REFORMASI KADERISASI MUHAMMADIYAH
Krisis Kader dapat dikatakan sebagai pembahasan yang paling sering diulang dalam keluarga besar Persyarikatan Muhammadiyah. Setiap materi permusyawaratan berbagai jenjang hampir selalu mencantumkan permasalahan ini. Baik itu keluhan sulit mencari penerus maupun keluhan tentang penurunan kualifikasinya. Termasuk di dalam tubuh organisasi otonom Angkatan Muda Muhammadiyah yang didesain untuk persemaian kader. Walau sudah agak lama terjadi, fenomena ini tidak pernah terjawab secara tuntas.
Bisa jadi, keluhan-keluhan ini terjadi karena belum adanya kesepakatan tentang apa yang disebut dengan kader itu sendiri di kalangan aktivis Persyarikatan. Ada yang melakukan pembatasan kader hanya mereka yang berproses dan menjadi Muhammadiyah dalam jalur ortom AMM. Meski sudah aktif menjadi Pimpinan Amal Usaha Muhammadiyah bahkan menjadi Pimpinan Muhammadiyah kalau pada masa lalunya dia tidak pernah aktif di Angkatan Muda Muhammadiyah dianggap bukan sebagai kader.
Walau yang bersangkutan sudah menjadi Top Leader di suatu AUM dengan prestasi yang gemilang dan juga menjadi pimpinan Muhammadiyah tetap saja dianggap sebagai “muallaf Muhammadiyah”. Bahkan ada pula yang lebih mempersempit lagi. Baru dianggap sebagai kader kalau dia aktif di ortom dan harus linear. Saat sekolah aktif di IPM, saat kuliah aktif di IMM, setelah lulus harus aktif di Pemuda Muhammadiyah atau NA. Mungkin masih ada yang ingin lebih mempersempit lagi, harus anak-keturunan aktivis Muhammadiyah dan Aisyiyah.
Pembatasan-pembatasan seperti di atas pasti didasarkan pada berbagai alasan yang mungkin dapat dibenarkan. Akan tetapi, dari pembatasan seperti itu yang terjaring mungkin hanya kadernya kader atau dalam bahasa Youtuber Pak Dul, disebut sebagai intinya inti atau core of the core.
Selengkapnya dapat berlangganan Majalah Suara Muhammadiyah
Klik di sini https://suaramuhammadiyah.or.id/ebook/paket
Atau, download di Playstore