Manifestasi Tanpa Syariat: Ilusi Spiritual di Era Digital

Publish

2 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
253
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Manifestasi Tanpa Syariat: Ilusi Spiritual di Era Digital

Oleh : Rusydi Umar, Dosen FTI UAD, Anggota MPI PP Muhammadiyah (2015-2022)

Di era digital yang serba cepat, spiritualitas pun ikut dipasarkan. Salah satu narasi yang paling viral adalah “manifestasi”—keyakinan bahwa apa yang kita pikirkan dan rasakan akan “ditarik” oleh semesta menjadi kenyataan. Barang, jodoh, uang, bahkan ketenangan batin, diklaim bisa datang hanya dengan vibrasi cinta dan afirmasi positif. Narasi ini terdengar indah, menyentuh sisi terdalam manusia yang mendambakan harapan. Tapi dalam perspektif Islam, kita perlu bertanya: apakah ini jalan yang benar, atau sekadar ilusi yang dibungkus spiritualitas?

Islam tidak menolak harapan. Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan kita untuk berdoa, berharap, dan bertawakkal. Namun, Islam juga menegaskan bahwa jalan menuju harapan harus melalui syariat, bukan sekadar afirmasi batin. Dalam QS Al-Baqarah: 186, Allah berfirman: “Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang berdoa kepada-Ku.” Tapi ayat ini tidak berhenti di situ. Ia dilanjutkan dengan syarat: “Maka hendaklah mereka memenuhi perintah-Ku dan beriman kepada-Ku.” Artinya, harapan dalam Islam bukan sekadar vibrasi, tapi komitmen terhadap jalan yang ditetapkan-Nya.

Narasi manifestasi seperti LoA (Law of Attraction), Mestakung (Semesta Mendukung), dan Abundance Revolution sering kali mengaburkan peran Allah sebagai Rabb. Semesta dijadikan aktor spiritual, seolah-olah ia punya kehendak dan mekanisme sendiri. Padahal dalam Islam, semesta adalah ciptaan, bukan pengatur. Mengganti Allah dengan “semesta” bukan hanya keliru secara akidah, tapi juga membuka pintu kesesatan yang halus.

Lebih jauh, teknik manifestasi sering kali mengabaikan ikhtiar nyata. Seseorang diajarkan untuk “menarik barang” dengan afirmasi, bukan bekerja. Bahkan ada yang diajarkan untuk “melompat ke versi diri yang lebih kaya” tanpa proses. Ini bertentangan dengan prinsip Islam yang menempatkan kerja keras sebagai bagian dari ibadah. Dalam QS An-Najm: 39, Allah menegaskan: “Dan bahwa manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” Islam tidak menjanjikan hasil tanpa usaha. Justru usaha itulah yang menjadi bukti keimanan dan ketundukan.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah komersialisasi spiritualitas. Banyak kelas manifestasi dijual dengan harga jutaan rupiah, menjanjikan kelimpahan, jodoh, bahkan kesembuhan sebagai hasil dari “vibrasi cinta”. Padahal dalam Islam, ilmu bukan untuk diperjualbelikan demi keuntungan pribadi, apalagi jika isinya tidak bisa diverifikasi. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR Bukhari-Muslim). Jika berdusta atas nama Nabi saja berat hukumannya, bagaimana dengan berdusta atas nama semesta?

Islam mengenal konsep hakekat dan syariat. Tapi keduanya tidak bisa dipisahkan. Hakekat tanpa syariat adalah ilusi. Syariat tanpa hakekat adalah kering. Narasi manifestasi palsu sering kali menjanjikan hakekat—kelimpahan, ketenangan, cinta murni—tanpa syariat. Tanpa shalat, tanpa zakat, tanpa adab. Ini bukan spiritualitas, tapi romantisasi batin yang menjauhkan manusia dari jalan lurus.

Fenomena ini mirip dengan praktik-praktik spiritual baru yang tumbuh subur di media sosial. Orang mencari jalan pintas menuju kebahagiaan tanpa mau menjalani disiplin agama. Padahal dalam Islam, jalan menuju kebahagiaan adalah proses panjang yang mencakup doa, ibadah, amal shalih, dan kerja keras. Dengan kata lain, Islam tidak menawarkan keajaiban instan, tapi menekankan perjuangan yang konsisten.

Tulisan ini bukan untuk menyalahkan individu yang mencari harapan, melainkan untuk membongkar sistem yang memanfaatkan kerinduan manusia akan kepastian. Spiritualitas yang dijual tanpa akidah, tanpa syariat, dan tanpa tanggung jawab adalah bentuk penyesatan yang halus. Kita tidak sedang melawan harapan, tapi sedang melawan ilusi yang dijual sebagai jalan pulang.

Muhammadiyah sejak awal berdiri telah menegaskan pentingnya tauhid, akal sehat, dan amal nyata. Spiritualitas harus berpijak pada iman, ilmu, dan amal, bukan pada jargon kosong atau afirmasi yang lepas dari realitas. Maka sudah sepatutnya kita membangun daya tahan umat terhadap narasi spiritual yang menyentuh tapi menyesatkan.

Manifestasi tanpa syariat bukanlah bukti kekuatan batin, melainkan bukti bahwa manusia bisa diyakinkan untuk percaya pada sesuatu yang tak pernah sampai. Islam menawarkan lebih dari sekadar afirmasi: ia menawarkan doa, amal, ikhtiar, dan janji Allah yang pasti. Dan janji Allah selalu benar, tidak seperti janji semesta yang hanya gema dalam ruang kosong.

Tulisan ini bertujuan untuk mengajak umat Islam kembali kepada prinsip tauhid, syariat, dan spiritualitas yang jujur. Kritik terhadap narasi manifestasi disampaikan dalam semangat edukasi, bukan permusuhan. Penulis tidak menyebut nama pribadi atau kelompok tertentu, dan hanya membedah sistem narasi yang berpotensi menyesatkan akidah. Semoga tulisan ini menjadi bagian dari dakwah yang santun dan mencerahkan.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

HEBATNYA PEREMPUAN: Menguatkan Peran di Rumah dan Organisasi Oleh: Bahren Nurdin Dalam lintasan se....

Suara Muhammadiyah

24 November 2023

Wawasan

Musim Pilkada, Musim Menabur Uang? Oleh: Immawan Wahyudi, Immawan Wahyudi Dosen Fakultas Hukum....

Suara Muhammadiyah

13 October 2024

Wawasan

Libur Jumat atau Ahad? Menimbang Identitas dan Maslahat Pendidikan Muhammadiyah Oleh: Rusydi Umar, ....

Suara Muhammadiyah

29 August 2025

Wawasan

Program Makan Bergizi Gratis: Dalam Sudut Pandang Pengalaman PMT Lokal Oleh: Drg. Rika Puspita, M.K....

Suara Muhammadiyah

17 February 2025

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas   Sekitar 1400 tahun sila....

Suara Muhammadiyah

16 September 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah