Kekuatan Cinta Menyelamatkan Indonesia

Publish

25 November 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1019
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Kekuatan Cinta Menyelamatkan Indonesia

Oleh: Agusliadi Massere

Indonesia adalah kode—yang menurut Mohd. Sabri bahwa dalam tradisi semiotika, kode adalah sesuatu yang dipilih karena narai-narasi biasa tidak mampu mengungkapkan dan/atau menjelaskan realitas yang sebenarnya. Sebagai kode, Indonesia mengandung harapan, cita-cita, nilai, kearifan, narasi, perjuangan, pengorbanan jiwa dan harta, bahkan telah memiliki modal besar dan dahsyat—jika memahami pandangan John Gardner, Soekarno, dan Prof. Haedar Nashir. 

Indonesia, tanah air kita yang tercinta, akhir-akhir ini dirundung masalah besar. Sosok-sosok dan/atau aktor yang diberi amanah besar dan mulia untuk menjaga marwah bangsa dan negara ini, pemimpin lembaga strategis dan sangat otoritatif, penjaga benteng pertahanan konstitusi, penjaga marwah demokrasi, pembasmi kejatahan besar negeri dari orang-orang berdasi (baca: koruptor), dan aktor garda terdepan dalam melancarkan program dan kebijakan strategis untuk kesejahteraan rakyat, banyak yang telah mengkhianti sumpah dan janji jabatannya. Pengkhiatan ini, tentunya melahirkan pengkhiatan dan dampak lanjutan, berupa kesengsaraan rakyat, rintihan rakyat biasa, ketidakadilan, dan yang pasti muara besarnya menggerogoti bangunan keindonesiaan untuk melangkah maju menuju kejayaannya.

Dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara diwarnai dengan hal paradoks dan anomali. Bahkan sikap dan perilaku buruk di atas menjadi pemantik keluhan warga negara dan netizen (warganet) di media sosial, “ke mana lagi kita harus berharap”, “kepada siapa lagi kita harus mengadu”, ketika mereka saja melakukan perbuatan buruk dan menodai amanah mulia. Tidak mungkin kepada rumput yang bergoyang. 

Dalam kondisi seperti ini, saya ingin meminjam pertanyaan filosofis dan psikologis—saya menyebutnya demikian—dari  Haidar Bagir yang mengawali buku mungilnya, “Percikan Cinta dan Kebahagiaan”. Where shall we begin? Inilah pertanyaan Haidar Bagir dalam merespon keruwetan kehidupan di muka bumi, di mana manusia terjebak dalam kehidupan dan kemajuan zaman yang diciptakannya sendiri.

Dari mana kita memulai untuk memperbaiki kondisi bangsa dan negara ini, ketika kita terjebak dari banyaknya sikap dan perilaku buruk elit bangsa, yang sesungguhnya kita telah menaruh harapan besar dan mulia terhadapnya. Dan bahkan dirinya, atas nama tuhannya, telah bersumpah dan berjanji untuk memegang dan menjalankan amanah itu dengan baik. Apakah mereka sudah lupa akan Tuhannya? Ini tidak perlu langsung dijawab. 

Untuk menjawab problematika bangsa dan negara, dan sebagai energi yang menjadi pemantik dan penggerak dahsyat berbagai langkah solutif, saya kembali sepakat dan meminjam jawaban Haidar Bagir atas pertanyaannya di atas dalam merespon keruwetan, yaitu “cinta”.  Saya teringat—meskipun sudah lupa judul buku yang menjadi rujukannya, bahwa Kahlil Gibran pernah berkata “Dunia ini diciptakan dari, oleh, dan untuk sebuah cinta”. 

Erich Fromm pun mengatakan dalam bukunya, “The Art of Loving” (2004), “Cinta adalah jawaban atas problem eksistensi manusia. Ketia good governance, dan clean government sulit terwujud, sesungguhnya itu disebabkan adanya problem eksistensial manusia, dan yang paling terdalam dari itu adalah cinta. 

Yudi Latif telah pernah menegaskan urgensi, signifikansi, dan implikasi dari cinta. Dari Yudi Latif ini, kita dan/atau saya bisa memahami bahwa mengapa modal besar dan dahsyat (baca: salah satunya Pancasila) yang dimiliki Indonesia, justru tidak memberikan implikasi yang besar dan signifikan dalam mewujudkan good governance dan clean government, atau lebih jauh daripada itu menjadikan Indonesia sebagai kiblat kemajuan dan peradaban bagi bangsa dan negara lain.

Kita di antara anak negeri—meminjam pandangan Yudi Latif—masih banyak yang lebih mengedepankan the love of power (cinta kekuasaan) ketimbang the power of love (kekuatan cinta). Ini—yang telah seringkali saya tulis dan ungkapkan—menjadi lahan tandus bagi tumbuh suburnya nilai-nilai Pancasila. 

Jadi untuk menyelamatkan Indonesia harus dengan kekuatan cinta (the power of love). Bukan dengan cinta kekuasaan yang membuat bangsa dan negara Indonesia, dikenal dengan satu hal dalam kehidupan demokrasinya yang disebut “politik oligarki” yang memengaruhi segalanya sehingga seringkali ada perasaan anak negeri tanpa kecuali ilmuwan sosial-politik merasa “demokrasi tanpa demos”. Saya pun merasakan, meskipun mungkin baru sebatas hipotesis bahwa “demokrasi mati di tangan penikmatnya sendiri”. Selain, itu angka statistik tingkat korupsi masih tinggi, beritapun masih mewarnai jagat pemberitaan media cetak, online, dan media sosial.

Kekuatan cinta dalam istilah yang berbeda, “welas asih”—tetapi memiliki makna dan substansi yang sama—diyakini  mampu menjadi “kritik dan [sekaligus solusi] atas Darwinisme sebagai paradigma pemikiran Barat modern yang meletakkkan seleksi alam atas kekuatan individual. [dan di mana] Darwinisme tidak memberikan kekuatan kaum lemah untuk menjadi berkemajuan”. Ini adalah pandangan dr. Soetomo (pendiri Budi Utomo) yang dikutip oleh Prof. Zakiyuddin Baidhawy, dan Azaki Khoiruddin (2017: 35-36).   

Ketika sila ketiga, dan sila kelima Pancasila dipandang sebagai sila yang seharus saling menguatkan dan masing-masing memiliki korelasi timbal-balik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kekuatan cintalah jawabannya. “Persatuan Indonesia” yang menjadi modal mewujudkan “Keadilan sosial” dan sebaliknya, “Keaadilan sosial” menjadi jalan menuju “Persatuan Indonesia”, bisa terwujud jika di dalamnya ada kekuatan cinta, ada welas asih. Bukan sebaliknya cinta kekuasaan, apatah lagi karakter Darwinisme yang mendominasi.

Dalam perspektif teologis, spiritual, dan psikologis, sebenarnya ada yang menarik dari ajaran agama Islam yang pada substansinya mengsyaratkan dan memang sarat dengan kandungan yang bisa dimaknai sebagai “kekuatan cinta” atau istilah “welas asih”. Apa itu? Jawabannya adalah konsep derivatif dan filosofis dari “basmalah”. Dalam ajaran Islam ditegaskan, “terputus berkahnya, ketika kita memulai pekerjaan tanpa diawali dengan membaca basmalah”. 

Hal ini bisa dikontekstualisasikan bahwa para pejabat dan elit negara akan terputus berkahnya (bisa dibaca: menimbulkan malapetaka) jika dalam memegang dan menjalankan amanah tidak menjadikan basmalah sebagai bingkat dan spiritnya”. Maksudnya, sebagaimana makna dan terjemahan basmalah, pada intinya menegaskan 99 nama Allah, yang dikenal asmaul-husna, tetapi yang menjadi ujung tombak adalah kasih-sayang Allah. “Dengan menyebut nama Allah, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. 

Artinya apa, sebagaimana salah satu dari 99 nama Allah ada yang “Maha Berkuasa”, percikannya pun menjadi hal manusiawi dalam diri manusia, dan pada dasarnya dan itu memiliki relevansi dengan penegasan Thomas Hobbes, bahwa yang paling purba, paling naluriah, paling alamiah, dan paling fundamental pada diri manusia adalah “hasrat berkuasa” atau dalam istilah Yudi Latif di atas “Cinta Kekuasaan”, tetapi dalam diri kita dan hakikat penciptaan kita adalah dasar “cinta” maka “kekuatan cinta” itu bisa dikedepankan agar “hasrat bekuasa” dan/atau “cinta kekuasan” dan berbagai determinannya tidak mendominasi diri kita terutama dalam menjalankan amanah. 

Selain itu, jika kita memahami belantara cinta Erich Fromm, kita pun akan menemukan pemahaman dan kesadaran bahwa dalam dalam cinta, ada perhatian aktif, ada kepedulian yang sangat mendalam, dan ada rasa tanggungjawab yang sangat besar. Cukup tiga ini saja, sebagai sesuatu yang menjadi kandungan dalam cinta, maka itu akan menjadi modal strategis untuk menyelamatkan dan selanjutnya kemajuan bangsa dan negara Indonesia. Hari ini, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara membutuhkan perhatian aktif, kepedulian yang sangat mendalam, dan rasa tanggungjawab yang sangat besar. 

Ada pula yang menarik ketika kita mencoba untuk mengelaborasi antara pandangan Gibran di atas, yang menegaskan “Dunia ini diciptakan, dari, oleh, dan untuk sebuah cinta”, dengan pandangan Abraham Lincoln terkait demokrasi “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untujk rakyat”. Jika para elit bangsa memahami dan menumbuhkan kesadaran yang sangat tinggi, bahwa dalam menjalankan amanah dirinya harus merujuk dan membingkainya “dari kecintaan rakyat, oleh kecintaan rakyat, dan untuk kecintaan rakyat”. 

Perlu dipahami dan disadari pula, bahwa satu di antara lima tangga kepemimpinan ala Ary Ginanjar Agustian, ditegaskan “Kita bisa mencintai seseorang tanpa memimpinnnya, tetapi kita tidak bisa memimpinnya tanpa mencintainya”. Tangga kepemimpinan pertama, sangat erat dengan substansi cinta, kekuatan cinta, dan/atau welas asih.

Yang menjadi problematis, dan sebaiknya kita jauh mereka yang seperti itu, bahwa banyak yang mau menjadi pemimpin dan/atau wakil rakyat, bukan didasari atas “kekuatan cinta”, tetapi sebaliknya “cinta kekuasaan”, “hasrat berkuasa” dalam perspektif Hobbes. Di antara kita pun, masih banyak pula menjatuhkan pilihannya bukan atas dasar cinta tanah air dalam artian menjaga Indonesia yang menjadi kode dengan multi potensi di dalamnya, tetapi sikap dan perilaku kita masih didominasi pula dengan determinasi dari “cinta kekuasaan”. Politik uang yang merajalela, sesungguhnya itu adalah kristalisasi dari cinta kekuasaan, dan antitesis dari kekuatan cinta yang menjadi modal untuk menyelamatkan dan selanjutnya memajukan bangsa dan negara Indonesia. 

Agusliadi Massere, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PD. Muhammadiyah Bantaeng


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Izza RohmanKetua Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah New South Wales Australia Alhamdulill....

Suara Muhammadiyah

4 January 2024

Wawasan

Oleh: Bayujati Prakoso Tim Penyusun Manifesto Gerakan Inklusif Berkemajuan Muktamar IMM ke-XX tela....

Suara Muhammadiyah

12 March 2024

Wawasan

Pendidikan dan "Gelombang Olok-Olok" di Media Sosial Oleh: Prof. Dr. Abdul Rahman A.Ghani  Ba....

Suara Muhammadiyah

11 October 2023

Wawasan

Muhammadiyah Buat Bank Secara Gradual Oleh: Syafrudin Anhar, Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaa....

Suara Muhammadiyah

28 November 2024

Wawasan

Anak Saleh (21) Oleh: Mohammad Fakhrudin "Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui pr....

Suara Muhammadiyah

12 December 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah