Kemana Kiblat Perguruan Tinggi Kita?
Oleh: Saidul Amin, University Muhammadiyah Malaysia (UMAM) dan UMRI
Menteri Pendidikan Tinggi kita, Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro, bukanlah orang baru di dunia pendidikan tinggi. Alumni ITB dan Universitas California, Berkeley, ini memulai kariernya dari bawah. Ia pernah menjadi Ketua Jurusan Teknik Mesin ITB hingga menduduki jabatan sebagai Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud RI. Pria kelahiran Delft, Belanda, ini didampingi oleh dua orang wakil, yaitu: Prof. Fauzan, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang yang menyelesaikan semua pendidikannya di Jawa Timur, dan Prof. Stella Christie, alumni Harvard dan Northwestern University, USA, seorang pakar psikologi kognitif. Kombinasi ini adalah perpaduan yang sangat baik. Prof. Stella akan banyak berbicara dalam konteks global, sementara Prof. Fauzan berpijak pada dataran lokal. Menteri akan meramu dan membumikannya untuk kepentingan nasional.
Di awal masa jabatannya, Menteri dan kedua wakilnya mulai mengulas kondisi riil pendidikan nasional. Prof. Satryo melihat ada yang salah dalam sistem pendidikan kita. Menurutnya, alumni perguruan tinggi sering kali tidak mampu menuangkan ide dan pemikiran secara logis, sistematis, dan komunikatif, baik secara lisan maupun tulisan. Prof. Stella menyoroti pentingnya menghidupkan nuansa ilmiah di perguruan tinggi. Penelitian—yang menjadi darah segar pemasok ilmu pengetahuan ke jantung peradaban—harus menggeliat agar perguruan tinggi menjadi pusat inovasi, kreasi, dan penemuan. Sementara itu, Prof. Fauzan menekankan tanggung jawab moral perguruan tinggi sebagai pemecah masalah dan pelaku nyata dalam kehidupan bangsa. Perguruan tinggi tidak boleh lagi menjadi menara gading yang menjulang tinggi ke langit, tetapi tidak mengakar ke bumi.
Sebelum diskusi tentang pendidikan kita berkembang terlalu jauh, ada pertanyaan mendasar yang mesti dijawab: Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita?
Bagi saya, jawabannya terletak pada sering dilupakannya tujuan pendidikan nasional saat merumuskan konsep, visi, misi, bahkan kurikulum. Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Intinya, tujuan ini ingin mewujudkan manusia yang holistik dan paripurna—perpaduan antara "trimurti": keimanan, keilmuan, dan kenegaraan.
Keimanan menjadi ruh yang menggerakkan manusia untuk berilmu. Ilmu melahirkan peradaban dan kemajuan teknologi. Teknologi, pada gilirannya, dimanfaatkan seluas-luasnya untuk membangun bangsa. Jika ini dijalankan, bangsa yang mandiri dan berdikari akan terwujud. Inilah hakikat dan tujuan kemerdekaan yang sesungguhnya, bukan sekadar bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga merdeka dalam pemikiran, pendidikan, politik, dan ekonomi.
Jika tujuan perguruan tinggi hanya menghasilkan lulusan yang siap bekerja di era industri, kita akan terlalu lelah melawan kecanggihan robot yang diproduksi secara massal untuk menggantikan manusia. Pada akhirnya, ciptaan manusia malah menjadi pesaing manusia itu sendiri.
Sudah saatnya kita meluruskan kiblat pendidikan bangsa.