Keunikan 'If the Oceans Were Ink': Belajar Al-Qur'an Tanpa Sekat

Publish

15 January 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
155
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Keunikan 'If the Oceans Were Ink': Belajar Al-Qur'an Tanpa Sekat

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Bayangkan dua orang sahabat dengan latar belakang dan sudut pandang yang berbeda, bersama-sama mempelajari Al-Qur'an. Inilah yang disajikan dalam buku If the Oceans Were Ink: An Unlikely Friendship and a Journey to the Heart of the Quran (2015). Buku ini mengisahkan perjalanan Carla Powers, seorang jurnalis non-muslim, dalam mempelajari Al-Qur'an bersama Syekh Mohammed Akram Nadwi, seorang cendekiawan Islam terkemuka. If the Oceans Were Ink bahkan terpilih sebagai Buku Terbaik Tahun Ini (A Best Book of the Year) oleh Washington Post dn Denver Post.

Judul buku ini sendiri sangat menarik karena terinspirasi dari Surah Al-Kahfi ayat 109 yang menggambarkan betapa luasnya ilmu Allah. Selain itu, kata "hati" dalam subjudulnya seakan menjanjikan pembaca sebuah penjelajahan mendalam tentang inti sari Al-Qur'an. 

Carla Power bukanlah penulis sembarangan. Ia telah menulis untuk berbagai media ternama seperti Newsweek, Time, New York Times, Vogue, dan Glamour. Yang membuatnya istimewa, ia menulis tentang Islam dengan objektif dan tanpa prasangka, suatu hal yang jarang ditemui di masa lalu. Penulis-penulis pada Abad Pertengahan seringkali menggambarkan Islam secara negatif dan bias, namun kini semakin banyak penulis, termasuk Carla Power, yang menyajikan Islam secara adil dan berimbang.

Buku ini tidak hanya membahas Al-Qur'an secara lugas, tetapi juga mengungkapkan dua kisah personal yang saling terkait. Pertama, kisah Carla Powers sendiri yang sejak kecil sering berkelana dan tinggal di berbagai negara Timur Tengah dan Asia bersama orang tuanya yang merupakan profesor universitas. Pengalaman hidup di tengah masyarakat Muslim membentuk pandangannya terhadap Islam.

Kisah kedua menceritakan tentang Syekh Akram Nadwi, seorang cendekiawan Islam kelahiran India. Ia mendalami ilmu agama di sebuah universitas tradisional yang mengajarkan fikih dan tafsir Al-Qur'an. Namun, pendidikan tersebut juga mendorongnya untuk berpikir progresif dan terbuka. Kini, Syekh Akram menetap di Inggris dan mengajar di Universitas Oxford. Syekh Akram Nadwi, yang berasal dari Timur, kini tinggal di Barat. Sebaliknya, Carla Power, yang berasal dari Barat, justru banyak menghabiskan waktu di Timur. Dua kisah hidup mereka yang saling bersinggungan inilah yang menjadi benang merah buku ini.

Carla Power merasa prihatin dengan banyaknya pemberitaan negatif tentang Islam di media. Ia ingin meluruskan kesalahpahaman tersebut dengan mempelajari Al-Qur'an secara mendalam. Untuk itu, ia memutuskan untuk belajar langsung dari seorang cendekiawan Muslim selama satu tahun. Pilihannya jatuh kepada Syekh Akram Nadwi, yang menurutnya memiliki kombinasi unik antara pemahaman agama yang kuat dan keterbukaan terhadap modernitas. Carla Power dengan sengaja memilih Syekh Akram dibandingkan cendekiawan lain karena alasan inilah.

Tujuan Carla Power mempelajari Al-Qur'an dari Syekh Akram Nadwi adalah untuk memahami Islam secara utuh dan objektif, bukan hanya dari pemberitaan negatif di media. Ia ingin menunjukkan bahwa Islam yang sesungguhnya adalah agama yang moderat dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana dipraktikkan oleh Syekh Akram yang menentang kekerasan dan mendukung hak-hak perempuan.

Buku ini disusun berdasarkan topik-topik tertentu, seperti hak-hak perempuan dan perang. Namun, diskusi antara Carla Power dan Syekh Akram tidak selalu terbatas pada topik tersebut. Beberapa percakapan bahkan berlangsung secara spontan di kedai kopi. Uniknya, Carla Power diberi kebebasan penuh untuk mengikuti aktivitas Syekh Akram, termasuk menghadiri kelas-kelasnya yang diikuti oleh siswa-siswa Muslim. Ia tidak dibatasi dan diperbolehkan mengamati semua yang terjadi, bahkan dipersilakan untuk bertanya di tengah-tengah pelajaran.

Sikap Syekh Akram Nadwi patut diapresiasi karena beliau menunjukkan keterbukaan yang luar biasa dalam menerima kehadiran Carla Power, seorang perempuan non-muslim, dalam forum diskusi keagamaan. Meskipun mungkin dianggap tidak lazim, bahkan tabu, oleh sebagian kalangan di lingkungan pendidikan agama tradisional (madrasah), Syekh Akram justru menciptakan suasana diskusi yang lebih cair dan rileks, tanpa sekat-sekat yang membatasi.

Hal ini semakin menegaskan keunikan buku If the Oceans Were Ink. Carla Power tidak hanya diperbolehkan untuk mengikuti diskusi, tetapi juga diberi akses istimewa untuk menyelami kehidupan Syekh Akram secara lebih dekat. Ia diizinkan untuk menghadiri kelas-kelas pengajian Al-Qur'an, di mana ia diperlakukan layaknya murid-murid Syekh Akram yang lain. Tidak ada materi yang dirahasiakan atau disampaikan secara berbeda kepadanya. Ia benar-benar diberi kebebasan penuh untuk mengamati, menyimak, dan bertanya. 

Keterbukaan dan kebebasan yang diberikan kepada Carla Power ini memungkinkan pembaca untuk merasakan suasana belajar Al-Qur'an secara otentik, seolah-olah mereka hadir dan belajar bersama di kelas tersebut. Pengalaman inilah yang membuat buku ini begitu berbeda dan menarik.

Saya bisa membantah dua kritik yang ditujukan pada buku ini. Pertama, tentang kurangnya pembahasan mengenai keragaman dalam Islam. Sebenarnya, buku ini cukup baik dalam menyajikan berbagai perspektif, termasuk pandangan Syekh Akram yang tradisional dan pandangan cendekiawan Muslim lain yang lebih progresif, seperti Asma Barlas dan Fatima Mernissi, terutama dalam topik hak-hak perempuan. Kedua, tentang kedua kisah yang dianggap kurang mendalam. Memang, kedua kisah tersebut layak dibuatkan buku tersendiri. Namun, mengingat keterbatasan ruang, penulis telah menyampaikannya dengan cukup baik.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Mohammad Fakhrudin (warga Muhammadiyah) dan Iyus Herdiana Saputra (Dosen al-Islam dan Kemuhamm....

Suara Muhammadiyah

25 January 2024

Wawasan

Partisipasi Perempuan Pada Pemilu 2024 Oleh: Amalia Irfani, LPPA PWA Kalbar  Riuh menyambut p....

Suara Muhammadiyah

31 December 2023

Wawasan

Oleh: Tri Ermayani, M.Ag, Dosen Al-Islam & Kemuhammadiyahan UM Purworejo Dalam kehidupan sehari....

Suara Muhammadiyah

30 January 2024

Wawasan

Sulthanan-Nashira sebagai Pakaian Politik Islam Oleh: Adrian Al-fatih, Kader Muhammadiyah Sulthana....

Suara Muhammadiyah

22 December 2023

Wawasan

Memahami Hari Kiamat Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Apa seben....

Suara Muhammadiyah

1 March 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah