Menakar (Baik-Buruk) Pemimpin

Publish

2 January 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
465
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Menakar (Baik-Buruk) Pemimpin

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso, Tangerang Selatan

Dalam sebuah grup WhatsApp teman sekolah, ada seorang teman yang sangat gigih memperjuangkan kemenangan seorang calon presiden sejak 2014. Apapun narasi yang disampaikan oleh capres pilihannya, ia langsung sebarkan dengan tambahan komentar. Mungkin maksudnya sebagai penyedap agar lebih menarik. Sebaliknya, ia juga selalu menyebarkan komentar buruk seburuk-buruknya terhadap calon lain.

Saya mengira sebaran copasan yang tidak bermutu di grup pertemanan itu akan berhenti setelah Pilpres 2024 dan ada presiden terpilih. Ternyata tidak, kebiasaan itu tetap berlangsung meski terkesan agak kekurangan bahan untuk mengisi konten narasi sinisnya. Bedanya, sasaran kebenciannya telah bergeser; dari bapak ke anak, dari presiden ke wakil presiden. Konten yang disebarkannya tetap sama; tentang kepemimpinan yang buruk, gagal, rusak, melanggar aturan, nepotisme, korupsi, berkomplot dengan kaum oligark, dan mengabaikan orang miskin. Pesan-pesan provokatif itu disampaikan dengan penuh olok-olok yang sarat pesimisme.

Saya pernah bertanya kepada kawan di atas,

"Apakah Anda tidak capek dengan sikap benci yang sampai ke ubun-ubun itu?"

"Oh.... ini ikhtiar jihad melawan oligarki, ya akhi..." jawabnya dengan spontan penuh semangat.

Saya pun menghargai kemerdekaan sikapnya.

Cerita kedua adalah tentang seorang teman yang juga sangat kuat merawat sikap hidupnya. Ia berkesimpulan bahwa pemimpin yang paling baik, berhasil, pro-rakyat, anti-korupsi itu hanya Pak Jusuf Kalla. Dia selalu mengeja huruf "L" secara dobel dengan tekanan khusus sebagai ciri khas orang Sulawesi. Saya selalu terhibur setiap kali ia mengucapkan nama mantan Wakil Presiden dua kali itu. Saya pernah bertanya tentang parameter penilaiannya. Dia menjawab dengan jujur sekali. Saya sangat mengapresiasi kejujurannya.

"Saya berkepentingan langsung dengan kepemimpinan Pak Wakil Presiden. Ini menyangkut masa depan hidup saya, Bung," imbuhnya mantap penuh keyakinan.

Sikap Suka dan Tidak Suka

Saya mengabaikan substansi dalil yang dijadikan parameter penilaian dua orang teman saya di atas. Untuk teman yang pertama, awalnya saya menduga bahwa sikap bencinya bermula dari kekalahan calon presiden pilihannya pada saat kontestasi di tahun 2014. Ternyata tidak juga. Entah mengapa ia terus memelihara kebencian itu hingga subur selama 10 tahun ini. Ke depan, ia masih akan memeliharanya paling tidak 5 tahun lagi. Betapa melelahkan ya?

Rasa suka dan tidak suka kepada orang lain terkadang bisa hadir begitu saja tanpa diundang. Bahkan sulit mengetahui pasti akar musababnya. Saya sering mengalami hal serupa, tiba-tiba merasa tidak suka saja kepada seseorang. Jika ditanya, saya akan mencari-cari alasannya; bisa karena cara bicara seseorang, gaya senyum, sorotan mata, gestur tubuh, dan segala macam. Tidak harus selalu terkait dengan prinsip dan nilai yang berlaku universal. Jujur, saya mengakui bahwa sikap itu adalah pertanda penyakit hati yang harus dikendalikan agar tidak merugikan orang lain. Beruntung saya bukan orang yang punya "kekuasaan" yang harus melayani banyak orang secara adil. Jika penyakit itu dibiarkan, ia bisa menimbulkan ketidakadilan bagi orang lain.

Saya memaklumi sikap teman kedua yang mendasarkan sikapnya pada kepentingan nyata yang terkait langsung dengan dirinya. Dia memang memiliki jabatan khusus di kantor Wakil Kepresidenan. Sehingga wajar jika sikap fanatiknya muncul. Ia memang harus membenarkan semua perilaku dan kebijakan yang dikeluarkan oleh atasannya. Selama kepentingan yang bersangkutan masih terkait dengan kokoh, maka semua harus dibenarkan. Tolok ukurnya satu saja, yaitu "kepentingan" titik.

Selain berkaca pada kedua teman di atas, saya terkesan dengan cara ketiga yang disampaikan oleh Mas Sukir. Tentu dia bukan Slamet Sukirnanto, sastrawan Universitas Indonesia. Mas Sukir adalah warga Muhammadiyah Ranting Pondok Cabe Ilir yang ilmunya baru akan keluar saat ditanya. Selebihnya, ia akan mencatat dan menyimak saat ada acara pengajian. Menurutnya, menilai kualitas kepemimpinan seseorang itu harus didasarkan pada sikap objektif. Misalnya, membandingkan antara program pemimpin yang dulu pernah ia janjikan di awal. Pada masa akhir jabatan, kita bisa lihat, apakah janji itu terwujud atau tidak. Ukuran lainnya adalah dari sisi ketaatan pada aturan. Jika capaian itu diraih dengan cara melanggar hukum, berarti tetap cacat. Sederhana sekali pemikiran Mas Sukir.

Standar Penilaian

Sayang sekali, cara menilai baik-buruk seorang pemimpin ala Mas Sukir itu sulit ditemui di media sosial. Semua narasi baik-buruk yang muncul di media sosial akan keluar dari proses yang sarat rekayasa. Sebuah informasi yang ada sengaja diproduksi, dipoles, dikemas, lalu disebarkan secara massif dengan berbagai tambahan bumbu penyedap agar lebih menarik. Capaian kebaikan yang dihasilkan seolah harus mengabaikan semua kekeliruan yang seharusnya dikoreksi. Sebaliknya, sekecil apapun kekeliruan, seolah menghapus semua kebaikan yang pernah diwujudkan. Itulah watak penyajian informasi yang tersebar di media sosial saat ini. Semua tersaji, bisa didapatkan secara mudah dan murah.

Media mainstream yang memiliki standar pemberitaan baik dan terkontrol berdasarkan Undang-Undang tentang kebebasan pers telah kalah jauh, bahkan tertinggal. Pada media sosial, semua orang bisa menjadi pemasok berita tanpa ada filter yang menilai kualitas kebenaran informasinya. Kita sedang berada pada era sebaran informasi melalui media sosial yang tidak bisa dibendung arusnya. Negara sekalipun tidak mampu mengendalikan sepenuhnya. Benteng pertahanan dalam menyikapi banjirnya informasi di media sosial harus dibangun dari diri pembaca sendiri.

Ketika ada pernyataan bahwa pemimpin A adalah baik, hebat, dan berhasil dalam hal tertentu, saya tidak akan terburu-buru mempercayainya. Saya akan melihat pernyataan itu keluar dari siapa. Lalu akan mencari kontra-informasi yang keluar dari kelompok berbeda. Saya akan menyandingkan dan melihat kemasan "rekayasa" informasi mana yang paling apik dan rapi penyajiannya. Setelah itu barulah saya berani menyimpulkan. Standar penilaian itu berlaku juga untuk kemasan informasi yang sebaliknya.

Saya memilih untuk meragukan semua informasi yang tersaji di media sosial. Menganggap bahwa informasi apapun yang ada sarat dengan praktik rekayasa dengan banyak ramuan bumbu yang menyertainya. Jika kebetulan ada capaian baik dari sebuah rezim, maka ia akan terus diolah, dibumbui, diglorifikasi, disebarkan secara massif, hingga seolah menjadi paripurna. Begitu pula sebaliknya, kekeliruan yang lumrah dan pasti terjadi, juga akan diperlakukan dengan sama, sehingga menghapus semua kebaikan yang pernah ada.

Narasi yang diwakili oleh teman pertama dan kedua saya di atas sama sekali tidak mewakili sikap ideal seorang warga negara yang kritis terhadap kebijakan Negara. Sikap teman pertama hanya mewakili kebencian akut yang mengabaikan objektivitas dalam melihat suatu realitas keberhasilan. Sikap teman kedua pun demikian. Ia telah mempraktikkan sikap fanatik buta yang mengabaikan kekeliruan yang seharus dikritik untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama. Kepada Mas Sukir lah saya belajar menjadi warga negara yang lebih dewasa dan bijaksana.

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Gerakan IMM dalam Lintasan Peradaban (1) Oleh: Hilma Fanniar Rohman, Dosen Perbankan Syariah, Unive....

Suara Muhammadiyah

8 May 2024

Wawasan

Pendekatan Integratif Pemberantasan Judi Online Oleh: Dr. Edi Sugianto, M.Pd, Dosen AIK  UMJ d....

Suara Muhammadiyah

28 June 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan. Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Hari ini saya akan mengulas seb....

Suara Muhammadiyah

6 December 2024

Wawasan

MPI: Garda Terdepan Wujudkan Visi “Digital Organization” Muhammadiyah  Oleh: Labud....

Suara Muhammadiyah

27 November 2023

Wawasan

Oleh: Bahrus Surur-Iyunk Jika Anda orang Sumenep dan Pamekasan atau pernah jalan-jalan ke kota Sume....

Suara Muhammadiyah

18 February 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah