Membantah Argumentasi Iblis: Belajar dari kisah Nabi Adam
Oleh: Miqdam Awwali Hashri, M.Si, Anggota Lembaga Dakwah Komunitas PP Muhammadiyah
Jika kita mencoba mentadaburi Alquran surat Al – A’raaf ayat 11 s.d 27, maka kita dapat mengambil hikmah dari kisah dikeluarkannya Nabi Adam dan Iblis dari Jannah. Nabi Adam dan Iblis sama-sama dikeluarkan dari Jannah, namun dari keduanya terdapat perbedaan yang sangat mencolok terutama dari masing-masing karakter. Dari situ kita akan tahu bagaimana sesungguhnya sifat dasar dari manusia dan bagaimana pula sifat dasar dari iblis. Dari kisah tersebut, mari kita renungkan bersama.
Iblis memiliki karakter sombong, durhaka, dan pendendam. Iblis membangkang ketika Allah memerintahkan agar ia bersujud kepada Nabi Adam. Sebelumnya, Allah swt dengan bijak menanyakan terlebih dahulu apa yang menyebabkan ia tidak mau sujud kepada Adam. Namun dengan sombongnya Iblis mengatakan bahwa dia lebih baik daripada Adam. Padahal Iblis tidak mempunyai bukti ketika ia merasa lebih baik daripada Adam. Iblis hanya berdalih bahwa dia diciptakan dari api sedangkan Adam diciptakan dari tanah. Lalu benarkah api lebih baik daripada tanah?
Faktanya bahwa api memang dapat memberikan manfaat, itupun dengan catatan jika api tersebut dapat dikontrol, misalnya untuk memasak atau untuk memanaskan pemanas ruangan. Jika api tidak terkontrol justru dapat menimbulkan malapetaka seperti kebakaran.
Sedangkan tanah, merupakan tempat seluruh makhlus berpijak. Tempat makhluk mencari rizki. Tempat makhluk untuk memenuhi segala kebutuhan. Tanah mengandung unsur-unsur hara maupun mineral-mineral yang dibutuhkan oleh makhluk hidup, sehingga siklus kehidupan terus dapat berjalan. Tanah, didalamnya menyimpan banyak kekayaan. Mulai dari air tanah yang murni, minyak & gas bumi, dan emas, maupun kekayaan mineral lainnya. Bahkan secara ekonomi, harga tanah semakin meningkat setiap waktunya. Hampir seluruhnya apa yang ada dimuka bumi ini bergantung pada tanah. Berbeda dengan api yang mana dia bergantung dari bahan bakar, sedangkan bahan bakar yang digunakan oleh api berasal dari apa yang ada di bawah maupun di atas tanah. Dari semua hal tersebut, sudah sepantasnya kah perkataan Iblis yang mengatakan bahwa dia yang tercipta dari api lebih baik dari pada Adam yang tecipta dari tanah?
Akibat dari kesombongan dan kedurhakaannya itu, Iblis divonis sesat oleh Allah swt. Vonis tersebut bukannya membuat dia menyadari kesalahannya namun justru memicu dendam kesumat kepada anak cucu Adam hingga bersumpah untuk menyesatkan mereka. Iblis bersalah atas perbuatan dia sendiri, namun justru hendak mencari teman untuk dapat dipersalahkan, agar mengikuti jejak yang dilakukannya. Itulah sifat Iblis, ingin menyebarkan virus kedurhakaan, mencari teman agar ikut berbuat salah. Selain dendam kesumat kepada anak cucu Adam, Iblis juga banyak maunya. Dia ingin ditangguhkan hingga hari kiamat.
Lalu bagaimana dengan Adam? Nabi Adam juga pernah melakukan kesalahan. Kesalahan yang dilakukan oleh Nabi Adam dan istrinya, sebenarnya adalah karena pengaruh bisikan syaitan yang membujuknya agar mendekati pohon terlarang. Syaitan menjanjikan janji palsu bahkan menyatakan diri bahwa dia adalah seorang pemberi nasihat. Begitu halus rayuan syaitan sehingga Nabi Adam dan istrinya terperdaya. Itulah bujuk rayu syaitan yang menyebabkan Nabi Adam dan istrinya tergelincir dalam kesalahan.
Namun demikian, Nabi Adam menerima konsekuensi atas apa yang telah diperbuatnya dengan sabar. Nabi Adam bertaubat kepada Allah swt. Ia tidak mengadu atau mengeluh kepada Allah atas godaan syaitan. Meskipun Allah swt juga mengetahui bahwa kesalahan Nabi Adam tersebut adalah akibat provokasi syaitan, namun Nabi Adam tidak mencari kambing hitam atau bahkan dendam sepertinya halnya Iblis yang dendam kepada anak cucu Adam. Allah swt telah memberikan peringatan kepada anak cucu Adam tentang bujukan syaitan yang dapat menyesatkan mereka, agar kisah nenek moyang manusia dapat menjadi hikmah dan pelajaran bagi manusia setelahnya.
Itulah yang membedakan antara Iblis dengan Adam. Iblis dendam kepada anak cucu Adam atas kesalahannya dia sendiri. Namun Nabi Adam tidak dendam kepada siapapun meskipun dia telah digoda sehingga berbuat salah.
Maka mari kita bercermin kepada diri kita, sebenarnya sifat manakah yang kita ikuti? Sifat Iblis ataukah sifat Nabi Adam? Pastinya, sifat murni manusia adalah sifat yang dimiliki oleh Nabi Adam. Jika ada manusia yang memiliki sifat pembangkang, pendendam, mencari kambing hitam, tidak mau mengakui kesalahan dan banyak alasan, maka sesungguhnya itu bukan sifat asli manusia melainkan sifat Iblis. Sifat-sifat demikian hendaknya segera dipadamkan sebelum terlambat sehingga dapat membakar seluruh sifat manusia yang murni.
Meskipun demikian, Iblis masih mengakui kebesaran dan kemuliaan Allah swt sehingga tidak dapat menggoda anak cucu Adam yang Mukhlis. Namun kita dapat menjumpai manusia-manusia yang lebih sombong dan angkuh dibandingkan dengan Iblis, yaitu mereka yang tidak mengakui kebesaran Allah swt dan berlaku congkak dimuka bumi ini. Manusia-manusia yang berlaku semenang-menang menindas sesamanya, kufur akan nikmat yang telah diberikan oleh Allah, mendustakan ayat-ayat Allah, dan enggan bertaubat. Manusia yang demikian tentunya jauh lebih sesat dan hina dibandingkan dengan Iblis.
Allah memerintahkan malaikat dan iblis untuk sujud kepada Adam dimaknai sebagai bentuk penghormatan atas ciptaan Allah. Sujudnya malaikat kepada Adam, sebagai simbol manusia, adalah berdasarkan perintah Allah. Jika Allah saja memerintahkan malaikat untuk hormat kepada manusia, maka sudah tentu sesama manusia harus saling menghormati.
Namun, manusia perlu memahami bahwa dengan sujudnya malaikat kepada Adam tidak bisa dimaknai bahwa manusia sebagai penguasa. Penguasa tetaplah Allah swt. Ini menandakan bahwa manusia harus menjaga kehormatan tersebut melalui panduan yang telah diberikan oleh Allah. Maka, tidak layak manusia sujud kepada sesamanya karena Allah memerintahkan agar manusia hanya sujud kepada Allah.
Dengan demikian, konteks saling menghormati sesama manusia tidak dapat disamakan dengan konteks menyembah kepada Allah swt. Maka sudah pasti kufur jika ada manusia yang sujud/mengkultuskan/menyembah/mendewakan sesama manusia, apalagi makhluk lain termasuk bebatuan.
Setiap seniman yang membuat karya seni, selalu meninggalkan jejaknya, apakah dalam bentuk simbol tertentu sebagai tanda bahwa karya tersebut adalah otentik. Demikian halnya dengan Allah, yang meninggalkan jejak ke-Maha Kuasaan-Nya kepada diri manusia, melalui sifat rahman dan rahim. Jika sifat rahman dan rahim yang telah ditanamankan dalam diri manusia itu luntur bahkan hilang, maka keotentikannya juga akan sirna. Oleh karena itu, manusia harus menjaga sifat rahman dan rahim karena itu adalah bekal untuk menjaga kehormatan diri dan sesama manusia.
Sifat rahman dan rahim adalah modal utama manusia sebagai khalifah di muka bumi. tanpa kedua itu, bumi akan rusak. Tugas manusia adalah menjaga keseimbangan yang ada dibumi. Kedudukan sebagai khalifah harus dimaknai sebagai mandat, bukan sebagai bagian dari kesewenang-wenangan. Manusia tidak ada artinya tanpa sifat rahman dan rahim. Bagi siapa saja yang menjaga rahman dan rahim, maka alam pun akan hormat kepada manusia.
Setidaknya sda tiga hikmah yang dapat kita petik dari kisah diatas, terutama untuk menjadi pelajaran dibulan Ramadhan ini. Pertama, dibulan Ramadhan kita melatih diri untuk mengendalikan emosi. Emosi ibarat api, memberikan manfaat jika dikendalikan. Emosi tidak bisa dihilangkan, justru perlu dilampiaskan namun tentu dengan cara-cara yang dibenarkan. Emosi jika dibiarkan lepas dan liar, dapat berakibat kerusakan. Cara mengendalikan emosi adalah dengan terus mengolah nalar berpikir dan spiritualitas.
Kedua, dibulan Ramadhan kita perlu melatih diri untuk menghidupkan dan menguatkan sifat rahman dan rahim. Diantaranya contohnya adalah dengan bersedekah dan berzakat. Jadikan bulan Ramadhaan ini sebagai riyadhah atau latihan menempa spiritualitas dengan pengalaman-pengalaman ibadah dan menolong orang.
Ketiga, dibulan Ramadhan agar meningkatkan rasa saling menghormati. Baik rasa hormat kepada Allah swt, sesama manusia, dan makhluk lainnya. Ketika rasa saling menghormati sudah terbentuk maka akan muncul keharmonisan. jika keharmonisan ini terbentuk maka kewajiban kita adalah menjaganya.
Wallahua’lam