Pensiun: Bukan Akhir, Tapi Awal yang Lain

Publish

12 April 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1135
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Pensiun: Bukan Akhir, Tapi Awal yang Lain

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi/Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso, Tangerang Selatan

Secara alamiah, hidup akan terus berproses: menjadi tua, pensiun, lalu mati. Ketiganya adalah keniscayaan yang masih bisa sedikit ditunda—kecuali kematian. Semoga saya dibekali kekuatan dalam merawat keikhlasan yang sama untuk menyambut tahapan selanjutnya dengan lapang dada, yaitu kematian.

Saat pensiun tiba, saya bertanya kepada Mauludin Anwar, seorang jurnalis televisi senior—teman dekat sejak remaja—yang sudah lebih dahulu pensiun. Sebagai sahabat dekat, tentu nasihatnya jujur apa adanya. Persisnya adalah sebagai berikut:

“Mampu mengelola ego dengan meyakinkan diri bahwa kita sudah pensiun, itu penting. Agak terasa berat di bulan-bulan pertama karena kita merasa seolah masih bergaji, lalu menjajakan uang persis seperti sebelum pensiun. Itu yang perlu disadari. Harus bijak menggunakan uang pensiun; fokuslah pada pemenuhan kebutuhan dasar bulanan, dan untuk sesuatu yang bermanfaat saja.”

Saya mencatat nasihatnya baik-baik. Lalu, ada nasihat berikutnya yang tak kalah penting:

“Jangan terlalu berharap pada pekerjaan baru seperti mengajar, menulis, atau membantu kawan—untuk bisa mendapatkan income yang sama seperti sebelumnya. Tapi, aktivitas itu penting dan bermanfaat agar kita bisa tetap aktif dalam berpikir. Kita harus belajar melatih diri agar bisa mengadaptasi kenyataan itu. Rezeki itu akan ada saja. Ia tidak harus berupa uang, tetapi rasa syukur, penerimaan hati, kesenangan, dan kebahagiaan—itu bisa bernilai jauh lebih berharga.”

Pelajaran penting berikutnya saya dapatkan dari seorang tetangga yang menjadi petinggi sebuah BUMN. Ia bercerita bahwa dalam satu hingga dua tahun menjelang masa pensiun, ia secara perlahan-lahan membebastugaskan pekerja rumah tangganya. Dari awalnya menginap di rumah, perlahan diminta untuk datang seminggu empat kali, lalu dua kali, satu kali, dan akhirnya berhenti sama sekali. Ia bertekad mengerjakan sendiri semua pekerjaan rumah bersama pasangannya—mulai dari mencuci, menyetrika, menyapu, mengepel, berbenah, memasak, membuat kopi dan teh—semua ia kerjakan tanpa bantuan orang lain.

Ada lagi yang mengesankan. Ketika anak-anaknya sudah menikah dan pindah rumah, ia mempersilakan pasangannya untuk pergi plesiran bersama kawan-kawan sekolahnya dulu, dalam waktu yang kadang cukup lama—bisa seminggu, bahkan dua minggu. Ia sengaja melatih batin dan pikirannya untuk bisa hidup sendirian di rumah, melakukan semua pekerjaan rumah sendiri. Mengapa hal itu dilakukan? Karena ia yakin bahwa kelak, pada akhirnya, ia juga akan hidup sendirian—entah ia atau pasangannya yang terlebih dahulu “pulang”.

Spirit Baru, Bukan Profesi Baru

Saya menyadari bahwa selama ini saya adalah seorang pekerja yang terafiliasi dengan orang lain. Saya tidak berniat membangun sebuah profesi baru yang spektrum dan budaya kerjanya jauh berbeda dengan dunia kerja yang saya tekuni saat ini. Sebagaimana dunia kerja pada umumnya, ia membutuhkan proses panjang untuk bisa terlibat secara intens. Begitu pula dunia usaha; ia juga akan membutuhkan prasyarat yang sama. Untuk itu, saya mesti cermat dalam membangun profesi baru.

Berbeda dengan profesi baru, menumbuhkan spirit baru itu tetap harus dilakukan. Namun, ia tidak berarti harus tercerabut dari akar budaya yang membentuk karakter diri selama ini. Spirit baru harus selalu dirawat dan diperbarui setiap waktu. Orientasi hidup baru harus selalu diperbarui, berbasiskan pada kesadaran bahwa saya sudah tidak lagi sama dengan mereka yang jauh lebih muda. Mereka pastinya akan mampu berlari lebih kencang, mendaki gunung lebih tinggi, karena memiliki napas lebih panjang.

Saya boleh mendaku bahwa dulu pernah hebat, mencetak prestasi dan kebaruan di masa lalu. Namun saya harus sadar diri bahwa itu semua terjadi di masa lalu, dan roda zaman akan terus berlalu. Kebaruan-kebaruan yang terjadi di masa lalu belum tentu bisa tetap menjadi baru dan sesuai dengan kebutuhan bagi generasi baru. Kebutuhan zaman akan terus berubah, berkembang sesuai dengan kehidupan manusia yang menyertainya.

Saatnya saya melatih diri agar memiliki spirit kebaruan yang berbeda: yaitu jiwa dan hati yang lebih lapang, memiliki daya penerimaan baru; kepatuhan dan ketundukan batin yang selalu segar; serta dijauhkan dari segala keinginan-keinginan baru yang terlalu menggebu.

Cukuplah saya menjadi saksi para generasi baru yang mampu mendaki langit dan memetik rembulan untuk kekasihnya. Saya akan tetap berada di bumi, menggenggam tangan pasangan dengan semangat cinta yang terus diperbarui.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Berbeda Tetapi Bersatu Oleh: Dr Masud HMN, Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Ja....

Suara Muhammadiyah

25 May 2024

Wawasan

Mohamad Djazman: Profiling Ulama Intelektual Oleh: Dartim Ibnu Rushd (Dosen Fakultas Agama Islam-UM....

Suara Muhammadiyah

17 January 2025

Wawasan

Jamane Wis Akhir: Dalam Kehidupan Manusia Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon "Bumi ini ....

Suara Muhammadiyah

15 March 2025

Wawasan

Oleh Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Dalam ulasan buku kali ini, kita....

Suara Muhammadiyah

27 December 2024

Wawasan

Jangan Tertipu oleh Perasaan Sendiri Oleh: Suko Wahyudi/PRM Timuran Yogyakarta  Sering kali m....

Suara Muhammadiyah

11 April 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah