Kalimatunsawa’ IMM Jawa Tengah
Oleh: Izzul Khaq, PC IMM Sukoharjo
Setelah membaca tiga tulisan dari kader Jateng yang gelisah dan melemparkan diruang digital saat ramadan kemarin. Diawali tulisan “IMM Jateng Hilang Arah” oleh IMMawan Najihusalam yang sangat kritis, dilanjut oleh tulisan “Ketidakpercayaan Kader Jateng” oleh IMMawati Nur Laili Khoirunnisa (Ketum IMM Blora), dan “Benang Kusut IMM Jateng” oleh Naufal Afif (Ketum IMM Kendal).
Tiga tulisan tersebut menarik dan patut diapresiasi karena berani mengevaluasi, sebab dari banyaknya kader jateng selama periode DPD sekarang, baru kali ini mengkritisi gerakan DPD IMM Jateng yang beruntun dan tajam. Bahkan ketajaman pena adinda najihusalam sempat ada percobaan peretasan disalah satu akun media sosialnya oleh oknum.
Harus dipahami bahwa evaluasi merupakan serpihan-serpihan pemikiran reflektif yang bermakna. Sebuah refleksi kritikal yang bernada gugatan intelektual ini setidaknya menggambarkan secara garis besar hasil penggalian dan panggilan intelektual. IMM lahir, berkembang, bertahan, dan mengarungi masa depannya semata-mata karena alasan intelektualisme. Intelektualisme menjadi faktor kunci keberadaan IMM, dan oleh karenanya, ini harus dibuktikan oleh kader-kadernya.
Ketika kader-kader hanya gemar menunduk dan tenggelam dalam gadget-nya ketimbang bergumul dengan buku dan diskusi, selain buku mata perkuliahan-nya. Dan jika hal itu tetap membudaya, nalar intelektualitas kader perlahan akan padam. Maka kemudian, menjadi agenda mendesak bagi IMM (di setiap level pimpinan) untuk kembali menghidupkan nalar berpikir sistematis, reflektif, dan mendalam dalam meramu, mencerna, dan merespons realitas yang sekiranya perlu diluruskan.
Problematika IMM
Perjalanan IMM sebagai institusi perkaderan hendaknya mencerminkan suatu tatanan figure elit di Muhammadiyah pada khususnya. Mereka adalah jelmaan dari aktor intelektual par religious, yakni aktor intelektual yang tidak bisa dipisahkan dari akar nilainya yaitu Islam. Pemisahan antara Intelektual dan Islam di tubuh IMM adalah ahistoris.
Selain dari pada itu, perwujudan dari Intelektualitas IMM dapat dilacak dari keberadaannya sebagai basis perlawanan pada ketertindasan. Kepentingan dari pada IMM harus bermuara pada urusan-urusan kemanusiaan, pada usaha-usaha mengentaskan persoalan yang berkembang di masyarakat. Agen yang memikirkan sekurang-kurangnya cara-cara terbaik dalam memutus rantai kebodohan dan penindasan di masyarakat, lebih-lebih sebagai pelita penggeraknya.
Sekalipun nyatanya, hari ini IMM bak jauh panggang dari api, IMM menghadapi suatu tantangan tak terperi, potret IMM yang telah berubah. Keadaan dimana asas perjuangannya yang dulu diperjuangkan, kini lambat-laun telah mengalami suatu penjenuhan, kebosanan yang menjemukkan dan orientasi yang tak berarah. Meskipun realita tersebut tidak hanya dirasakan oleh IMM, akan tetapi, setidaknya IMM harus lebih depan dalam merenungi keberadaannya di era yang kian tak tentu ini.
Problem yang terjadi di IMM yang disinggung oleh 3 kader terbaik jateng sebenarnya tidak cuma terjadi di jateng, bahkan NASIONAL. Ini terjadi karena semua sibuk bicara soal posisi strategis dan sikap ke pemerintah. IMM kekosongan penjaga gawang ideologis dan kekeringan narasi baru. Pimpinan yang diatas sibuk rebutan kursi dan mencari muka, sedang pimpinan yang dibawah lupa menata paradigma. Ini berbahaya jika dibiarkan tanpa ada pembenahan.
Moderasi Ber-IMM
Melanjutkan dari kegelisahan kehilangan navigasi, kurangnya perhatian dan bermacam konflik yang terjadi, ini harus ada kalimatunsawa’ (titik temu) untuk meredam dan menyelesaikannya. Kata kunci dari moderasi ialah mendialogkan perbedaan untuk menemukan alternatif yang pada gilirannya dapat saling menerima dan menghargai satu sama lain.
Jika dialog itu tak pernah terjadi, maka tentu konflik akan terus berlarut tak pernah ada upaya menemukan problem solving. Jikalau konflik itu besar dan terjadi dialog diantaranya, tentu dialektika panjang akan terjadi dan keniscayaan sintesis akan lahir dari perseteruan tesis dan antitesis.
Kedewasaan menjadi pilar utama dalam menyikapi kejadian apapun, terlebih saat konflik menyulut. Sebab tanpa adanya sikap dewasa tak akan terjadi dialog yang menghasilkan keteduhan setelahnya.
Coba kita telisik historis Nabi Muhammad, konsep moderasi beragama telah dijalankan oleh beliau di masa beliau menjabat sebagai kepala negara di Madinah. Semasa beliau menjabat terdapat kerukunan antar umat beragama di Madinah dengan dibentuknya piagam Madinah. Inilah hasil dialog dan kedewasaan Nabi yang memuat perjanjian antara umat Islam dan non-Islam.
Menurut Prof. Dr. Phil Komaruddin Amin moderasi beragama merupakan cara pandang, sikap, dan perilaku beragama. Dalam konteks akidah adalah meyakini kebenaran sendiri dan menghargai, menghormati penganut agama lain. Dalam konteks sosial budaya adalah berbuat baik dan adil kepada penganut agama lain (selain Islam) yang merupakan bagian dari agama, apalagi sesama penganut agama islam.
Ingin kami sampaikan bahwa narasi moderasi beragama dalam kehidupan itu juga harus dimaknai dalam berorganisasi, termasuk dalam ber-IMM. Pemaknaan disini ialah nilai-nilainya penting dipahami dan diterapkan supaya terjadi kesejukan diinternal organisasi IMM. Bahwa gerakan IMM seringkali tak maksimal gegara konflik internal, egoisme kepentingan, kebencian nan kedengkian yang sulit dilerai karena tak ada kalimahsawa (penengah) diantaranya.
Disinilah narasi moderasi ber-IMM menjadi manifesto alternatif yang kongkret manakala dipahami dan diimplementasikan. Nilai toleransi menjadi gawangnya dan mencari titik temu diberbagai aneka warna konflik. Konflik itu diselesaikan, bukan dirasakan biar tak berlarut menghabiskan energi yang kemudian gerakan IMM Jateng tidak kehilangan kompas ditengah jalan.
Taktis moderasi ber-IMM ialah mendialogkan semua pihak yang terkait secara vertikal maupun horizontal. Ikhtiar ini menjadi penting dan mendesak karena IMM kian sedikit penjaga gawang ideologis dan kurang maksimalnya gerakan IMM.