Mengurai Makna 'Nusyuz': Studi Komparatif Surah An-Nisa Ayat 34 dan 128

Publish

19 April 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
61
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Mengurai Makna 'Nusyuz': Studi Komparatif Surah An-Nisa Ayat 34 dan 128

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Mari kita selami lebih dalam salah satu ayat Al-Qur'an yang kerap disalahpahami. Hari ini, fokus kita tertuju pada Surah An-Nisa (4), ayat 128, yang berbunyi: “Dan jika seorang wanita khawatir suaminya berbuat nusyuz atau berpaling, maka tidak ada dosa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya.”

Ayat ini memang menggelitik rasa ingin tahu. Menariknya, ayat ini adalah kelanjutan dari pembahasan kita sebelumnya tentang Surah An-Nisa (4), ayat 34. Kedua ayat ini dipisahkan oleh hampir 100 ayat, sehingga hubungan di antara keduanya sering kali terlewatkan. Para ulama cenderung menafsirkannya secara terpisah, padahal pemahaman utuh hanya bisa didapatkan dengan melihat konteks keduanya.

Penafsiran yang terpisah umumnya menyatakan bahwa ayat ini merujuk pada situasi di mana seorang istri khawatir akan perlakuan semena-mena atau pengabaian dari suaminya, mungkin karena keinginan suami untuk menikah lagi. Dalam situasi ini, perdamaian dianjurkan, yang bisa mencakup pengembalian sebagian atau seluruh mahar oleh istri, atau kesediaan istri untuk menerima peran yang lebih simbolis dalam pernikahan.

Istri mungkin memilih untuk tetap dalam pernikahan tanpa hak penuh, atau suami mungkin memiliki keinginan untuk menikah lagi dengan istri lain. Istri pertama, yang merasa posisinya terancam, mungkin menawarkan untuk melepaskan giliran jatahnya dalam kunjungan suami, asalkan tetap berstatus sebagai istri. Hal ini menunjukkan fleksibilitas dalam hukum Islam untuk mengatasi masalah keluarga yang rumit.

Pandangan sekilas mungkin membuat ayat ini tampak seperti solusi praktis bagi sebagian wanita dalam situasi sulit. Namun, jika ini dijadikan aturan umum, berpotensi besar memicu ketidakadilan luas terhadap perempuan. Tentu, ini bukan gambaran ideal yang Tuhan inginkan bagi umat manusia. Oleh karena itu, kita perlu penafsiran yang lebih bijak. Bagi saya, kunci pemahamannya terletak pada keterkaitan erat ayat ini dengan Surah An-Nisa (4) ayat 34.

Konsep 'pencerminan' dalam Al-Qur'an, seperti yang diungkapkan Raymond Farin, sangat relevan di sini. Struktur surah ini, di mana bagian awal mencerminkan bagian akhir, membantu kita melihat hubungan antara ayat-ayat tersebut. Ayat 34 dan 128, meskipun terpisah jauh, saling melengkapi ketika kita memahami surah ini sebagai dua bagian yang bercermin. Contoh lain dalam surah yang sama adalah ayat 11-12 dan 176 tentang warisan, di mana ayat terakhir melengkapi pembahasan di awal surah. Dengan memahami struktur ini, kita dapat menafsirkan ayat 128 secara lebih holistik dan adil.

Lebih tepatnya, ayat 128 yang sedang kita bahas ini merupakan kelanjutan dari ayat 127. Ayat 127 menyebutkan bahwa orang-orang meminta fatwa atau keputusan kepada Nabi Muhammad SAW, dan kemudian Tuhan memberikan keputusan-Nya, di samping hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya. Hal ini merujuk pada pembahasan sebelumnya dalam surah yang sama mengenai pernikahan dengan perempuan dan perlakuan terhadap anak yatim.

Kemudian, kembali ke ayat 128, dikatakan bahwa jika seorang perempuan khawatir akan 'nusyuz' atau 'i'radhan' dari suaminya, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk mencapai perdamaian secara pribadi. Kata 'nusyuz' di sini saya biarkan tanpa terjemahan terlebih dahulu, sementara 'i'radhan' berarti berpaling.

Kata 'nusyuz' sendiri, jika kita telusuri etimologinya, bermakna 'meninggi' atau 'meningkat'. Kata ini juga digunakan dalam Al-Qur'an surah ke-50, yang bermakna 'bangkit' dalam konteks yang positif, seperti bangkit untuk memberikan ruang kepada orang lain. Namun, kata ini juga dapat memiliki konotasi negatif, terutama dalam konteks hukum Tuhan, yaitu 'bangkit' dalam arti menentang.

Dalam surah An-Nisa (4) ayat 34, kata 'nusyuz' juga digunakan, namun dengan makna yang berbeda. Di sana, 'nusyuz' merujuk pada kekhawatiran terhadap perempuan yang 'bangkit' menentang suami mereka. Para penafsir klasik cenderung menafsirkan 'nusyuz' di sini sebagai pembangkangan seorang istri terhadap suaminya. Namun, penting untuk dicatat bahwa konteks penggunaan kata ini berbeda antara ayat 34 dan 128.

Dalam konteks ini, istilah 'nusyuz' bukan sekadar pembangkangan biasa, melainkan pelanggaran serius terhadap perintah Ilahi untuk menjaga kesucian diri. Seperti yang diungkapkan dalam Al-Qur'an, wanita salehah adalah penjaga amanah Tuhan, khususnya dalam ranah kesucian seksual.

Oleh karena itu, penggunaan 'nusyuz' dalam Surah An-Nisa (4) ayat 128, yang berfokus pada kekhawatiran istri akan perilaku suami, mengisyaratkan adanya potensi pengkhianatan dalam hubungan. Dengan kata lain, ayat ini memberikan ruang bagi istri untuk menghadapi kemungkinan perselingkuhan suami.

Ayat ini membuka opsi penyelesaian masalah secara internal, membebaskan pasangan dari keharusan melibatkan pihak ketiga. Istri memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dengan suaminya, menyampaikan kekhawatirannya, dan menegosiasikan solusi tanpa campur tangan hakim. Jika perselingkuhan dibawa ke ranah hukum, konsekuensi yang mungkin timbul adalah hukuman fisik bagi suami, sama halnya dengan hukuman yang bisa dijatuhkan kepada istri dalam kasus pembangkangan, seperti yang dijelaskan di ayat 34.

Penyelesaian secara pribadi memungkinkan istri untuk mengamati dan mengevaluasi perilaku suami, mencari tanda-tanda perbaikan. Namun, jika situasinya tidak menunjukkan harapan, istri memiliki hak untuk melaporkan masalah tersebut kepada pihak berwenang dan mengakhiri pernikahan demi masa depannya.

Interpretasi ini menawarkan keseimbangan yang lebih adil, selaras dengan sifat keadilan Tuhan. Kecuali dalam keadaan khusus, seperti yang dijelaskan dalam ayat 115 dan 34 mengenai karantina perempuan, prinsip keadilan dalam hukum Ilahi berlaku setara bagi laki-laki dan perempuan.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Sinematografi Kultumsinema: Sebuah Wakaf Literasi Oleh: Khafid Sirotudin Seniman dan budayawan ter....

Suara Muhammadiyah

18 March 2025

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Istilah "jihad" sering kali dis....

Suara Muhammadiyah

7 October 2024

Wawasan

Fenomena Sosial Disosiatif di Indonesia Oleh: Amalia Irfani, Dosen IAIN Pontianak/ Sekretaris LPP P....

Suara Muhammadiyah

16 January 2025

Wawasan

Restorasi Kemanusiaan melalui Puasa: Refleksi di Ujung Ramadhan Oleh: Dzar Fadli El Furqan, Ketua B....

Suara Muhammadiyah

28 March 2025

Wawasan

Wanita sebagai Saksi: Perspektif Al-Qur'an Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universi....

Suara Muhammadiyah

14 August 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah