Layangan Yang Diceritakan Kepada Kamu

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
767
Bermain Layang-layang

Bermain Layang-layang

Cerpen Latief S. Nugraha

Sebelumnya saya ingin menyampaikan bahwa cerita ini tidak ada hubungannya dengan serial Layangan Putus yang sedang viral di media sosial. Sebuah drama rumah tangga itu, kisah perselingkuhan itu, hanyalah kisah klise umat manusia yang terus berulang kejadiannya. Lucunya, selalu saja ada keledai yang terjerembab ke dalam lubang berlumpur itu. 

Layangan yang akan saya ceritakan ini beda.

Saya akan memulainya dengan sebuah pernyataan. Begini.

Tak ada yang tahu takdir sehelai layangan ketika sudah berhadap-hadapan dengan angin di angkasa. Tak ada seorang anak yang pernah memikirkan mengapa ia menerbangkan layangan dan untuk apa ia melakukannya. Di waktu yang sama ia bisa saja memancing, membaca, nonton, menulis, atau melakukan apa pun yang seperti tidak melakukan apa pun tapi mendapatkan sesuatu daripada sekadar melamun. Apa yang didapatkan seseorang dari menerbangkan layangan? Apa yang ditunggu; munculnya layangan kawan atau putusnya benang layanganya? 

Kamu tahu kalau tidak tahu alasannya. Kita seperti kebanyakan orang yang sebenarnya tidak punya tujuan dalam hidup. Mau apa? Apakah kamu pernah memikirkannya? O ya, waktu kecil kamu punya cita-cita? Apakah tujuan hidupmu mau menggapai cita-cita itu? Lalu kalau sudah mendapatkannya mau apa? Atau jika gagal meraihnya mau bagaimana?

Kelak kamu akan sadar bahwa kita hanya menjalani takdir. Takdir ada di awang-awang. Luas tak terkira. Kamu hanya sehelai layangan yang sewaktu-waktu tatas lalu lenyap entah ke mana. Tak ada seorang pun yang akan mengejar dan mencarinya.

“Siapa orang yang pertama kali membuat layangan?”

 Apa saya harus menjawabnya? Kamu bisa mencarinya di google. Gampang kan. Yang penting itu bukan siapa penemunya, tapi untuk apa ia membuatnya!?

“Dari tadi muter-muter bahas layangan nggak habis-habis. Kamu itu dulu waktu kecil nggak bisa menerbangkan layangan kan? Jadi nggak usah sok filosofis bahas layangan buang-buang waktu begini!”

Kamu harus bisa membedakan, mana orang yang tidak bisa menerbangkan layangan dengan yang tidak mau menerbangkan layangan. Saya tidak tahu untuk apa menerbangkan layangan. Oleh karena itu saya tidak mau menerbangkannya.

“Tapi kamu bercita-cita jadi pilot.”

Jadi pilot. Ya, jadi pilot. Tidak ada anak-anak yang sungguh-sungguh paham dari jawaban yang mereka katakan ketika guru bertanya, “apa cita-citamu, Nak?” Mereka tidak tahu kalau yang disebutkan itu adalah nama-nama pekerjaan. 

Di awal tadi saya sudah tanyakan hal ini. Baiklah saya ulangi sekali lagi. Apakah waktu kecil kamu punya cita-cita? Apakah tujuan hidupmu mau menggapai cita-cita itu? Lalu kalau sudah mendapatkannya mau apa? Atau jika gagal meraihnya terus mau bagaimana?

***

Lihatlah bandara itu! Dulu di sana ada sawah ladang dan tanah lapang, taman bermain kita. Kamu dan teman-teman terbangkan layangan di sana. Seperti biasa, saat itu saya hanya nonton, mengikuti langkah kaki kalian. Kalau ada yang putus saya ikut berkejaran, ya mengejar layangan itu, ya dikejar waktu yang tiba-tiba senja. 

Saat ini, seperti yang biasa saya lakukan dulu, saya hanya menonton. Kamu juga hanya menonton. Kita hanya jadi penonton. Dari jauh menyaksikan kampung halaman kita digusur. Kali ini kita sama, sama-sama tidak tahu mau berbuat apa setelah tanah tumpah darah kita jadi milik orang lain, orang asing. Kita belum benar-benar merasakan merdeka, tapi sudah dijajah lagi. Dan kita pun juga sama dengan nenek moyang yang tak berkutik dijajah hanya oleh sebuah sarikat dagang!  

Tapi, apakah kamu pernah membayangkan jikalau anak desa yang tidak suka menerbangkan layangan tapi bercita-cita bisa menerbangkan pesawat ini benar-benar jadi pilot? Saya akan menggilas tanah leluhur yang dahulu subur itu dengan roda-roda pesawat. Saya telah menjadi salah satu orang yang membuat anak cucu kita tidak bisa lagi menerbangkan layangan di sawah ladang atau tanah lapang. Betapa menjijikkannya saya.

“Jadi ini yang kamu dapatkan dari menonton? Dulu kamu menonton kami bermain layangan. Sekarang kamu menonton pesawat-pesawat itu mendarat dan terbang mempermainkan kita.”

Syukurlah. Setelah kita sama-sama menonton akhirnya kamu dapat memahami maksudku.

***

Tapi adakah manusia yang benar-benar tahu untuk apa berbuat sesuatu? Pernahkah kamu berpikir kalau manusia itu amat sangat lucu? Mereka membuat sesuatu untuk tidak berbuat sesuatu. 

Tuhan telah menganugerahkan nikmat yang tidak berguna untuk kita berdua.  

Kamu memilih jadi tukang ojek online setelah merantau ke ibukota dan tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan untuk sekadar membawa seorang pendamping hidup. Pulang dengan suka cita berharap bisa bekerja di bandara. Melihat bandara itu berdiri di atas rumahmu harapan itu kamu pupus. Kamu merasa tidak nyaman tinggal di rumah baru. Kamu merasa tidak lagi bertemu dengan rumah. Pulang kampung kamu rasakan sebagai keputusan yang tolol, tapi bertahan di ibukota juga pilihan yang lebih tolol lagi.

Saya seorang sarjana. Cumlaude. 

Saya ikut demo kemanusiaan dan agraria demi kampung halaman saya. Semula…. Tapi kemudian orang tua saya melarang. Mereka bilang, “Kita sudah kehilangan masa lalu. Apakah kamu juga mau kehilangan masa depan?”

Tapi tetap saja aku tidak menjadi apa-apa. Hanya di rumah saja. Menjadi penonton. Beruntung kamu datang dan betah mendengar igauanku ini. 

***

            Jelang senja. Langit kelabu. Suara hujan menderu di jauhan tapi tak sampai-sampai. Angin kencang menghantam pohon mangga di halaman. Artinya, angin di atas lebih kencang. Kerangka layangan yang sudah berbulan-bulan tersangkut di dahan pohon mangga itu bergoyang-goyang. Tak ada penerbangan di bandara. 

 

Yogyakarta, Januari 2022 

 

LATIEF S. NUGRAHA, lahir di Kulon Progo, 6 September 1989. Alumnus Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra, Universitas Ahmad Dahlan dan Program Pascasarjana Ilmu Sastra, Universitas Gadjah Mada. Buku puisinya Menoreh Rumah Terpendam (Interlude, 2016) dan Pada Suatu Hari yang Mungkin Tak Sebenarnya Terjadi (Interlude, 2020). Bukunya yang lain Sepotong Dunia Emha (Shira Media, 2020). Carik di Studio Pertunjukan Sastra. 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Cerpen Ulfatin Ch Langit masih seperti dulu. Burung-burung masih berkicau merdu. Bunga pukul empat....

Suara Muhammadiyah

19 January 2024

Humaniora

Melihat Identitas Tengahan Muhammadiyah dari Kuburan Kiai Ahmad Dahlan  Oleh: Aan Ardianto, Ka....

Suara Muhammadiyah

22 July 2024

Humaniora

Hidup itu misteri. Tak ada seorang pun di persada buana ini dapat membongkar kontak pandora untuk me....

Suara Muhammadiyah

6 July 2024

Humaniora

Cerpen Sucipto Jumantara Pohon-pohon di belakang rumah selalu membawa anganku terbang jauh ke suasa....

Suara Muhammadiyah

2 February 2024

Humaniora

Anak Kampung: Belajar Bersama Prof Romo KH Abdul Mu’ti  Oleh: Saidun Derani, Dosen ....

Suara Muhammadiyah

21 October 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah