KITA USAHAKAN RUMAH ITU
Muhammadiyah sering dibanggakan sebagai organisasi kader. Sejarahnya penuh dengan tokoh-tokoh visioner yang tidak hanya membangun amal usaha dan gerakan dakwah, tetapi juga memelopori tradisi kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan.
Namun, hari ini kita menyaksikan keganjilan yang menyentak nurani: tidak sedikit anak-anak para tokoh Muhammadiyah yang justru enggan meneruskan langkah orang tuanya. Ironis, krisis kader itu kini terjadi di rumah sendiri.
Kondisi ini menjadi alarm yang tidak boleh diremehkan. Jika Muhammadiyah tidak lagi menjadi pilihan generasi kedua dari keluarga para penggeraknya, lalu bagaimana masa depan perkaderan itu sendiri? Bukankah rumah seharusnya menjadi sekolah ideologis pertama, tempat nilai-nilai gerakan ditanam dan ditumbuhkan?
Salah satu penyebab fenomena ini adalah kesenjangan emosional antara kader senior dan anakanak mereka. Para tokoh Muhammadiyah generasi sebelumnya dikenal militan, penuh totalitas. Namun, militansi yang tidak diimbangi dengan kehadiran emosional di rumah bisa melahirkan luka psikologis pada anak. Bagi mereka, Muhammadiyah adalah “pencuri” waktu orang tua mereka.
Anak-anak ini tumbuh dengan narasi bahwa Muhammadiyah penting, tapi mereka juga tumbuh dengan pengalaman bahwa Muhammadiyah mengambil alih cinta dan perhatian yang seharusnya menjadi hak mereka. Maka ketika dewasa, mereka menjauh bukan karena mereka anti, tapi karena mereka merasa Muhammadiyah adalah “trauma” dan bukan rumah.
“Kita usahakan rumah itu,” kata Sal Priadi.
Selengkapnya dapat membeli Majalah Suara Muhammadiyah digital di sini Majalah SM Digital Edisi 13/2025


