Isra Miraj dan Rekonstruksi Perilaku Sosial
Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja, Associate Professor Universitas Al Azhar Indonesia
Jiwa Mi'raj ini patut menjadi teladan remaja generasi muda masa depan. Remaja dan generasi muda dalam rentang usia 14-40 tahun menghadapi tantangan zaman yang tidak mudah. Rendahnya literasi yang dialami hingga tingginya angka kriminalitas yang terjadi. Menurut UNESCO minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%, hal ini berarti bahwa dari 1000 orang hanya terdapat 1 orang yang mempunyai minat baca (CNBC, 2024). Berdasarkan skor PISA tahun 2022, kemampuan literasi di bidang matematika, science, minat baca masyarakat Indonesia berada di Peringkat 66 dari 81 negara (Suara Surabaya, 2024).
Rendahnya literasi ini berdampak pula pada sikap berisik para pengguna sosial media (netizen) yang berperilaku tidak sopan. Netizen Indonesia adalah yang paling tidak sopan di Asia Tenggara. Dalam laporan 'Digital Civility Index (DCI)', Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei untuk tingkat kesopanan, sekaligus menjadi yang terendah di Asia Tenggara (CNN.com, 2021). Minat baca yang rendah berdampak pada ketidakfahaman atas konteks sosial yang sedang didiskusikan, sehingga hanya memunculkan pendapat tanpa adanya dukungan literasi yang cukup.
Rendahnya literasi ini berdampak langsung pada kualitas hidup manusia Indonesia. Salah satu hal yang mengakibatkan rendahnya literasi masyarakat Indonesia adalah kondisi sosial-ekonomi, kualitas pendidikan yang rendah, juga sikap terhadap arti penting sebuah pendidikan (detik.com, 2024). Swmakin rendah tingkat literasi manusia, maka semakin rendah kualitas manusia yang hidup di dalam lingkungan tersebut.
Berbagai hambatan besar ini menjadi sebuah tantangan bagi mansuia Indonesia untuk segera berbenah. Nilai-nilai Isra-Mi’raj ini menjadi salah satu poin penting dalam membangun kualitas manusia Indonesia. Isra Miraj adalah proses perjalanan spiritual Nabi Muhammad Saw dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, yang dilanjutkan menuju Sidratul Muntaha. Isra berasal dari kata sara (perjalanan malam), dan miraj dapat diartikan sebagai berjalan mendaki (Sumitro, 2023).
Perjalanan ini tidak saja semata berjalanan spiritual, tetapi ia memberikan dampak yang luar biasa terhadap perilaku sosial manusia setelahnya. Isra Miraj bukan sekedar realitas spiritual, melainkan juga sebuah realitas konstruksi sosial. Bahwa turunnya perintah sholat adalah sebuah media pertemuan manusia dengan Tuhannya, sekaligus relasi ketuhanan ini juga membawa dampak sosio kultural yang besar.
Rekonstruksi Perilaku Sosial
Isra-Mi'raj mengandung 2 nilai: nilai spiritualitas dan nilai sosial. Dalam pemaknaan spiritualitas, Isra-Miraj mengandung makna adanya relasi antara Nabi Muhammad Saw dengan Tuhan secara langsung yang melahirkan perintah sholat. Maka sholat bukanlah semata gerak ibadah melainkan relasi manusia dengan Allah secara langsung. Dalam sholat manusia melakukan relasi konstruktif positif dengan Allah selaku Tuhannya secara langsung tanpa perantaraan apapun dan siapapun.
Dalam pemaknaan sosial, Isra-Mi'raj adalah wujud dari pembentukan manusia bertuhan, yang dengannya ia membangun hubungan antar sesama umat manusia. Nilai-nilai ketuhanan tersebut ditebarkan melalui semangat membangun hubungan keumatan dan kemanusiaan.
Relasi sosial Isra-Miraj terbangun melalui terbentuknya jiwa dan pemikiran kreatif untuk membangun kondisi sosial yang lebih baik. Relasi keimanan kepada Allah melalui sholat diwujudkan melalui kecerdasan perilaku sosial seorang hamba. Sholat seorang hamba akan mendidiknya menjadi manusia yang mampu bertindak cerdas untuk memberikan jalan keluar dari beragam problematika sosial yang terjadi (suaraaisyiyah.id, 2020).
Memperjalankan Nabi Muhammad Saw ke Sidratul Muntaha yang pada ujungnya bertemu langsung dengan Allah Swt sejatinya mengandung nilai sosio kultural yang tinggi. Bahwa pertemuan itu mengajarkan sebuah penanaman nilai ide ruhani ketuhanan dalam setiap jiwa dan akal fikir manusia. Tindakan dan perilaku yang dihasilkan adalah mencerminkan jiwa manusia bertuhan (Qs.[32]:9), dan bukan menunjukkan sikap dan karakter manusia yang memberikan kerusakan di bumi (Qs.[30]:41).
Nabi Muhammad Saw setelah menghadap Allah, tidaklah kemudian Beliau melupakan kehidupan dunianya. Beliau tetap kembali kepada lingkungan sosialnya untuk membangun kehidupan manusia yang berkualitas. Sebagaimana manusia yang melakukan Mi’raj melalui sholat tidak bermakna ia melupakan kondisi lingkungan sosialnya, melainkan setelah sholat ia lalu menebarkan kebaikan kepada sesamanya (Qs.[62]:10).
Nilai-nilai Isra Miraj melalui perjalanan Nabi Muhammad Saw menjadikan manusia memiliki 2 (dua) komponen utama dalam dirinya: komponen spiritual sebagai makhluk bertuhan (hablum minallaah), dan komponen kepedulian sosial sebagai makhluk sosial (hablum minnanas). Komponen spiritual menempatkan manusia tunduk hanya kepada Allah selaku Tuhan, tidak kepada selainNya. Komponen sosial menjadikan manusia selalu peduli kepada penderitaan sesamanya.
Sebagai makhluk bertuhan, manusia bukanlah makhluk yang bodoh karena ayat pertama yang diturunkan berbicara tentang Ilmu Pengetahuan Iqra (Qs.[96]:1-2) dan tidak diciptakan tanpa tujuan dan kesia-siaan (Qs.[3]: 191). Sebagai makhluk sosial manusia adalah makhluk yang paling berguna bagi lingkungan sosialnya. Ia menciptakan perubahan-perubahan ke arah perbaikan dan kemajuan (Qs.[21]: 80-81).
Bagaimana mungkin manusia muslim Indonesia dinyatakan rendah daya bacanya dan pemahamannya sedangkan disisi lain ayat Allah yang diturunkan pertama kali adalah tentang ilmu pengetahuan? Bagaimana mungkin manusia Indonesia dinyatakan miskin dan tertinggal sedangkan ayat Allah menyatakan bahwa manusia terus berinovasi untuk melakukan perubahan ke arah kebaikan dan kemajuan?
Isra Miraj haruslah difahami sebagai sebuah konsep rekonstruksi sosial untuk merubah eksistensi perilaku manusia dari kebodohan menjadi kemajuan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi, dari kemiskinan menuju kesejahteraan. Isra Mi’raj mengajarkan nilai-nilai kepedulian sosial yang tinggi terhadap sesamanya, bahwa semakin ia bertuhan, semakin ia peduli dengan sesamanya.
“Dan sembahlah Allah, dan jangan kamu mempersekutukannya dengan sesuatu pun, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan yang jauh, teman sejawat, orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan budak-budak kamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Qs. An-Nisa [4]: 36)