Oleh: Rivandy Azhari Ali Harahap
Indonesia adalah negara yang unik dengan kekayaan budaya, agama, dan keberagaman etnis. Di tengah keragaman ini, keislaman, keagamaan, dan nasionalisme memainkan peran penting dalam membentuk identitas nasional. Tulisan ini akan menjelajahi relasi antara keislaman, keagamaan, dan nasionalisme serta dampaknya pada sistem pemilu di Indonesia. Kami juga akan membahas harapan akan munculnya pemimpin yang nasionalis religius atau religius nasionalis dalam konteks sejarah dan perkembangan bangsa Indonesia.
Indonesia adalah rumah bagi berbagai kelompok agama, tetapi mayoritas penduduknya adalah Muslim. Keislaman telah merasuk dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, dan dalam banyak hal, nilai-nilai Islam telah menjadi bagian tak terpisahkan dari nasionalisme Indonesia. Hubungan antara keislaman dan nasionalisme menciptakan makna substantif bagi nilai-nilai keislaman dan kebangsaan.
Dalam konteks Indonesia, keislaman dan nasionalisme bukanlah konsep yang bertentangan, melainkan saling melengkapi. Islam mengajarkan nilai-nilai keadilan, kebaikan, dan solidaritas, yang selaras dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Relasi ini memungkinkan warga Indonesia untuk hidup dalam harmoni, menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan persatuan.
Masyarakat Indonesia berharap untuk melihat pemimpin yang mampu menggabungkan nilai-nilai keislaman dengan semangat kebangsaan. Pemimpin seperti ini dapat memadukan identitas agama dan identitas nasional dalam upaya membangun negara yang lebih baik.
Relasi Keislaman dan Kebangsaan
Relasi antara keislaman dan kebangsaan dalam sejarah Indonesia telah memiliki pondasi teologis.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Al Hujurat 13 mengajarkan bahwa semua manusia berasal dari satu nenek moyang dan dibagi menjadi berbagai suku dan bangsa agar mereka saling mengenal. Ini menciptakan dasar untuk memahami bahwa keberagaman adalah bagian dari rencana Tuhan.
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2).
Dalam konteks sosial, umat Islam diajarkan untuk bersikap toleran terhadap beragam keyakinan agama. Surat Al-Maidah menekankan pentingnya berkerja sama dalam kebaikan dan takwa, sementara juga menekankan untuk tidak berkerja sama dalam dosa dan permusuhan. Ini mencerminkan nilai-nilai adil dan sikap yang harus dimiliki dalam hubungan antarumat beragama.
Indonesia merdeka lebih dari 78 tahun yang lalu, dan selama itu, relasi antara keislaman dan kebangsaan telah tumbuh dan berkembang. Dalam perkembangan bangsa Indonesia, nilai-nilai ini telah mengakar dalam konsep nasionalisme, menciptakan identitas nasional yang unik.
Suksesi Kepemimpinan Nasional 2024
Pemilihan umum (Pemilu) adalah pilar demokrasi yang fundamental. Masyarakat Indonesia berharap agar sistem pemilu berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan permasalahan yang bersifat krusial. Meskipun masalah dalam penyelenggaraan pemilu selalu ada, penting untuk menghindari masalah fatal yang dapat menimbulkan kekecewaan massal.
Semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, termasuk aparat birokrat dan pemimpin negara, harus bertanggung jawab atas peran dan tugas mereka. Mereka harus menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya dan tidak menyalahgunakan kekuasaan. Hal ini penting untuk menghindari distorsi dalam proses pemilu dan memastikan integritasnya.
Pemilu 2024 harus dianggap sebagai momentum penting dalam perjalanan Indonesia. Masyarakat harus belajar dari pengalaman masa lalu dan tidak terus-menerus mencoba-coba. Pemilu ini harus dijadikan sebagai kesempatan untuk membangun Indonesia yang lebih merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Pemerintah, baik dari legislatif maupun eksekutif, harus berkomitmen untuk melindungi kepentingan bangsa Indonesia. Harapannya adalah pemerintah yang benar-benar dapat menjaga integritas pemilu dan tidak terlibat dalam praktik-praktik yang merugikan.
Relasi antara keislaman, keagamaan, nasionalisme, dan sistem pemilu adalah aspek penting dalam memahami dinamika sosial dan politik di Indonesia. Meskipun ada tantangan dalam menjaga keseimbangan antara elemen-elemen ini, sejarah, nilai-nilai keislaman, dan semangat kebangsaan telah membantu membentuk identitas bangsa Indonesia. Harapan untuk pemimpin yang nasionalis religius atau religius nasionalis mencerminkan aspirasi untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Pemilu 2024 adalah kesempatan bagi kita untuk bersama-sama mencapai tujuan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Semua pihak harus bekerja sama untuk menjaga integritas pemilu dan memastikan bahwa proses demokrasi berjalan dengan baik, menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan keagamaan. Dengan begitu, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik untuk negara ini.
Suksesi kepemimpinan adalah peristiwa alamiah dan rutin yang tidak perlu diromantisasi. Setelah lima kali pemilu pasca reformasi, kita harus matang dan cerdas dalam menghadapinya. Kita tidak perlu memperbesar pertarungan menjadi konflik yang merusak. Sudah cukup ada kebencian dalam lima kali pemilu, apakah itu membuat kita lebih matang?
Menyelamatkan kepentingan besar, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai Pancasila, adalah suatu keharusan. Kita memerlukan kepemimpinan nasional yang mengacu pada konstitusi dan peraturan yang berlaku. Pemilu 2024, baik untuk Pilpres maupun legislatif, harus berlangsung dengan jujur, beretika, dan penuh martabat. Kebersamaan harus diutamakan di atas perbedaan politik.
Pemilu adalah kontes politik di mana hanya satu pemenang. Tidak mungkin ada hasil seri, dan perpanjangan waktu atau adu penalti adalah konsep yang tidak relevan. Kemenangan harus digunakan sebagai beban tanggung jawab untuk memajukan Indonesia menuju kemerdekaan, persatuan, kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran.
Kita harus menghindari pertarungan yang tidak perlu dan berlebihan. Manusia diberikan petunjuk dalam ayat Al-Qur'an untuk tidak mengkhianati Allah, Rasul, dan amanat yang diberikan kepada mereka. Janji yang tidak ditepati mencari legitimasi untuk mengingkari janji. Namun, kita harus menghindari terlalu lama merasa kecewa dan dendam.
Dalam politik demokrasi Indonesia saat ini, tampaknya kurang ada pertarungan ideologi. Semuanya tampak lebih fokus pada siapa yang mendapat apa, bagaimana cara mendapatkannya, dan apa yang dapat diperoleh. Idealisme mungkin tersembunyi di balik pertukaran retorika, tetapi itu perlu diwujudkan dalam praktik politik.
Nasionalisme dan agama seharusnya tidak perlu dihindari atau dikompromikan. Para pemimpin harus memahami kedua nilai ini dan mengintegrasikannya dengan baik. Ini adalah pilihan yang penuh perasaan dan hati, yang dapat berbeda-beda untuk setiap individu.
Edukasi adalah kunci. Dengan pemilu, masyarakat harus lebih cerdas dalam memilih dan lebih bertanggung jawab. Ini adalah tanggung jawab mahasiswa dan pemuda untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya pemilihan yang bijaksana.
Pemilu seharusnya bukan hanya tentang tokoh politik, tetapi juga tentang ideologi dan nilai-nilai yang ingin mereka wujudkan. Kesadaran politik yang baru lahir di kalangan pemuda mengarah pada pemilihan berdasarkan pengetahuan dan tanggung jawab.
Pemuda tidak boleh apatis terhadap politik. Politik adalah bagian penting dan strategis dari kehidupan publik yang harus diperhatikan dengan serius. Para pemimpin politik juga memiliki tanggung jawab besar untuk mengarahkan energi kebangsaan, keagamaan, dan kenegaraan ke arah yang benar. Orientasi ini harus menjadi fokus utama para elit dan masyarakat. Selain teknis, pemilihan harus didasarkan pada keyakinan dan kesatuan, bukan pemisahan antara agama dan kebangsaan.
Rivandy Azhari Ali Harahap, Mahasiswa Megister Hukum Universitas Islam Indonesia