Membangun Perdamaian Lewat Pendidikan Islam: Dari Nilai ke Aksi Nyata
Oleh: Gigih Setianto, Dosen Pendidikan Agama Islam di Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan
Setiap 21 September, dunia memperingati Hari Perdamaian Internasional. Peringatan ini mengingatkan kita bahwa perdamaian bukanlah keadaan yang muncul dengan sendirinya, tetapi sesuatu yang harus diupayakan dan dijaga bersama. Dalam konteks Islam, perdamaian bukan hanya penting, ia adalah inti dari ajaran itu sendiri. Kata “Islam” berasal dari akar kata salaam, yang berarti damai. Maka, tidak ada Islam tanpa perdamaian. Namun, realita global dan lokal menunjukkan bahwa konflik masih merajalela, termasuk di negara-negara berpenduduk Muslim. Di sinilah pentingnya menempatkan pendidikan Islam sebagai kunci transformasi menuju perdamaian yang berkelanjutan.
Islam tidak hanya mengajarkan perdamaian sebagai nilai moral, tapi sebagai prinsip hidup. Nabi Muhammad SAW adalah contoh hidup dari prinsip tersebut. Dalam sejarahnya, beliau memilih berdamai ketika disakiti, menandatangani Piagam Madinah yang mengakui hak hidup komunitas non-Muslim, dan terus-menerus menyerukan sikap saling menghormati. Ini bukan sekadar narasi sejarah; ini adalah warisan yang seharusnya hidup dalam sistem pendidikan Islam hari ini. Sayangnya, banyak institusi pendidikan Islam masih berkutat pada hafalan teks dan ritual formal, sementara nilai-nilai universal seperti keadilan, toleransi, dan empati sering kali luput dari penekanan.
Jika kita jujur, pendidikan Islam hari ini menghadapi tantangan serius. Beberapa kurikulum terlalu menekankan aspek identitas dan perbedaan, membentuk dikotomi “kami” versus “mereka”, seolah dunia terbagi dua antara yang benar dan salah secara absolut. Padahal Al-Qur’an mengajarkan bahwa semua manusia berasal dari satu jiwa (QS. An-Nisa:1) dan dijadikan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal, bukan saling mencurigai (QS. Al-Hujurat:13). Dalam konteks ini, pendidikan Islam seharusnya menjadi alat pemersatu umat manusia, bukan sebaliknya.
Untuk mewujudkan hal itu, ada beberapa prinsip dalam pendidikan Islam yang harus dihidupkan kembali. Pertama adalah tauhid, yang bukan hanya konsep teologis, tapi juga fondasi etik. Dengan menyadari bahwa semua manusia tunduk kepada Tuhan yang Esa, maka hilanglah alasan untuk saling merasa lebih tinggi atau lebih suci. Kedua, keadilan sebagai landasan perdamaian. Dalam QS. Al-Ma’idah:8, Allah memerintahkan kita berlaku adil, bahkan kepada orang yang tidak kita sukai, karena keadilan lebih dekat kepada takwa. Ketiga, ilmu sebagai jalan damai. Ulama besar seperti Imam Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun mengajarkan bahwa ilmu harus memberi manfaat sosial dan memperkuat harmoni, bukan memicu konflik. Keempat, dialog, yang menjadi bagian penting dalam dakwah Nabi. Pendidikan Islam yang sehat mendorong murid untuk berpikir kritis dan berdiskusi terbuka, bukan menutup diri atau mengkafirkan perbedaan.
Namun, prinsip saja tidak cukup. Pendidikan Islam juga harus membangun lingkungan belajar yang mencerminkan perdamaian. Guru tidak hanya sebagai pengajar, tapi juga teladan akhlak. Masjid dan ruang kelas di sekolah Islam seharusnya menjadi tempat yang aman, inklusif, dan ramah terhadap keberagaman. Kekerasan simbolik seperti ejekan terhadap kelompok lain, intoleransi terhadap siswa yang berbeda pendapat, atau budaya senioritas yang menindas harus dihapus total dari sistem.
Tak kalah penting, pendidikan Islam juga harus merespons tantangan zaman. Hoaks, ujaran kebencian, ekstremisme digital, dan polarisasi politik adalah medan baru yang memengaruhi cara generasi muda memahami dunia. Pendidikan Islam perlu menjawab isu-isu ini secara kontekstual, dengan bahasa yang segar, argumentasi yang ilmiah, dan pendekatan yang memadukan tradisi dan modernitas. Di sinilah pentingnya kolaborasi antara pesantren, madrasah, sekolah dan lembaga pendidikan tinggi Islam dengan komunitas lintas agama dan institusi global.
Memperingati Hari Perdamaian Internasional dari perspektif Islam bukan berarti sekadar mengikuti agenda internasional, melainkan menegaskan kembali misi Islam itu sendiri: membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin). Ini bukan hanya tugas guru agama atau ulama, tapi tanggung jawab semua elemen pendidikan, dari pembuat kebijakan, pengelola sekolah, orang tua, hingga para peserta didik.
Perdamaian adalah proses panjang yang tidak bisa dicapai dengan satu acara atau satu modul pelajaran. Ia harus menjadi budaya yang terus diinternalisasi dan dihidupkan dalam tindakan sehari-hari. Seperti ibadah sholat yang dilakukan lima kali sehari, perdamaian juga harus terus-menerus dirawat. Dan pendidikan Islam, jika dijalankan dengan nilai dan visi yang tepat, adalah sarana paling ampuh untuk menciptakan dunia yang lebih adil, lebih tenang, dan lebih bermartabat.