Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Mari kita bedah lebih dalam salah satu ayat Al-Qur'an yang seringkali disalahartikan, khususnya oleh sebagian kalangan Kristen. Ayat yang menjadi fokus kita kali ini adalah surah Al-Ma'idah [5], ayat 73, yang mengguncang dengan pernyataan tegas, "Sungguh telah kafirlah orang-orang yang mengatakan, 'Sesungguhnya Allah itu salah satu dari yang tiga,' padahal tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Maha Esa. Dan jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa azab yang pedih."
Dari ayat ini, saya menangkap kesan bahwa sebagian sahabat Kristen kita yang membacanya merasa bahwa ayat ini sedang menyasar keyakinan Trinitas mereka. Namun, mereka juga merasa ada ketidaktepatan dalam penggambaran keyakinan tersebut, bukan?
Benar sekali. Ini adalah keberatan yang sering kita dengar. Ayat tersebut secara eksplisit menyatakan, "Telah kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah adalah yang ketiga dari tiga." Di sinilah kemudian muncul respons dari pihak Kristen yang mungkin akan menyanggah, "Tapi yang ketiga dari tiga itu bukankah tetap satu? Ada satu oknum yang merupakan sepertiga dari tiga." Namun, pihak Kristen menegaskan, "Tidak, kami tidak mengatakan bahwa Bapa, Putra, atau Roh Kudus adalah sepertiga dari Allah. Kami percaya bahwa Bapa adalah Allah sepenuhnya, Putra adalah Allah sepenuhnya, dan Roh Kudus juga adalah Allah sepenuhnya."
Mendengar ini, kita mungkin bertanya, "Bukankah itu terdengar seperti tiga tuhan?" Dan respons mereka adalah, "Tidak, Anda salah paham. Masing-masing adalah pribadi yang berbeda, dan masing-masing adalah Allah sepenuhnya, namun tetap hanya ada satu Allah." Jujur, konsep ini masih terasa sulit untuk saya pahami sepenuhnya. Bahkan, beberapa sahabat kita dari Kristen pun mengakui bahwa mereka juga mengalami kesulitan yang sama dalam menjelaskannya.
Tentu saja, rekan-rekan Kristen yang saya ajak berdialog pun tak jarang mengakui bahwa konsep ini juga menantang pemahaman mereka. Namun, mereka umumnya berpegang pada keyakinan yang diwariskan secara turun-temurun. Bagi mereka, sumber ajaran ini bukanlah sekadar tradisi manusiawi yang bisa dengan mudah ditolak, melainkan wahyu ilahi yang tertuang dalam kitab suci. Mereka meyakini bahwa Alkitab, sebagai firman Tuhan, mengajarkan konsep ini.
Mereka mungkin menyampaikan pemahaman mereka dengan sudut pandang yang berbeda. Mereka percaya bahwa Yesus Kristus hadir di dunia dan memanifestasikan diri-Nya sebagai Allah. Melalui kehadiran dan ajaran-Nya, Yesus menuntun orang untuk menyadari keilahian-Nya. Dengan merangkai semua petunjuk dalam Alkitab, mereka menyimpulkan adanya Trinitas: Bapa adalah Allah, Putra adalah Allah, dan Roh Kudus pun jelas adalah Allah, sesuai dengan interpretasi mereka terhadap kitab suci.
Memang, beberapa ayat dalam Alkitab sekilas mendukung pandangan ini. Dari perspektif sederhana saya, terdapat banyak ayat yang seolah tidak membedakan antara Roh Allah dan Allah itu sendiri. Analogi sederhananya, kita dapat memahami roh kita sebagai bagian tak terpisahkan dari diri kita. Dengan cara serupa, dalam banyak bagian Alkitab, terutama Perjanjian Lama, "Roh Allah" dipandang sebagai cara lain untuk menyebut Allah itu sendiri.
Namun, dalam Perjanjian Baru, muncul sedikit perbedaan dan kurangnya kejelasan. Terkadang, istilah "Roh" tampaknya merujuk pada Roh Yesus, dan di lain waktu merujuk pada Roh Allah. Bagi pembaca awam, termasuk saya sendiri yang masih bergumul dengan beberapa referensi ini, hal ini bisa menimbulkan kebingungan.
Kendati demikian, inti dari keyakinan mereka yang teguh pada Trinitas adalah bahwa ajaran ini bersumber dari kitab suci, yang mereka yakini sebagai firman Allah. Oleh karena itu, bagi mereka, Alkitab mewajibkan kepercayaan pada Trinitas. Inilah kerangka pemikiran mereka. Mereka melihat bahwa di satu sisi, terdapat tiga pribadi yang masing-masing disebut Allah: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Namun, di sisi lain, kitab suci yang sama dengan tegas menyatakan bahwa hanya ada satu Allah.
Hal ini sejalan dengan apa yang Al-Qur'an sampaikan dalam Al Maidah ayat 73, "Tidak ada tuhan selain satu" (وَمَا مِنۡ اِلٰهٍ اِلَّاۤ اِلٰـهٌ وَّاحِدٌ). Senada dengan itu, dalam 1 Korintus pasal 8 ayat 4 tertulis, "Tidak ada tuhan selain Tuhan Yang Esa." Pernyataan ini sangat jelas, dan ini terdapat dalam Perjanjian Baru setelah kedatangan dan kepergian Yesus. Kita tentu akan mengharapkan bahwa jika terjadi perubahan dalam keyakinan, hal itu akan tercermin di bagian ini.
Namun, ayat tersebut dengan gamblang menyatakan bahwa hanya ada satu Allah. Tidak ada Allah kecuali satu, bahkan diungkapkan dengan negasi ganda, "tidak ada Allah, melainkan satu." Dua negasi yang mirip dengan kalimat syahadat dalam Islam, "Tidak ada tuhan selain Allah" (لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ) atau seperti dalam ayat ini, " Tidak ada tuhan selain Tuhan Yang Esa” (وَمَا مِنۡ اِلٰهٍ اِلَّاۤ اِلٰـهٌ وَّاحِدٌ).
Namun, kembali ke ayat Al-Qur'an yang kita bahas, saudara-saudara Kristen akan mengatakan bahwa ini adalah kesalahpahaman terhadap keyakinan mereka. Mereka tidak menyatakan bahwa Allah adalah sepertiga dari tiga. Mereka meyakini adanya tiga pribadi, yang masing-masing adalah Allah sepenuhnya, namun tetap hanya ada satu Allah. Mereka menjelaskan ini sebagai semacam "interpenetrasi" misterius antar pribadi. Bahkan, istilah "Perichoresis" digunakan oleh sebagian teolog untuk menggambarkan konsep ini, semacam "tarian" timbal balik di mana ketiganya saling menyatu dalam misteri.
Lantas, bagaimana Al-Qur'an menyikapi konsep Allah sebagai "salah satu dari yang tiga" ini? Di sinilah pandangan seorang sarjana bernama Sidney Griffith menjadi relevan. Dalam bukunya yang berjudul "The Bible in Arabic" dan berbagai artikel akademisnya, Griffith dikenal sebagai pakar dalam memahami pendekatan Al-Qur'an terhadap kepercayaan agama lain, khususnya dari perspektif Kekristenan Suriah.
Griffith menyoroti adanya ungkapan dalam bahasa Suryani yang memiliki kemiripan signifikan dengan ungkapan Al-Qur'an, ثَالِثُ ثَلٰثَةٍ (salah satu dari yang tiga) terkait isu ini. Menurut analisisnya, Al-Qur'an mungkin sedang merujuk pada cara umat Kristen Suriah pada masa itu mengungkapkan keyakinan mereka tentang keilahian.
Lebih lanjut, Griffith menunjukkan bahwa Al-Qur'an terkadang tidak menyampaikan informasi secara deklaratif langsung atau bertujuan untuk menguraikan doktrin secara mendalam. Sebaliknya, Al-Qur'an sesekali menggunakan gaya bahasa karikatur atau bertujuan untuk menarik perhatian pendengar pada klaim-klaim yang dianggap berlebihan.
Dengan kata lain, alih-alih terlibat dalam diskusi teologis yang panjang dan rumit untuk menguraikan doktrin Trinitas Kristen, Al-Qur'an memilih pendekatan yang lebih ringkas dan provokatif. Tujuannya adalah untuk merangsang pemikiran para pendengar. Bahkan ketika mereka mencoba untuk mengajukan keberatan. Sebab, ketika seseorang mengajukan keberatan terhadap pernyataan Al-Qur'an bahwa "Allah adalah salah satu dari yang tiga," dan mereka menjawab, "Kami tidak mengatakan bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga," maka secara tidak langsung mereka dipaksa untuk merenungkan, "Lalu, apa sebenarnya yang kami yakini?" Seringkali, dalam upaya menjelaskan keyakinan mereka, mereka justru menyadari adanya inkonsistensi atau kesulitan dalam konsep tersebut.
Dari perspektif Sidney Griffith, Al-Qur'an sering menggunakan strategi ini, tidak hanya dalam ayat ini tetapi juga dalam banyak ayat lainnya. Bagi saya, ini memberikan wawasan yang berharga tentang cara Al-Qur'an berinteraksi dengan audiensnya, yaitu dengan memantik pemikiran kritis dan mendorong refleksi diri.