Melampaui Daging dan Tulang: Mengapa Kita Lebih dari Sekadar Materi

Publish

7 November 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
51
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Melampaui Daging dan Tulang: Mengapa Kita Lebih dari Sekadar Materi

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Kita perlu menjawab salah satu pertanyaan paling fundamental tentang keberadaan kita: Apakah esensi kita hanyalah gumpalan materi? Memang, kita adalah daging, tulang, dan struktur fisik yang padat. Namun, benarkah kita ini hanya sebatas wadah raga? Pertanyaan ini membuka gerbang menuju misteri yang lebih besar: Saat tubuh ini berpulang, apakah kita benar-benar lenyap? Atau adakah percikan spiritual di dalam diri yang akan terus menyala setelah kematian fisik?

Untuk menjawabnya, mari kita telusuri argumen-argumen kuat yang menunjukkan bahwa jati diri manusia jauh lebih besar dari sekadar susunan material. Pikirkan tentang kemampuan kita untuk berimajinasi, atau menciptakan citra mental. Coba bayangkan seekor gajah merah muda. Gajah ini tidak nyata secara fisik, tetapi pikiran Anda dengan mudah menciptakannya. Anda bahkan bisa memejamkan mata dan melihatnya jelas di "mata batin" Anda. Menariknya, jika Anda membedah otak Anda (yang hanya terdiri dari materi abu-abu), Anda tidak akan menemukan zat fisik berwarna merah muda di sana.

Lalu, di mana gajah merah muda itu berada? Ia ada di suatu tempat di dalam diri dan pikiran Anda, namun jelas tidak di dalam otak secara harfiah. Pengamatan ini sangat mencolok: kita memiliki pengalaman sensorik batin yang tidak mudah hanya diatribusikan pada fungsi otak semata. Meskipun ada yang berpendapat ini hanyalah hasil fungsi sistem neurologis, argumen ini menunjukkan bahwa ada aspek kognitif yang melampaui materi.

Perhatikan argumen kedua: kita adalah makhluk yang terus berubah secara fisik. Setiap hari sel-sel dalam tubuh kita berganti. Saking cepatnya pergantian itu, hampir seluruh sel tubuh kita telah diperbarui setelah tujuh tahun—hanya menyisakan sedikit sel di mata atau otak yang tidak berubah.

Namun, di tengah pergantian sel yang masif itu, kita tetap memiliki rasa kesinambungan diri yang tak terputus. Kita merasa: "Inilah saya. Saya adalah orang yang sama sejak masa kanak-kanak hingga hari tua." Bagaimana mungkin rasa identitas ini tetap utuh, padahal tubuh fisik kita terus berganti? Jelas, rasa identitas itu harus terhubung dengan sesuatu yang non-fisik di dalam diri kita. Dalam banyak tradisi keagamaan, aspek non-fisik yang kekal inilah yang kita sebut jiwa atau roh.

Mari kita masuk ke argumen ketiga: pertanggungjawaban moral. Mengapa kita merasa memiliki kewajiban moral atas setiap perbuatan kita? Jika kita hanyalah makhluk yang sepenuhnya material—sekumpulan atom dan proses kimia—tanpa dimensi spiritual, maka moralitas hanyalah ilusi. Tindakan, perkataan, dan pikiran kita bisa dianggap hanya sebagai hasil dari tiga faktor buta: pengalaman masa kecil, susunan genetik, atau kimia otak. Kita hanyalah produk akhir dari proses evolusi yang tidak peduli.

Namun, kita tidak hidup seperti itu. Kita menghakimi, kita menghargai, dan yang paling penting, kita meminta pertanggungjawaban. Kita memandang diri sendiri dan orang lain sebagai individu yang bertanggung jawab.

Pertanggungjawaban ini jelas tidak terletak pada sel-sel otak kita. Anda tidak bisa memukul kepala seseorang dan menuntut agar materi abu-abu di dalamnya menjadi bermoral. Sebaliknya, kita mengarahkan pertanggungjawaban itu kepada individu di balik raga—sebuah 'diri' yang melampaui fisik. Siapa individu ini? Dia bukan tubuh, bukan sekadar otak, melainkan esensi diri yang kita sebut jiwa atau roh dalam kosa kata keagamaan. Dialah subjek yang bertanggung jawab penuh.

Semua bukti ini—mulai dari gajah merah muda di pikiran, kesinambungan identitas, hingga rasa moralitas yang mengikat—berkumpul untuk menunjukkan kesimpulan yang sama: manusia adalah lebih dari sekadar materi. Para filsuf pun telah mendalami masalah ini. Salah satunya adalah Keith Ward, filsuf Inggris, yang menyajikan argumen serupa dalam bukunya, More Than Matter (2011). Meskipun perdebatan tentang keberadaan jiwa berlangsung sengit di kalangan akademisi, argumen yang mendukung keberadaan jiwa (soul) tampaknya memiliki bobot yang lebih kuat.

Selanjutnya, kita menemukan dukungan luas dari perspektif agama. Secara universal, agama-agama mengakui adanya jiwa atau roh sebagai inti dari keberadaan manusia. Pengakuan ini dipercaya berasal dari wahyu Ilahi. Sebagai Pencipta kita, Tuhan telah mengungkapkan konstitusi sejati kita kepada manusia sepanjang sejarah, melintasi berbagai budaya dan peradaban. Pesan utamanya sama: kita bukan sekadar jasad; kita memiliki wujud spiritual atau makhluk spiritual yang merupakan diri kita yang hakiki, yang melampaui batas-batas tubuh fisik.

Dukungan kuat lainnya datang dari fenomena Pengalaman Mendekati Kematian (NDE). Di berbagai budaya dan belahan dunia, ribuan orang melaporkan pengalaman mencengangkan saat mereka berada di ambang kematian: perasaan bahwa diri mereka terlepas dari tubuh fisik. "Mereka" yang terpisah dari raga itu—yang mengapung di atas meja operasi, menyaksikan para dokter bekerja di bawah sana—jelas adalah eksistensi spiritual, bukan jasad. Pengalaman "keluar dari tubuh" ini seringkali membawa seseorang melintasi dimensi spiritual, hanya untuk kemudian ditarik kembali ke kehidupan untuk menceritakan kisah mereka.

Meskipun kesaksian pribadi semacam ini sering dicurigai atau dianggap halusinasi, seluruh dunia sempat dikejutkan oleh pengakuan seorang ahli bedah saraf terkemuka, Eben Alexander. Setelah mengalami koma parah, Dr. Alexander menulis buku tentang perjalanannya ke dimensi spiritual, di mana ia merasa diselimuti oleh cinta tanpa syarat. Ia kemudian kembali hidup, menceritakan pengalamannya, dan menjadi bukti yang sulit disangkal karena latar belakangnya sebagai ilmuwan.

Pengalaman-pengalaman seperti NDE ini menawarkan sekilas pandang yang kuat, sebuah kilau harapan, bahwa ada kehidupan yang melampaui batas-batas fisik dunia ini. Secara keseluruhan, kumpulan argumen ini—mulai dari kekuatan imajinasi, kesinambungan identitas pribadi, pertanggungjawaban moral, hingga kesaksian spiritual dari ambang kematian—dengan jelas menunjukkan bahwa manusia adalah entitas yang jauh lebih kompleks dan berharga daripada sekadar sekumpulan materi fisik.

Hal ini menegaskan kembali ajaran agama: kita memiliki jiwa atau roh. Pengetahuan mendalam ini mengubah segalanya. Menyadari bahwa kita memiliki dimensi spiritual memberikan kita rasa tujuan dan arah hidup yang jelas. Kita tidak lagi hanya berkutat pada materi yang fana, melainkan terhubung pada esensi yang kekal.

Bayangkan sejenak: jika kita hanya sekadar materi, secara fundamental kita tidak akan berarti. Sebagai kumpulan atom, nilai kita tidak akan lebih tinggi dari makhluk hidup mana pun. Faktanya, dalam pertarungan bertahan hidup, mungkin semut jauh lebih 'sukses' dari manusia, mengingat populasi mereka yang jauh lebih banyak!

Jika kita hanya materi, kita tidak lebih layak dilepaskan dari sangkar daripada satwa di kebun binatang—meskipun secara naluriah, kita semua menolak keras gagasan untuk mengurung manusia. Mengapa muncul perbedaan perlakuan ini? Alasannya adalah kita mengenali bahwa manusia secara kualitatif berbeda. Perbedaan ini bukan sekadar masalah tingkat kecerdasan atau kompleksitas genetik (kita berbagi persentase gen yang tinggi dengan primata).

Yang memisahkan kita adalah aspek spiritual kita. Melalui jiwa atau roh inilah, kita mencapai ketinggian eksistensial yang membuat kita unik. Inilah mengapa kita menolak mengurung manusia layaknya hewan; kita mengakui adanya esensi yang melampaui fisik. Kesadaran bahwa kita adalah jiwa dan roh membawa kita pada kesimpulan akhir: kita memiliki kesamaan mendasar dengan Sang Pencipta. Dalam konsep teologis (seperti Wujud Roh dalam Kristen atau Pencipta segala roh dalam Islam), Tuhan dipahami sebagai entitas yang bukan materi.

Saat kita memandang diri sebagai roh yang bukan materi, kita merasakan sebuah hubungan. Kita memiliki aspek di dalam diri yang berpotensi untuk bersatu dengan Tuhan dalam kehidupan akhirat, setelah tubuh fisik kita binasa.

Inilah warisan terbesar pengetahuan tentang jiwa: kita bukan makhluk yang hidup, mati, dan membusuk begitu saja seperti hewan. Kita menyadari bahwa ada sesuatu dari diri kita yang akan bertahan, memberikan makna abadi dan arah yang jelas bagi setiap langkah yang kita ambil di dunia ini. Memahami diri kita sebagai jiwa memberi kita harta yang tak ternilai: tujuan dan arah yang jelas dalam hidup. Kita menyadari bahwa takdir kita jauh berbeda dari hewan, yang hanya hidup, mati, dan membusuk; sesuatu yang abadi dalam diri kita akan bertahan.

Dari lensa sains dan materialisme, kematian otak berarti kematian total kesadaran. Mereka berpendapat, "Pikiran terikat pada otak, dan ketika otak padam, pikiran pun lenyap." Namun, sudut pandang agama menawarkan visi yang jauh lebih indah dan membebaskan. Ia mengajarkan bahwa setelah otak berhenti berfungsi, kesadaran manusia—yang selama ini memang terhubung erat dengan raga—akan terbebas, bagaikan burung yang dilepaskan dari sangkarnya! Pribadi sejati ini, yang kita sebut jiwa atau roh, kini bebas bergerak, jauh dari batasan fisik. Walaupun pikiran awalnya terstruktur oleh otak, Tuhan, sebagai Sang Maha Kuasa, mampu melepaskan dan menganugerahkan keberadaan yang mandiri dan abadi bagi roh itu.

Jadi, apakah kita lebih dari sekadar materi? Jawabannya lantang: Tentu saja! Meskipun perdebatan dualisme ini selalu ada, bobot argumen yang membuktikan bahwa kita adalah jiwa dan roh jauh lebih unggul daripada argumen yang menentangnya.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Nabi Musa Ingin Melihat Allah  Oleh: Mohammad Fakhrudin, Warga Muhammadiyah Magelang Sala....

Suara Muhammadiyah

27 May 2025

Wawasan

Shalat ID Terakhir Metode Hisab Wujudul Hilal: Catatan Salat Id di Lapangan pada Tiga Lokasi Oleh: ....

Suara Muhammadiyah

8 April 2025

Wawasan

Kesetaraan Rasul dalam Al-Qur`an Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andala....

Suara Muhammadiyah

16 August 2024

Wawasan

Immawati IMM Makassar: Menyongsong Kepemimpinan Baru di Panggung Musycab Oleh: Nur Islamia Sam, Kad....

Suara Muhammadiyah

30 September 2025

Wawasan

Menemukan Dakwah di Antara Deru Mesin Oleh: Iwan Khoiruddin, Warga Muhammadiyah yang tinggal di wil....

Suara Muhammadiyah

20 October 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah