Berhaji Tanpa Gelar Haji

Publish

8 July 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
287
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Berhaji Tanpa Gelar Haji

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso dan Wakil Sekretaris LPCRPM PP Muhammadiyah

Setelah 12 tahun menunggu, akhirnya tiba giliran saya untuk menunaikan kewajiban berhaji pada pertengahan tahun 2025. November lalu, seorang dokter dari puskesmas memberi tahu agar saya dan istri segera menyiapkan diri untuk tes kesehatan agar dapat lolos persyaratan keberangkatan haji. Kontan saya merasa senang karena telah mendaftar haji sejak 2013.

Urusan prosedur pemeriksaan kesehatan, dokumen administrasi, serta suntik vaksin meningitis, polio, dan influenza semuanya dapat dilakukan di RSUD, dengan peran petugas puskesmas (dr. Ibnu Masseter dan tim) yang sangat membantu dan memudahkan. Setelah urusan prasyarat kesehatan selesai, barulah saya dan istri dapat melanjutkan ke tahap pelunasan bank, proses bimbingan, pelatihan, dan simulasi haji.

Selesai tes kesehatan, keluarlah surat keterangan mampu berhaji. Lega rasanya karena bisa meneruskan tahap berikutnya: pelunasan di bank, bimbingan, pelatihan, hingga praktik manasik haji. Semua ini dapat dijalani dengan mudah karena adanya pendampingan intensif dari petugas haji, H. Ali dari Kantor Urusan Agama Ciputat Timur, Kementerian Agama Kota Tangerang Selatan melalui grup WhatsApp. Menjelang keberangkatan, petugas haji KUA selalu siaga menjawab berbagai pertanyaan jemaah—bahkan yang sering diulang-ulang—dengan jawaban rinci dan sesuai informasi tahapan haji.

Manasik Haji

Saat menghadiri bimbingan, saya sempat skeptis terhadap materi dan cara penyampaiannya. Ada tiga kata—sabar, ikhlas, dan sehat—yang wajib diulang-ulang oleh hampir semua pihak: mulai dari pejabat pemberi sambutan, pengisi materi, hingga penjual produk yang sedang promosi. Awalnya terasa menjemukan karena harus mendengar materi serupa secara terus-menerus. Namun, saya tetap berusaha kembali pada niat awal, yakni untuk mencari kenalan baru yang akan berangkat haji bersama. Sekarang saya telah menemukan jawaban pastinya, bahwa ketiga kata itulah mantra paling ampuh saat berhaji.

Kejenuhan para peserta sebenarnya berakar pada cara penyampaian materi yang kaku, dengan model ceramah yang monoton dan minim interaksi. Andaikan semua materi diberikan sehari sebelumnya, lalu saat pelatihan peserta diberi kesempatan untuk mengajukan satu pertanyaan paling penting menurut versinya, maka proses diskusi tentu akan lebih menarik. Dari 100 peserta, pasti ada pertanyaan yang sama, sehingga satu jawaban bisa memenuhi harapan banyak orang. Selain itu, gaya penyampaian yang kaku terasa sangat menjemukan.

Gagasan ini saya usulkan agar ada keselarasan antara harapan peserta dan materi yang disampaikan oleh para pemateri. Misalnya, ada satu pertanyaan penting, yaitu tentang pembagian kloter. Hal ini sangat ditunggu oleh semua jemaah, tetapi selalu dijawab berputar-putar tanpa jawaban pasti.

Memilih Haji Mandiri

Saya memutuskan untuk memilih jalur mandiri dan mengurus seluruh proses haji sendiri. Ada juga jemaah yang memilih menggunakan biro jasa untuk memudahkan prosesnya. Alhamdulillah, saya merasa tepat dengan pilihan itu. Kekhawatiran akan adanya diskriminasi layanan selama haji ternyata tidak terbukti. Layanan yang diberikan pemerintah sama sekali tidak tereduksi oleh kehadiran biro jasa. Standar layanan—mulai dari kesehatan, transportasi, konsumsi, hingga pemondokan—berlaku sama bagi seluruh jemaah.

Sebagai jemaah haji mandiri, saya memiliki kebebasan penuh untuk menentukan waktu umrah, melempar jumrah, dan melaksanakan ibadah sunah lainnya tanpa terikat dengan atas nama “kebersamaan dan kekompakan” dalam satu grup. Kemerdekaan beribadah selama 40 hari di Mekkah dan Madinah adalah kemewahan yang saya syukuri berulang kali. Bukan hanya merdeka dalam menentukan waktu beribadah, tetapi juga merdeka dalam memilih destinasi wisata, mengelola uang saku, serta menentukan pembayaran dam (denda).

Memilih Tanpa Gelar

Kawan dekat saya sempat bergurau bahwa mungkin saya akan segera mengganti nama di KTP dengan menambahkan huruf “H” di depan nama sepulang berhaji. Bukan karena ledekan itu juga jika saya tidak akan memilih penyematan gelar tersebut. Namun, gurauan itu mendorong saya untuk mencari tahu lebih dalam: mengapa banyak orang Indonesia senang menggunakan gelar  “haji” sepulang dari Tanah Suci?

Menurut antropolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi. Menurutnya, tradisi pemberian gelar haji tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga di Malaysia, Singapura, Brunei, bahkan Thailand Selatan. Di Mesir Utara, bukan hanya gelar haji yang diberikan, tetapi rumah para jemaah pun dilukis dengan gambar Ka'bah dan moda transportasi yang digunakan menuju Makkah.

Filolog Oman Fathurahman juga mengungkapkan bahwa sejak dahulu, perjalanan ke Tanah Suci bagi orang Nusantara adalah perjuangan berat—menghadapi lautan, badai berbulan-bulan, perompak, hingga menjelajah gurun. Mereka yang berhasil pulang selamat dianggap mendapat kehormatan besar. Maka wajar jika masyarakat menambahkan kata “haji” atau “hajjah” di depan nama mereka.

Selain kedua pandangan tersebut, ada pula perspektif dari masa kolonial Belanda yang berbeda sudut pandang. Penyematan gelar "haji" sengaja diciptakan oleh kaum penjajah untuk tujuan khusus. Warga pribumi yang telah berhaji akan dianggap sebagai warga yang berdaya, tercerahkan secara ilmu, memiliki jaringan luas, dan berpengaruh di masyarakat. Karena itu, pengawasan melekat perlu diberikan untuk mencegah munculnya gerakan anti-penjajahan. Pemerintah kolonial bahkan membuka Konsulat Jenderal di Arabia pada 1872 untuk mencatat pergerakan jemaah dari Hindia Belanda, dan mewajibkan mereka memakai gelar serta atribut haji agar mudah dikenali.

Saya tinggal di negara Merdeka, sehingga tidak memiliki alasan berlebih untuk menyematkan gelar “haji” di depan nama. Bagi saya, berhaji adalah kewajiban yang harus saya penuhi dengan harapan satu-satunya adalah keridaan Allah semata, bukan gelar.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Persentase Muslim Shalat dan Perkembangan Islam di Indonesia: Plus atau Minus? Oleh: Ahwan Fanani, ....

Suara Muhammadiyah

26 December 2024

Wawasan

Oleh: Firmansyah, Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah/Aktivis Aliansi Serikat Pekerj....

Suara Muhammadiyah

17 April 2025

Wawasan

Cinta dan Diplomasi Nabi (Serial Kehidupan Nabi SAW) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas ....

Suara Muhammadiyah

30 September 2024

Wawasan

Segenggam Impian untuk IMM di Masa Depan Oleh: Tri Laksono Pernahkah kita membayangkan kehidupan b....

Suara Muhammadiyah

14 October 2023

Wawasan

Bulan Syawal tengah kita jalani. Apa maknanya? Bulan bukan sekadar bergembira karena bisa bersua kel....

Suara Muhammadiyah

11 April 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah