KUPANG, Suara Muhammadiyah - Kiai Haji Ahmad Dahlan selain telah memelopori jejak, langkah, legasi dan rujukan pembaharuan yang menjadi tonggak berdirinya Muhammadiyah hingga saat ini dan ke depan, di dalamnya juga mengajarkan spirit teologis yang luar biasa dinamis dan progresif.
Ali-Imran 104, 110, Surat Al-Asr, Surat Al-Ma'un, dan 17 kelompok ayat Al-Quran yang diajarkan Kiai Dahlan sungguh mengandung inspirasi yang luar biasa mendalam kaya bahkan berorientasi ke masa depan yang melampaui zamannya. Ini dijelaskan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam Pidato Iftitah Tanwir, Rabu (4/12).
Ali-Imron 104 atau sering disebut sebagai ayatnya Muhammadiyah merupakan landasan Kiai Dahlan dalam mendirikan Persyarikatan. Haedar menyampaikan, “Ali Imran 104, tentang pentingnya segolongan umat yang terpilih yang berbeda dari golongan awam dan dari situ lahirlah tafsir tentang pentingnya organisasi dan lahirlah Muhammadiyah,” ujarnya.
Selanjutnya Ali-Imron 110 merupakan ayat yang menjadi cita-cita, khairu ummah yang kini diterjemahkan oleh Muhammadiyah sebagai masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Akan tetapi, barulah pada 1968 ketika Mukatamar Muhammadiyah ke-37 diberi tafsir dan pemaknaan yang resmi.
Ada sepuluh ciri, jelas Haedar, “Bertuhan, beragama, berpersaudaraan, berhukum syar’i, ada berkesejahteraan bahkan satu diantara cirinya disebut juga berkemajuan, berkepemimpinan, berketertiban sosial dan lain sebagainya,” sebutnya.
Dijelaskannya, sepuluh ciri ini menjadi paramater Islam yang sebenar-benarnya. “Ternyata tahun 1968 Muhammadiyah telah melahirkan konsep itu, cuman sayang kita tidak membaca aja sehingga kemudian bertanya, masih baik bertanya,” ungkapnya. Menurut Haedar ayat-ayat yang diajarkan Kiai Dahlan tidak banyak, tetapi mengandung inspirasi yang luar biasa.
Haedar kemudian menjelaskan jika ketika Majelis Tarjih menyusun Tafsir At-Tanwir di era Ketua Umum Din Syamsudin. Nama Tafsir At-Tanwir dimaksudkan untuk menyambung mata rantai dari spirit Al-Quran yang selalu diajarkan oleh Kiai Dahlan.
“Sudah jilid yang kedua. Artinya bahwa apa yang menjadi fondasi teologis kita dalam Tafsir At-Tanwir nanti sampai selesai, itulah yang harus menjadi referensi kita dengan tetap memperkaya tafsir-tafsir lain baik yang klasik maupun modern,” jelasnya.
Kenapa itu kita perlukan lebih-lebih bagi para pemimpin, tanya Haedar, “Karena kita sekarang hidup dalam dinamika perubahan zaman yang jauh lebih kompleks ketimbang di era Kiai Dahlan,” jawabnya. Kiai Dahlan sendiri telah mengingatkan bahwa Muhammadiyah yang akan datang akan jauh lebih berat ketimbang Muhammadiyah hari ini.
Pada akhir pidato pembuka ini, Haedar Nashir juga menyinggung bagaimana kepemimpinan dalam Islam, termasuk di Muhammadiyah. Kepemimpinan kata Kiai Dahlan Pemimpin Muhammadiyah itu harus pemimpin kemajuan Islam.
“Itu dalam pidato tahun 21 di Cirebon dalam judul Tali Pengikat Hidup, yang menurut beliau agama itu asalnya bercahaya berkilau-kilauan, agama Islam maksudnya, tapi lama-kelamaan redup. Dan yang bikin redup bukan agama itu sendiri tapi pemeluknya,” ujarnya.
“Maka pemimpin Islam harus pemimpin kemajuan Islam yang melahirkan agama untuk bersinar bersinar kembali berkilau-kilauan, kembali dengan cara mengasah nalar. Bahkan dia sebut sebagai nalar murni, nalar sejati, akal murni, akal sejati, dan pemimpin Muhammadiyah juga harus menjadi pemimpin pergerakan yang setiap harinya selalu resah selalu terpanggil untuk terus berbuat yang terbaik,” tegas Haedar.
Menurutnya, kepemimpinan adalah fungsi dari proyeksi kepemimpinan Nabi yang memiliki dua fungsi utama yaitu menegakkan nilai-nilai agama sehingga agama itu menjadi kekuatan yang hidup, sumber nilai segala-galanya.
Yang kedua mengurus urusan dunia sehingga dunia itu dalam genggaman kita di bawah nilai-nilai agama. Lanjut Haedar, “Sehingga umat Islam tidak tenggelam dalam urusan dunia menjadi manusia yang rakus dunia, tapi juga bukan menjadi menjauhi dunia hanya karena dia ingin bersih. Urus dunia dengan agama, hadirkan agama untuk mengurus dunia, sehingga kita sejalan dengan doa kita Rabbana, atina fid dunya hasanah, wa fil akhirati hasanah, wa qina adzaban nar,” pungkasnya. (Jan)