Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Bagaimana seharusnya kita mensyukuri nikmat kesehatan yang Allah anugerahkan, dan bagaimana pula kita menyikapi saat diuji dengan sakit? Bagaimana kita memahami peran Allah dalam hidup kita? Apakah Dia sedang menghukum atau murka kepada kita? Bagaimana seharusnya kita berdoa dan berinteraksi dengan-Nya?
Di saat sehat, kita seringkali larut dalam kebahagiaan dan kemudahan hidup, lupa untuk bersyukur atas nikmat yang kita terima. Namun, ujian sejati datang ketika kita dihadapkan pada penyakit dan penderitaan. Dalam situasi seperti ini, bagaimana seharusnya seorang Muslim bersikap? Islam mengajarkan kita untuk bersabar. Konsep sabar ini tertanam kuat dalam ajaran agama, seperti yang tercermin dalam ibadah puasa.
Kita belajar untuk menahan diri, menunggu waktu yang tepat, dan menerima bahwa ada hal-hal yang berada di luar kendali kita, karena semua itu adalah bagian dari rencana dan kehendak Allah.Sakit itu serupa dengan ujian puasa, di mana kita merindukan kesehatan yang prima, namun harus menerima kenyataan bahwa hidup juga diwarnai oleh kesedihan, duka, dan kehilangan, termasuk kehilangan kesehatan itu sendiri.
Al-Quran, dalam Surah Al-Baqarah ayat 155, dengan tegas menyatakan bahwa Allah akan menguji kita dengan berbagai cobaan, termasuk rasa takut, kelaparan, kehilangan harta benda, orang-orang terkasih, bahkan hasil panen. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mengapa Allah memberikan ujian seberat itu kepada kita? Mengapa seseorang yang baik dan taat harus menderita kanker atau penyakit parah lainnya? Apa tujuan di balik semua ujian ini?
Dalam pandangan Islam, kehidupan dunia ini adalah sebuah medan ujian. Namun, pertanyaan mendasar tetap ada: mengapa kita harus diuji? Mengapa Allah menciptakan dunia yang penuh dengan tantangan dan cobaan?
Bayangkan jika Tuhan menginginkan makhluk yang sungguh-sungguh mencintai-Nya atas dasar pilihan bebas mereka sendiri. Maka, memaksa mereka untuk mencintai-Nya bukanlah pilihan, karena cinta yang dipaksakan bukanlah cinta sejati.
Oleh karena itu, Allah memberikan kita kemampuan untuk memilih: mencintai-Nya atau berpaling dari-Nya. Kehidupan di dunia ini adalah panggung di mana kita diberikan kebebasan untuk menentukan jalan yang ingin kita tempuh.
Memang mudah untuk mencintai Tuhan dan bersyukur atas segala nikmat-Nya ketika kita sehat dan sejahtera. Namun, bagaimana ketika kita diuji dengan penyakit dan kehilangan? Akankah kita tetap bersyukur? Atau justru kita akan merasa putus asa dan mempertanyakan keadilan-Nya?
Dalam situasi sulit seperti itu, umat Islam diajarkan untuk tetap bersabar dan memohon kepada Allah agar diangkat segala kesulitan, kesedihan, dan penyakit yang mendera, serta digantikan dengan kesehatan, keberkahan, dan kebahagiaan. Menariknya, ada juga pandangan yang menyatakan bahwa penyakit bisa menjadi sebuah berkah. Pernahkah Anda mendengarnya?
Sebenarnya, ada beberapa cara bagaimana penyakit bisa dipandang sebagai berkah. Pertama, karena hidup ini adalah ujian, maka setiap penyakit yang kita hadapi adalah kesempatan untuk meningkatkan derajat kita di sisi Allah. Seperti halnya ujian di sekolah, jika kita berhasil melewatinya, kita akan naik ke tingkat yang lebih tinggi.
Kedua, penyakit itu sendiri bisa menjadi jalan penghapus dosa atau konsekuensi dari kesalahan yang pernah kita lakukan. Setiap perbuatan, baik atau buruk, pasti akan menuai balasannya. Jika kita berbuat dosa, maka hukumannya akan menanti, entah di dunia ini atau di akhirat kelak.
Umat Islam percaya bahwa jika konsekuensi negatif dari perbuatan buruk kita dialami di dunia ini, itu jauh lebih baik daripada menanggungnya di akhirat. Dengan kata lain, lebih baik kita "membayar" hukumannya sekarang. Dalam konteks ini, penyakit bisa dipandang sebagai bentuk "hukuman" yang menghapus dosa-dosa kita.
Namun, ada juga sudut pandang lain yang melihat penyakit sebagai berkah, terutama ketika menimpa orang-orang baik yang tampaknya tidak melakukan kesalahan apa pun untuk mendapatkannya, seperti penderita kanker yang Anda sebutkan tadi. Mengapa mereka, dan bukan orang lain?
Kesulitan yang dihadapi oleh seseorang yang baik dan taat, seperti penyakit, bisa jadi merupakan bagian dari hukum alam yang Tuhan ciptakan. Ini adalah cara manusia berkembang dan berevolusi, termasuk proses pewarisan genetik dan mutasi yang terkadang menghasilkan kelainan. Jadi, seseorang bisa saja menderita penyakit tertentu bukan karena Tuhan secara khusus menghendakinya, melainkan karena proses alami yang terjadi dalam tubuhnya.
Namun, di balik penderitaan tersebut, ada hikmah yang lebih besar. Bagi mereka yang tabah dan sabar menghadapi ujian penyakit, Allah telah menyiapkan ganjaran yang luar biasa di akhirat kelak. Mereka akan mendapatkan pahala atas penderitaan yang mereka alami di dunia, meskipun mereka tidak melakukan kesalahan apa pun.
Penyakit juga bisa menjadi pengingat akan kefanaan hidup dan keterbatasan manusia. Ketika sakit, kita memiliki lebih banyak waktu untuk merenung dan introspeksi diri. Hal ini bisa menjadi berkah tersendiri, karena di saat sehat dan sejahtera, kita seringkali terlena dan lupa akan Tuhan. Kita merasa kuat dan tak terkalahkan, sehingga kita terus mengejar urusan duniawi dan mengabaikan Sang Pencipta.
Namun, ketika dihadapkan pada penyakit, kita diingatkan kembali akan kelemahan kita dan betapa kita membutuhkan pertolongan-Nya. Namun, di tengah badai kehidupan, ketika bencana datang atau penyakit menyerang, kita tersadar dan kembali mengingat Tuhan. Meskipun terasa pahit, momen-momen sulit ini bisa menjadi titik balik spiritual yang positif.
Penyakit, dengan segala ketidaknyamanannya, dapat menjadi pemicu bagi kita untuk kembali ke jalan yang benar, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dan memperbaiki hubungan kita dengan-Nya. Bahkan, bisa jadi, penyakit itulah yang pada akhirnya membawa kita menuju kebahagiaan abadi di akhirat, karena kita telah bertobat dan kembali kepada-Nya.
Sekarang, mari kita beralih ke sisi lain dari koin kehidupan, yaitu saat kita berada dalam kondisi sehat walafiat.
Ketika segala sesuatunya berjalan lancar, kita seringkali terlena dan lupa akan Tuhan. Merasa kuat dan tak terkalahkan, kita mudah terjebak dalam kesibukan duniawi dan mengabaikan Sang Pencipta. Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap saat diberi nikmat kesehatan? Bagaimana seharusnya kita membangun hubungan yang baik dengan Tuhan di saat-saat penuh kebahagiaan ini?
Pertama dan utama, kita harus menyadari bahwa kesehatan yang baik adalah anugerah tak ternilai dari Tuhan, dan sudah sepatutnya kita panjatkan syukur atas karunia tersebut. Al-Quran bahkan menceritakan bagaimana Nabi Ibrahim AS mengungkapkan rasa syukurnya dengan berkata, "Dialah yang menyembuhkanku." Begitu pula Nabi Muhammad SAW, yang mengajarkan kita untuk bersyukur atas setiap anggota tubuh yang kita miliki, bahkan hingga 360 persendian.
Seringkali, kita lupa untuk menghargai nikmat-nikmat kecil yang sebenarnya sangat berharga, seperti udara yang kita hirup, hangatnya sinar matahari, seteguk air yang menyegarkan, bahkan kemampuan untuk buang air kecil secara alami, sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh mereka yang harus bergantung pada mesin dialisis.
Baru-baru ini, saya membaca kisah mengharukan tentang seorang ibu yang mendonorkan sebagian hatinya untuk menyelamatkan nyawa anaknya. Kisah ini menyadarkan kita bahwa banyak orang di luar sana yang berjuang melawan penyakit dan membutuhkan organ donor untuk bertahan hidup. Kita, yang dianugerahi kesehatan yang baik, seharusnya tidak pernah lupa untuk bersyukur kepada Tuhan atas segala nikmat yang kita miliki.