Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Ayat-ayat Al-Qur'an senantiasa mengundang kita untuk merenung dan mendalami maknanya. Namun, tak jarang pula, pemahaman kita terhadapnya justru mengarah pada kesalahpahaman. Salah satu contoh menarik adalah Surah Al-A'raf (7) ayat 163. Ayat ini mengabadikan kisah Bani Israil yang melanggar ketentuan hari Sabat:
"Dan tanyakanlah kepada mereka tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan hari Sabat; di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air pada hari Sabat, dan pada hari-hari yang bukan Sabat, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik."
Dari narasi singkat ini, tampak jelas bahwa Bani Israil diuji dengan kemunculan ikan yang melimpah hanya pada hari Sabat, mendorong mereka untuk melanggar larangan bekerja di hari suci tersebut. Kisah ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan cerminan dari tantangan kepatuhan dan godaan yang relevan hingga kini.
Dari ayat ini saja, kita memahami bahwa Bani Israil melanggar hari Sabat. Ayat-ayat selanjutnya mengindikasikan adanya kelompok yang memperingatkan mereka, kelompok yang lain bertanya mengapa peringatan itu diberikan, dan pada akhirnya, Tuhan menghukum para pelanggar sementara menyelamatkan mereka yang menyampaikan pesan kebenaran. Inti masalahnya adalah pelanggaran Sabat, yang secara sederhana dapat diartikan mereka melakukan pekerjaan, seperti menangkap ikan, pada hari yang seharusnya dikhususkan untuk beribadah.
Para penafsir klasik Al-Qur'an memiliki cerita-cerita yang rumit tentang bagaimana Bani Israil melanggar Sabat. Mereka berpendapat bahwa pelanggaran itu tidak dilakukan secara langsung, melainkan melalui "hila" atau trik. Salah satu cerita populer menyebutkan bahwa mereka memasang perangkap ikan pada hari Jumat (sebelum Sabat dimulai) dan membersihkannya pada Minggu (setelah Sabat berakhir). Secara teknis, mereka tidak menangkap ikan selama Sabat. Kisah ini sering digunakan dalam ceramah Jumat untuk memperingatkan umat Muslim agar tidak "bermain-main" dengan hukum Tuhan, menuntut kepatuhan literal.
Namun, apakah benar demikian? Sebenarnya, prinsip Islam secara luas menerima bahwa ketaatan terhadap hukum Tuhan haruslah dalam huruf dan semangatnya. Kita harus memahami esensi di balik hukum. Jika mengikuti makna literal justru menimbulkan kesulitan, maka setidaknya jangan melanggar huruf hukumnya.
Dalam konteks Bani Israil, mereka diuji: ikan-ikan tidak muncul pada hari biasa, tetapi melimpah ruah pada hari Sabat, seolah-olah menggoda mereka. Cerita tentang memasang perangkap sebelum dan membersihkannya setelah Sabat sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan beberapa praktik dalam hukum Islam, khususnya mazhab Hanafi, yang dikenal mencari solusi agar umat dapat mengikuti hukum tanpa kesulitan ekstrem. Tentu, ada batasnya sejauh mana "mengelak" hukum bisa diterima, dan ekstremisme harus selalu dihindari.
Penting untuk diingat bahwa hukum Tuhan tidak dimaksudkan untuk mempersulit hidup manusia. Sebaliknya, tujuannya adalah melindungi kita dari bahaya dan mencapai maqasid (tujuan) tertentu seperti menjaga kehidupan, kekayaan, keturunan, dan agama. Al-Qur'an sendiri menyatakan, "Kami tidak menurunkan Al-Qur'an kepadamu agar kamu sengsara," (Surah Taha 20:2), dan "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (Surah Al-Baqarah 2:185).
Jika sebuah hukum terasa sulit dan menimbulkan kesulitan nyata, para ulama Muslim dapat mengevaluasi ulang situasi tersebut. Mungkin semangat hukum itu perlu disesuaikan agar selaras dengan tujuan kemudahan bagi manusia. Dengan demikian, penafsiran ulang kisah pelanggaran Sabat menjadi penting. Cerita "hila" mungkin tidak sepenuhnya menggambarkan esensi ayat tersebut; justru bisa menciptakan kesulitan bagi umat Muslim yang terlalu terpaku pada kepatuhan literal.
Meskipun sebagian besar hukum dalam Al-Qur'an harus diikuti secara literal untuk menangkap semangatnya, ada kalanya semangat hukum lebih penting daripada hurufnya. Membedakan keduanya membutuhkan pemikiran yang cermat. Oleh karena itu, khotbah yang terlalu menekankan untuk tidak "memasang perangkap ikan" sebelum Sabat atau sejenisnya, mungkin merupakan pelajaran yang kurang tepat.
Lantas, bagaimana ayat 7:163 seharusnya ditafsirkan? Ayat ini sangat jelas: ia mengatakan bahwa "mereka melanggar hari Sabat." Jadi, asumsi paling sederhana adalah mereka menangkap ikan pada hari Sabtu, padahal seharusnya tidak melakukan pekerjaan.
Dari mana kisah tentang "hila" ini berasal? Ini mungkin terkait dengan prinsip hukum Islam yang dikenal sebagai sadd al-dhari'ah, yang berarti "menghalangi jalan" menuju perbuatan haram. Jika sesuatu dianggap haram, ulama mungkin memutuskan bahwa hal-hal lain yang dapat mengarah pada perbuatan haram itu juga tidak sah. Ini seperti argumen "lereng licin" (slippery slope).
Prinsip ini sebenarnya baik: jika melakukan A, B, C akan menyebabkan D (misalnya, perzinahan), maka hentikan diri Anda di A, atau setidaknya di B, atau C. Namun, penerapannya harus hati-hati. Jika A itu sendiri langsung dianggap haram, itu bisa berarti kita terlalu jauh. Ada tingkatan, dan semakin dekat dengan yang haram, semakin tinggi zona bahaya.
Untuk menerapkan prinsip seperti sadd al-dhari'ah, kita membutuhkan dukungan dari Al-Qur'an dan Hadis. Jika dukungan tidak ditemukan, terkadang orang mungkin mengimajinasikan cerita. Jadi, bukan berarti cerita itu sengaja dibuat-buat, melainkan mungkin dibayangkan dari pengamatan terhadap praktik beberapa penganut kitab suci terdahulu.
Contohnya, di zaman modern, ada kompor yang bisa dinyalakan otomatis sebelum Sabat dan mati sendiri, atau tisu toilet yang sudah dirobek sebelumnya agar tidak perlu merobeknya pada hari Sabat. Kemungkinan besar, kisah-kisah semacam inilah yang memicu imajinasi dan membentuk narasi "hila" di kalangan Muslim. Tuhan Maha Mengetahui yang terbaik. Yang jelas, pemahaman kita tentang ayat-ayat Al-Qur'an harus senantiasa berkembang, melampaui interpretasi kaku dan memahami semangat di balik setiap hukum ilahi.