Kapitokrasi, Tanawwu’, dan Kosmopolitanisme dalam Risalah Islam Berkemajuan

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
31
Foto Istimewa

Foto Istimewa

BANTUL, Suara Muhammadiyah – Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Takdir Ali Mukti menegaskan bahwa Risalah Islam Berkemajuan (RIB) apabila dibaca melalui perspektif ilmu sosial-politik dan hubungan internasional, RIB adalah dokumen terbuka yang dapat diuji verifikasi dan uji falsifikasi secara akademik secara luas, baik ekternal maupun internal Muhammadiyah. RIB juga dapat menjadi media untuk mempromosikan ide atau gagasan-gagasan besar Muhammadiyah kepada dunia luar secara global.

Pandangan itu disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema RIB dalam Perspektif Sosial Politik dan Hubungan Internasional yang diselenggarakan Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Pusdiklat Tabligh Institute Muhammadiyah Tamantirto, Kasihan, Bantul, Sabtu, 13 September 2025.

Ia membandingkan hal itu dengan metode pembacaan dokumen yang dipilih oleh Al-Qur’an pada awal Surah Al-Baqarah memberi kode jelas dengan metode verifikasi dan obyektifikasi yang berjarak dengan obyek yang sedang diuji yakni Ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri sehingga pilihan katanya adalah Dzalika. Pilihan kata dzālika dalam “dzālikal-kitābu lā raiba fīh”, menurutnya, menunjukkan metode objektifikasi dari luar, bukan klaim internal. Bahkan kata dzalika juga mengkodekan sebuah studi komparatif dengan dokumen-dokumen kitab suci sebelumnya untuk diadu kesahihannya dengan Al-Qur’an.

Dalam konteks pembacaan seperti itu, maka kata ‘Dzalika’ menjadi mustahil untuk dapat diganti dengan kata ‘Hadza’, sebab ‘Hadza’ menunjukkan pengamatan dari jarak dekat, yang lebih bersifat falsisikasi. “Membaca RIB juga harus siap dengan objektifikasi seperti itu ketika disodorkan ke lembaga-lembaga luar,” katanya. Karena itu, RIB bukan hanya dokumen internal, melainkan instrumen promosi pemikiran yang harus disebarkan ke dunia dengan versi bahasa Arab dan Inggris.

Dalam paparan bertajuk “Perkhidmatan Kebangsaan”, Takdir menyinggung konsep negara Pancasila, NKRI sebagai Darul Ahdi wa Syahadah, serta misi rahmatan lil ‘alamin. Konsep nasionalisme dalam konteks ini harus dibaca dengan perspektif nasionalis-kosmopolitan. Sebab, jika tidak, maka ia mengingatkan adanya paradoks antara batasan nasionalisme sempit ala Westphalian dengan cita-cita dakwah global Muhammadiyah.

“Indonesia dengan NKRI-nya harus dimaknai dalam bingkai nasionalis cosmopolitan. Sebuah konsep yang menggabungkan nilai-nilai nasionalisme  yang loyal pada negara sendiri, dan semangat kosmopolitanisme, yakni rasa kebersamaan kemanusiaan secara Global,” jelasnya.

Ia menegaskan, sejak awal KH. Ahmad Dahlan sudah berpikir kosmopolit. Pidatonya tahun 1922 tentang pentingnya kesatuan hati seluruh umat manusia sehingga manusia bisa hidup sejahtera bersama di dunia, menurut Takdir, itu artinya memang sejak awal berdirinya Muhammadiyah sudah berpikiran Nasionalis-Kosmopolitan, yang mempersiapkan diri secara aktif untuk berkiprah dalam dakwah global. Ini berbeda secara fundamental dengan organisasi transnasionalis seperti HTI/Ikhwanul Muslimin yang menggaungkan Khilafah sejagad.

Muhammadiyah tidak mendistorsi Nasionalisme warga negara, dan agar tetap loyal dan berbakti pada negaranya, tapi seorang warga negara dituntut juga, khususnya warga Muhammadiyah, untuk bersatu dengan warga Negara dari negara lainnya dalam menyiarkan kegemilangan Islam dan misi-misi kemanusiaan secara global. Bukan Nasionalisme yang seperti katak dalam tempurung, tapi nasionalisme-cosmopolitan ala burung garuda yang terbang di cakrawala tinggi di angkasa, dan melihat horizon yang jauh di luar negerinya.

Dalam cakrawala cosmopolitan itulah,maka sangat logis jika KH. Ahmad Dahlan memilih jalan yang sangat toleran dalam ber-Figh ibadah/tanawwu’, dan tegas dalam wilayah usuliah/tauhid (TBC), dan menggalakkan amal Sholeh yang menjawab kebutuhan ummat manusia. Bahkan, KH. Ahmad Dahlan tidak menyusun kitab figh ibadah secara khusus.

Dalam bagian lain, Takdir memperkenalkan istilah “kapitokrasi”, yakni sebuah perhelatan adu kuat modal-finansial untuk pertarungan politik electoral dalam bungkus demokrasi prosedural. Hal ini juga menandai matinya gagasan bernegara secara sehat. Ia menyebut sistem politik Indonesia kini cenderung ke arah kapitokrasi, bukan demokrasi substantif. “Untuk memenangkan suara di tingkat RT saja, caleg harus punya modal finansial. Itu bukan demokrasi, tapi kapitokrasi,” katanya.

Takdir juga menyoroti pentingnya tanawwu’ (keragaman) dalam praksis fikih dan kehidupan sosial Muhammadiyah. “Bagaimana mungkin ingin go internasional, tetapi tidak mampu menerima keragaman dengan tetangga? Itu tidak logis,” ucapnya. Menurutnya, masyarakat akar rumput lebih fleksibel menerima perbedaan dibanding elite yang kerap memaksakan keseragaman atas nama identitas.

"Karena itu, peran tarjih akan semakin berat sebab tidak hanya menyajikan narasi halal-haram, melainkan menunjukkan variasi amalan sahih yang bisa diterima bersama secara metodologi pengambilan hukum syariat," tandasnya. (Indra)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dalam rangka meningkatkan kapasitas kehumasan dan memperluas jar....

Suara Muhammadiyah

15 August 2025

Berita

DEPOK, Suara Muhammadiyah – Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Bojongsari melaksanakan kegiata....

Suara Muhammadiyah

18 September 2023

Berita

SURAKARTA, Suara Muhammadiyah - Angka lansia yang semakin bertambah memberi dampak pada struktur kep....

Suara Muhammadiyah

8 June 2024

Berita

PALEMBANG, Suara Muhammadiyah - Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) baru sa....

Suara Muhammadiyah

5 March 2024

Berita

JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Dalam rangka ulang tahun Partai Amanat Nasional (PAN) ke-27 Greenfaith....

Suara Muhammadiyah

25 August 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah