Mandiri atau Terlantar di Rumah Tuhan

Publish

26 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

1
65
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Mandiri atau Terlantar di Rumah Tuhan

Oleh: Dwi Taufan Hidayat, kader Muhammadiyah di Kab. Semarang, alumni PW IPM DIY dan PW IPM Jateng

Di Bandara Soekarno–Hatta, Abdul Karim menatap tiket elektroniknya sambil menarik napas panjang. Di tangannya, semua berkas perjalanan umrah sudah siap visa, bukti hotel, hingga tiket bus di Arab Saudi semua ia urus sendiri. “Biar hemat dan fleksibel,” katanya, mencoba menenangkan diri. Tak ada agen travel, tak ada pendamping ibadah. Ia hanya ditemani aplikasi di ponsel dan keyakinan bahwa Tuhan akan menuntun langkahnya.

Namun, di balik semangat kemandirian itu, ada banyak yang belum ia ketahui: aturan baru yang menjanjikan kebebasan, tapi juga menyimpan risiko sunyi di tanah suci.

Era Baru: Umrah Tanpa Agen

Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pemerintah membuka peluang bagi warga Indonesia untuk melaksanakan umrah secara mandiri tanpa melalui biro perjalanan resmi. Aturan ini diklaim sebagai bentuk adaptasi zaman digital dan keinginan memperluas akses ibadah bagi semua lapisan masyarakat.

Kementerian Agama menyebut konsep ini sebagai “modernisasi ibadah” memungkinkan calon jemaah mengatur sendiri tiket, hotel, transportasi, hingga ziarah tambahan. Pemerintah cukup menjadi regulator dan pengawas.

“Selama semua dokumen sesuai standar, masyarakat punya hak penuh untuk mengatur perjalanan umrahnya,” kata seorang pejabat Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus, dalam konferensi pers awal September lalu.

Bagi sebagian orang, ini langkah maju: ibadah yang lebih murah, cepat, dan fleksibel. Tapi bagi banyak pihak lain, terutama asosiasi penyelenggara haji dan umrah, aturan ini terasa seperti melepaskan jemaah di tengah padang pasir tanpa kompas.

Antara Kebebasan dan Kekosongan

Bagi industri travel umrah, UU ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia mendorong efisiensi dan menekan biaya. Di sisi lain, ia berpotensi melahirkan kerentanan baru bagi jemaah.

“Tidak semua orang siap berangkat sendiri ke negara dengan sistem berbeda. Ada aspek perlindungan, edukasi, bahkan tanggung jawab sosial yang hilang,” ujar Firman M. Nur, Ketua Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah (AMPHURI).

Ia mencontohkan kasus jemaah mandiri asal Indonesia yang tersesat di Jeddah tahun lalu karena salah membaca rute hotel. Tak ada yang bisa dituntut karena ia bukan bagian dari rombongan resmi.

Kekhawatiran seperti ini bukan tanpa dasar. Data Kemenag menunjukkan bahwa dari sekitar 1,5 juta jemaah umrah Indonesia per tahun, lebih dari 60 persen merupakan pemula yang belum pernah ke luar negeri. Dalam sistem umrah mandiri, tanggung jawab perlindungan mereka masih kabur: siapa yang menolong jika terjadi kehilangan, sakit, atau deportasi mendadak?

Dampak UU 14/2025 juga mengguncang ekonomi sektor jasa ibadah. Ribuan biro umrah di berbagai daerah kini harus menyesuaikan diri. Banyak di antaranya beralih menjadi penyedia layanan digital menjual paket tiket, hotel, dan bimbingan online bagi jemaah mandiri.

“Pasar berubah. Sekarang semua orang bisa pesan sendiri lewat aplikasi. Kami harus menemukan peran baru,” kata Laila, pemilik travel umrah di Yogyakarta, yang kini mengubah usahanya menjadi konsultan perjalanan religi daring.

Fenomena ini menunjukkan bahwa umrah mandiri tidak sekadar kebijakan keagamaan, tetapi juga bagian dari pergeseran ekonomi digital. Ia menciptakan peluang, sekaligus menghapus model bisnis lama yang dulu memberi banyak lapangan kerja.

Namun, sebagian pakar menilai kebijakan ini justru memperlihatkan ketidaksiapan infrastruktur sosial. “Negara memberi kebebasan sebelum membangun sistem perlindungan. Dalam ibadah, kebebasan tanpa bimbingan bisa berubah menjadi petualangan spiritual yang berisiko,” ujar Ahmad Shobirin, peneliti hukum Islam dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Secara normatif, umrah mandiri tidak melanggar prinsip syariah. Tapi secara teknis, banyak lubang yang belum tertutup. Misalnya, mekanisme pelaporan keberangkatan, jaminan asuransi, hingga sertifikasi visa elektronik yang rawan dipalsukan oleh calo daring.

Beberapa pihak menilai pemerintah terlalu cepat meluncurkan aturan tanpa uji coba bertahap. Di lapangan, belum semua jemaah paham bahwa Arab Saudi memiliki sistem keimigrasian yang sangat ketat, dan pelanggaran kecil bisa berujung deportasi.

Lebih dari sekadar administratif, isu ini menyentuh etika keberagamaan: apakah ibadah yang semestinya penuh ketenangan justru akan berubah menjadi perjalanan individual yang rawan ekses pasar?

Banyak pihak berharap pemerintah tidak berhenti pada aspek legalitas, tetapi membangun ekosistem pendampingan digital semacam “platform nasional umrah” yang bisa mengintegrasikan data jemaah, panduan ibadah, hingga akses darurat di Tanah Suci.

Dengan begitu, jemaah tetap bisa mandiri, tapi tidak sendirian.

Kementerian Agama menyebut sedang menyiapkan sistem seperti itu melalui kerja sama dengan otoritas Saudi dan maskapai nasional. Namun, belum ada kejelasan kapan akan berjalan.

“Kalau mau mandiri, ya boleh. Tapi pastikan jemaah tidak terlantar. Mandiri bukan berarti ditinggalkan,” ujar seorang mantan atase haji Indonesia di Riyadh.

Kini, Abdul Karim telah pulang dari Tanah Suci. Ia selamat, tapi tidak semua pengalamannya berjalan mulus. Dua hari pertama ia tersesat di Masjidil Haram, dan sempat kehilangan koper karena salah terminal. Namun ia tidak menyesal. “Saya belajar banyak. Tapi tidak semua orang bisa sekuat itu,” katanya lirih.

Di matanya, kebebasan memang terasa nikmat—hingga seseorang sadar bahwa ibadah sejati bukan hanya tentang berjalan sendiri, melainkan juga tentang bagaimana negara hadir dalam perjalanan suci itu.

Karena di antara jutaan jemaah yang menatap Ka’bah dengan doa penuh harap, selalu ada yang diam-diam memikul beban lebih berat: menjadi umat yang dibiarkan mencari Tuhan sendirian di negeri orang.

Kebijakan umrah mandiri adalah cermin zaman: manusia ingin bebas, tapi juga ingin aman. Di tengah langit spiritual dan birokrasi yang saling bertabrakan, negara perlu hadir bukan sebagai penghalang, tapi sebagai penuntun.

Sebab di rumah Tuhan, kemandirian tanpa perlindungan hanya akan melahirkan kesunyian baru kesunyian mereka yang berjalan jauh untuk mencari Tuhan, tapi tak tahu siapa yang akan menuntun pulang.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Personal Branding Orang yang Bertakwa Menurut QS Ali Imran: 134 Oleh: Dimas Sanjaya/Guru MTs Muhamm....

Suara Muhammadiyah

14 April 2025

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (30) Oleh: Mohammad Fakhrudin (warga Muhammadiyah tinggal di M....

Suara Muhammadiyah

28 March 2024

Wawasan

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Surah An-Nisa ayat 48 dan 116 menjela....

Suara Muhammadiyah

14 June 2024

Wawasan

Memaknai Filosofi Garwa dalam Konteks Kehidupan Oleh: Rumini Zulfikar (GusZul), Penasehat PRM Trok....

Suara Muhammadiyah

9 September 2025

Wawasan

Oleh: Bahrus Surur-Iyunk Guru SMA Muhamamdiyah I Sumenep, penulis buku motivasi Islam Meraih Hikmah....

Suara Muhammadiyah

12 March 2024