Lima Kunci Mewujudkan Kesejahteraan

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
56
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Lima Kunci Mewujudkan Kesejahteraan 

Oleh: Dr Tri Hastuti Nur Rochimah, MSi, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah

Dalam narasi besar pembangunan bangsa, cita-cita mewujudkan kesejahteraan yang merata dan berkeadilan masih dihadapkan pada sejumlah tantangan kompleks dan multidimensi. Untuk mengukur capaian dan menilai jurang yang masih harus diseberangi perlu sebuah kerangka analisis yang komprehensif. Setidaknya terdapat lima indeks kunci yang harus menjadi perhatian bersama, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan, partisipasi politik perempuan, dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Kelima pilar ini, jika ditelaah secara mendalam, akan mengungkap kondisi nyata kesejahteraan bangsa serta kelompok mana saja yang masih tertinggal.

Tantangan pertama dan paling mendasar terletak pada sektor ekonomi. Meski angka kemiskinan menunjukkan tren penurunan, secara absolut jumlahnya masih tergolong tinggi, dan upaya pemberdayaan ekonomi masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Keterbatasan lapangan kerja formal mendorong sebagian besar masyarakat, khususnya perempuan, untuk mencari nafkah di sektor informal. Di sektor inilah, perlindungan sosial seperti asuransi ketenagakerjaan dan kesehatan masih menjadi barang mewah, dengan upah yang kerap berada di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Kerentanan ini semakin diperparah oleh dampak perubahan iklim yang langsung dirasakan oleh kelompok masyarakat yang hidupnya bergantung pada alam, seperti petani dan nelayan. Pembangunan ekonomi ke depan, karena itu, harus memprioritaskan dan memikirkan strategi khusus untuk memberdayakan kelompok marginal ini. Di sisi lain, program bantuan dan dukungan dari pemerintah seringkali terjebak dalam birokrasi yang berbelit dan tidak berbasis data yang inklusif. Data real tentang kemiskinan, petani, nelayan, serta data terpilah gender dan disabilitas, belum sepenuhnya menjadi fondasi dalam merancang program-program yang tepat sasaran.

Tantangan kedua berada di bidang pendidikan, di mana angka putus sekolah masih menjadi bayang-bayang yang menghantui, khususnya di daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Praktik perkawinan anak menjadi salah satu penyebab utama yang memutus akses pendidikan bagi banyak anak perempuan. Dalam kerangka membangun kesejahteraan, prinsip "no one left behind" atau tak seorang pun boleh tertinggal, menuntut adanya pendekatan pendidikan yang inklusif. Perhatian khusus harus diberikan kepada kelompok-kelompok rentan, seperti perempuan korban kekerasan seksual, korban perkawinan anak, dan anak-anak dari keluarga marginal. Sistem pendidikan nasional harus dilengkapi dengan lensa yang mampu menangkap dan memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok ini, memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan dan meraih masa depan yang lebih baik.

Indeks ketiga, kesehatan, menjadi barometer penting kesejahteraan suatu bangsa. Sayangnya, Indonesia masih menduduki peringkat kedua tertinggi di ASEAN untuk angka kematian ibu (AKI). Tingginya AKI ini merupakan indikator yang menyedihkan atas masih rendahnya tingkat kesehatan perempuan secara keseluruhan. Tantangan lain yang tak kalah pelik adalah terbatasnya akses layanan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) bagi remaja, serta tingginya prevalensi stunting yang penanganannya memerlukan pendekatan multidisiplin, tidak hanya dari sisi kesehatan tetapi juga sosial dan gizi. Lebih lanjut, kanker payudara dan kanker rahim tetap menjadi pembunuh nomor satu perempuan di Indonesia. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah pencegahan yang lebih agresif, seperti mengintegrasikan deteksi dini, misalnya USG gratis, ke dalam cakupan layanan BPJS, sebagai investasi untuk menyelamatkan nyawa perempuan Indonesia.

Tantangan keempat adalah tingginya angka kekerasan terhadap perempuan. Meski Indonesia telah memiliki Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) selama hampir dua dekade dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sejak 2022, angka kekerasan seksual dan KDRT masih memprihatinkan. Jarak antara regulasi dan implementasi masih sangat lebar. Dari sebelas peraturan turunan yang diperlukan untuk melaksanakan UU TPKS secara maksimal, baru dua yang telah terbit. Kekosongan regulasi ini menjadi tantangan besar dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan. Belum lagi maraknya Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang semakin sulit dideteksi dan ditangani karena payung hukum yang belum sepenuhnya mampu menjangkaunya.

Tantangan kelima terletak pada partisipasi politik perempuan. Kuota 30% bagi perempuan di parlemen belum juga tercapai, dan yang lebih memprihatinkan adalah kualitas representasi yang masih dipertanyakan. Keberadaan perempuan di lembaga legislatif dan eksekutif belum tentu menjamin suara dan kepentingan perempuan serta kelompok marginal lainnya didengar. Problemnya ganda, dari sisi kuantitas saja sudah bermasalah, kualitasnya juga masih menjadi tantangan. Diperlukan upaya lebih dari sekadar memenuhi angka, tetapi juga memastikan bahwa para wakil rakyat tersebut memiliki perspektif dan komitmen yang kuat untuk memajukan hak-hak perempuan dan kelompok terpinggirkan.

Menghadapi kompleksitas tantangan tersebut, ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah hadir dengan peran strategis yang khas. Kekuatan gerakan kedua organisasi ini terletak pada karakternya yang bekerja langsung di tingkat komunitas atau ranting. Kesejahteraan sejati harus dibangun dari bawah. Kami memperkuat dakwah pemberdayaan di akar rumput agar manfaatnya dapat langsung dirasakan oleh masyarakat.

Seluruh program yang dijalankan ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah di berbagai bidang, mulai dari ekonomi, pendidikan, kesehatan, hingga penanganan kekerasan, dikembangkan dengan perspektif GEDSI (Kesetaraan dan Keadilan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial). Dalam bidang ekonomi, ‘Aisyiyah aktif memberdayakan perempuan pelaku UMKM, kelompok disabilitas, lansia miskin, serta petani dan nelayan melalui program-program pemberdayaan dan advokasi kepada pemerintah daerah. 

Di bidang pendidikan, melalui pendirian Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), ‘Aisyiyah menjangkau anak putus sekolah, perempuan korban perkawinan anak, dan masyarakat di daerah terpencil dan kepulauan. Di sektor kesehatan, upaya difokuskan pada pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan pencegahan stunting. Sementara untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan, ‘Aisyiyah mengoperasikan 109 Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang tersebar di seluruh Indonesia untuk memberikan pendampingan dan perlindungan bagi korban. Tidak ketinggalan, dalam ranah partisipasi politik, ‘Aisyiyah aktif mendorong perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di tingkat desa hingga menduduki jabatan publik.

Diolah dari Wawancara untuk Majalah SM edisi 22/2025


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Refleksi Akhir Tahun dan Optimisme Tahun 2025 Oleh: Afita Nur Hayati, Bekerja di Universitas Islam ....

Suara Muhammadiyah

31 December 2024

Wawasan

Mengungkap Keajaiban Al-Qur'an: Lebih dari Sekadar Bahasa Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu ....

Suara Muhammadiyah

2 April 2025

Wawasan

Oleh: Izza RohmanKetua Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah New South Wales Australia Alhamdulill....

Suara Muhammadiyah

2 January 2024

Wawasan

Oleh: Bahren Nurdin Bayangkan saat Jumatan di masjid lokal Anda: Khotib berdiri di mimbar, mengucap....

Suara Muhammadiyah

28 November 2023

Wawasan

Spirit Sumpah Pemuda dalam Tanwir IMM XXXIII Oleh: M Zaki Mubarak, Sekretaris Jenderal DPP IMM Kur....

Suara Muhammadiyah

20 October 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah