Ketika Empati Melampaui Jarak: Ukhuwah, Media Sosial dan Solidaritas Bangsa
Oleh: Ratna Arunika, Anggota LLHPB dan Pengurus Kantor Layanan LAZISMU PWA Jawa Timur
Setiap kali bencana besar menimpa Indonesia, selalu muncul pemandangan yang sama, kepedulian datang dari berbagi penjuru. Orang-orang yang tidak saling mengenal, dari latar belakang berbeda, bahkan terpisah ribuan kilometer, tiba-tiba terhubung oleh satu rasa yang sama, rasa peduli. Mereka mengirimkan donasi, membagikan informasi, memanjatkan doa, dan media sosialpun penuh dengan seruan untuk saling membantu.
Fenomena ini menarik jika dilihat dari kacamata sosial dan keagamaan. Secara alami, empati manusia memiliki batas . Namun dalam konteks Indonesia mengapa batas itu bisa ditembus ? Jawabannya terletak pada pertemuan nilai-nilai Islam, seperti ukhuwah, dan tolong menolong, budaya kolektivistik Indonesia, dan kekuatan media sosial semua berpadu membentuk empati kolektif di era digital.
Menurut teori Dunbar, dijelaskan bahwa kapasitas otak manusia hanya mampu memelihara sekitar 150 hubungan sosial yang benar-benar bermakna. Di luar lingkaran itu, empati emosional cenderung melemah, karena otak kita memang terbatas dalam menjaga kedekatan emosional yang intens. Itulah sebabnya dalam kehidupan sehari-hari, empati biasanya paling kuat tertuju pada keluarga, sahabat, atau komunitas terdekat.
Namun pengalaman di Indonesia menunjukan hal berbeda. Ketika bencana terjadi di wilayah yang jauh , masyarakat tetap bergerak untuk membantu. Pada titik ini empati tidak lagi bersifat personal, melainkan berubah menjadi empati moral. Dorongannya bukan berasal dari kedekatan emosional, tetapi dari kesadaran bahwa membantu sesama adalah tanggung jawab bersama. Jarak geografis tidak lagi menjadi penghalang, karena nilai yang diyakini lebih kuat daripada keterbatasan biologis
Dalam Islam, kepedulian semacam ini bukan sekadar anjuran sosial, melainkan bagian dari kesempurnaan iman. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa kepedulian kepada orang lain, bahkan yang tidak kita kenal sekalipun, bagian dari keyakinan yang hidup.
Sebagai bangsa, Indonesia dikenal memiliki karakter kolektivistik yang kuat. Gotong royong, solidaritas, dan perasaan senasib sepenanggungan membentuk cara pandang masyarakat. Penderitaan satu kelompok, dipandang sebagai urusan bersama. Ikatan sosial tidak semata dibangun atas dasar hubungan darah, tetapi juga atas identitas simbolik sebagai sesama anak bangsa.
Bahasa dan simbol sosial memperkuat rasa kebersamaan itu. Ungkapan seperti “saudara sebangsa” atau “Indonesia berduka”, bukan hanya retorika, melainkan cermin identitas moral kolektif. Kita diajak merasa satu kesatuan, bukan sekedar individu atau kelompok kecil.
Nilai-nilai Pancasila yang kerap dianggap normatif, justru terasa nyata saat krisis terjadi. Prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab serta persatuan Indonesia menjadi fondasi moral yang menggerakkan solidaritas lintas suku, agama, dan wilayah.
Dalam Islam semangat ini sejalan dengan konsep ukhuwah yang luas, ukhuwah Islamiyah, ukhuwah insaniyah, dan ukhuwah wathaniyah. Al-Qur’an menegaskan dalam QS. Al-Hujurat: 10
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara….”
Persaudaraan ini melampaui batas darah dan daerah, menyatukan manusia dalam ikatan nilai dan tanggung jawab moral.
Media Sosial dan Penyebaran Empati
Di era digital, media sosial berperan sebagai pemicu utama empati kolektif. Foto, video, dan kisah personal, membuat penderitaan di satu tempat dapat dirasakan oleh jutaan orang ditempat lain hanya dalam hitungan menit. Dalam kajian sosial, fenomena ini dikenal sebagai emotional contagion, penularan emosi di ruang sosial.
Algoritma media sosial justru memperkuat proses ini. Konten yang menyentuh emosi, lebih mudah menyebar dan memicu reaksi berantai berupa doa, donasi, hingga aksi nyata. Tak heran jika penggalangan dana daring di berbagai platform sering kali langsung meningkat pesat begitu kisah kemanusiaan tersebar luas.
Dengan demikian , media sosial dapat dipandang sebagai perpanjangan saraf empati masyarakat modern. Di ruang digital, emosi kolektif dibentuk, dibagikan, dan diterjemahkan menjadi tindakan. Islam sendiri menegaskan pentingnya memanfaatkan sarana apapun untuk kebaikan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Ma’idah ayat 2
“ ….. Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya.”
Empati dalam Perspektif Ilmu Saraf
Ilmu saraf modern menunjukan bahwa empati bukan cuma persoalan moral, tetapi juga proses biologis. Sistem otak seperti miror neurons, insula, dan anterior cingulate cortex berperan dalam kemampuan manusia merasakan emosi orang lain.
Ketika melihat penderitaan, otak kita memunculkan respon emosional tidak langsung (vicarious emotional response). Kita ikut merasakan, meskipun dalam intensitas yang lebih ringan. Mekanisme ini penting agar empati mendorong kepedulian tanpa membuat seseorang tenggelam dalam penderitaan yang diamatinya.
Visualisasi penderitaan di media sosial, mampu mengaktifkan sistem ini meskipun kita tidaktidak berada di tempat kejadian. Jarak fisik pun kehilangan relevansinya. Menariknya, Islam sejak telah menggambarkan mekanisme ini secara metaforis. Rasulullah ﷺ bersabda :
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, berbelas kasih terhadap sesama, ibarat satu jasad. Apabila anggota badan ditimpa sakit, seluruh badan lainnya akan merasakan sakit.” ( HR.Muslim)
Hadis ini sejalan dengan temuan ilmu saraf, empati adalah mekanisme alami yang menggerakan manusia untuk menolong, selama diarahkan oleh nilai yang benar.
Dari Rasa Menuju Amal Nyata
Empati yang dipandu nilai agama melahirkan apa yang disebut moral elevation, perasaan haru, kagum, dan dorongan kuat untuk berbuat baik setelah menyaksikan kebaikan orang lain. Ketika publik melihat aksi relawan atau solidaritas masyarakat, muncul efek berantai yang mendorong orang lain ikut membantu.
Dalam Islam, empati menemukan bentuk konkretnya sebagai amal: sedekah, infak, zakat, dan kerja-kerja kemanusiaan. Al-Qur’an menggambarkannya dalam QS. Al-Baqarah ayat 261 bahwa satu kebaikan dapat berlipat ganda pahalanya.
مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
“Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti (orang-orang yang menabur) sebutir biji (benih) yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.”
Empati menumbuhkan emosi positif, emosi mendorong tindakan, dan tindakan memperkuat solidaritas sosial. Di era digital, proses ini berkembang menjadi digital moral elevation, di mana empati daring melahirkan aksi nyata di dunia luring.
Banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada November 2025 menjadi contoh nyata empati kolektif digital. Data BNPB mencatat ratusan korban jiwa, puluhan ribu rumah rusak, serta kerusakan infrastruktur yang luas.
Respons publik muncul dengan cepat dan masif. Donasi mengalir dari berbagai lembaga pemerintah, BUMN, organisasi kemanusiaan, hingga masyarakat umum melalui platform daring. Bantuan berupa logistik, layanan kesehatan, dan pemulihan infrastruktur menunjukkan bagaimana empati digital, budaya gotong royong, dan jaringan sosial bersatu mempercepat mobilisasi solidaritas nasional. Ini bukan sekedar reaksi emosional, melainkan cerminan identitas sosial yang hidup, bahwa membantu sesama adalah bagian kemanusiaan dan keimanan.
Empati sebagai Ciri Bangsa
Teori Dunbar mengingatkan kita bahwa empati manusia memiliki batas biologis. Namun, pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa agama, budaya, simbol moral, dan teknologi mampu melampaui batas tersebut. Ukhuwah Islamiyah dan gotong royong tradisional kini menemukan ekspresi barunya di ruang digital.
Empati tidak lagi terikat oleh kedekatan personal, tetapi tumbuh sebagai identitas sosial bangsa. Dalam konteks ini, kutipan Maya Angelou terasa relevan:
“Orang mungkin lupa apa yang kamu katakan dan lakukan, tetapi mereka tidak akan lupa bagaimana perasaan yang kamu tinggalkan.”
Empati kolektif bukan sekedar respon terhadap krisis, melainkan nilai yang perlu dijaga. Dalam perspektif Islam, empati menemukan maknanya ketika diwujudkan dalam amal yang menguatkan, memulihkan, dan menjaga harapan. Dalam saling menolong, sesungguhnya kita bukan hanya menjaga orang lain, tetapi juga merawat kemanusiaan kita sendiri.

