi materi. Karenanya wasthiyah Islam baik dalam konteks umum maupun Muhammadiyah penting dibangun atau dikembangkan pemahamannya dalam perspektif yang luas, mendalam, dan mampu dipahami oleh seluas mungkin masyarakat muslim di negeri tercinta.

Sumber: Majalah SM Edisi 06/2025


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Editorial

KEGAIRAHAN BERAGAMA YANG BERKEMAJUAN Pernah, para ilmuwan sosial memprediksikan bahwa agama-agama a....

Suara Muhammadiyah

4 May 2024

Editorial

Keadilan Sosial sebagai Masalah Kemanusiaan  Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si. Problem kema....

Suara Muhammadiyah

3 October 2024

Editorial

Move On Politik Pemilu 2024 telah selesai dengan aman dan lancar. Hasilnya menunggu dan akan diumum....

Suara Muhammadiyah

8 March 2024

Editorial

MENGHADIRKAN KEMAKMURAN UNTUK SEMUA Pemerintahan baru telah terbentuk setelah Prabowo Subianto dan ....

Suara Muhammadiyah

24 December 2024

Editorial

IKHTIAR MENYELAMATKAN SEMESTA Apa jadinya jika negara-negara sponsor Hak-hak Asasi Manusia (HAM) du....

Suara Muhammadiyah

21 December 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah