Menelusuri Akar Sejarah Kelahiran Yesus: Komparasi Al-Qur'an, Injil Kanonik, dan Naskah Apokrifa
Penulis: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Seiring dengan semaraknya suasana menjelang perayaan Natal, benak banyak orang secara alami tertuju pada momen refleksi mengenai peristiwa luar biasa: kelahiran ajaib Yesus Kristus atau Nabi Isa as. Peristiwa ini bukan sekadar narasi agama, melainkan titik temu sejarah dan iman yang sangat penting. Al-Qur'an, sebagai kitab suci umat Islam, mengabadikan kisah ini dengan penuh penghormatan melalui rincian yang mendalam
Namun, penting untuk kita pahami bahwa Al-Qur'an tidak berdiri sendiri dalam menceritakan fenomena ini; terdapat berbagai literatur kuno dan catatan-catatan sejarah yang jauh lebih awal yang juga berusaha memotret momen tersebut. Melalui tulisan ini, kita akan membedah sumber-sumber literatur tersebut guna melihat bagaimana benang merah sejarah menghubungkan catatan-catatan awal ini dengan narasi yang kita temukan dalam Al-Qur'an.
Jika kita melihat lanskap literatur yang ada saat ini, referensi yang paling dominan dan dikenal luas oleh masyarakat dunia adalah naskah-naskah yang terhimpun dalam Injil pada Alkitab Kristen. Di dalam tradisi Kristen, terdapat empat kitab utama yang secara resmi diakui sebagai "kanonik"—artinya, keempat kitab ini telah melewati seleksi otoritatif untuk menjadi standar iman mereka. Namun, sejarah mencatat bahwa di luar keempat kitab tersebut, sebenarnya terdapat banyak naskah Injil lain yang beredar pada masa awal kekristenan. Naskah-naskah ini, karena berbagai alasan teologis maupun historis, tidak dimasukkan ke dalam kanon resmi, sehingga namanya pun meredup dan tidak menjadi bagian dari Alkitab yang kita kenal sekarang.
Menariknya, meskipun dalam Alkitab Kristen terdapat empat Injil utama, tidak semuanya memuat kisah kelahiran Yesus. Injil Markus dan Injil Yohanes, misalnya, memilih untuk melewatkan narasi masa kecil tersebut sepenuhnya. Injil Markus, yang sering dianggap sebagai injil tertua, langsung melompat ke masa dewasa Yesus. Ia memulai kisahnya ketika Yesus telah berusia sekitar 30 tahun, muncul secara tiba-tiba di panggung sejarah untuk menerima baptisan dari Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan. Di sisi lain, Injil Yohanes lebih memilih pendekatan filosofis dan teologis. Alih-alih menceritakan proses kelahiran secara fisik, Yohanes lebih menekankan pada konsep "Logos" atau firman yang telah ada sebelum dunia diciptakan.
Ketidakhadiran kisah masa kecil dalam dua injil ini menyisakan ruang kosong yang membuat kita bertanya-tanya: Bagaimana catatan-catatan lain mengisi kekosongan sejarah tersebut, dan di mana posisi Al-Qur'an dalam melengkapi kepingan teka-teki ini?
Berbeda dengan narasi biografis pada umumnya, Injil Yohanes membedah sosok Yesus melalui kacamata teologis yang sangat mendalam dan metafisis. Bagi banyak analis, keputusan Yohanes untuk tidak mencantumkan detail kelahiran di palungan atau kisah masa kecil bukan tanpa alasan. Dalam visi teologis Yohanes, Yesus dipersonifikasikan sebagai entitas yang melampaui dunia fisik; Ia adalah sosok yang turun langsung dari alam surgawi. Oleh karena itu, menceritakan proses kelahiran biologis di Bumi seolah dianggap sebagai sebuah jalan memutar yang tidak terlalu relevan dengan pesan utama yang ingin disampaikan. Alih-alih dimulai dari buaian, Yesus muncul secara tiba-tiba di panggung sejarah, langsung dalam sosok dewasa yang siap dibaptis oleh Yohanes Pembaptis.
Namun, kekosongan kisah kelahiran itu digantikan oleh sebuah prolog yang megah. Sebelum masuk ke peristiwa sejarah, Yohanes memberikan penegasan tentang asal-usul surgawinya: bahwa jauh sebelum dunia ada, Ia telah eksis dalam bentuk spiritual sebagai Logos atau Firman Tuhan. Narasi ini memuncak pada momen dramatis ketika "Firman itu menjadi manusia" dan hadir di tengah-tengah kita.
Meski demikian, absennya kisah kelahiran bukan berarti Injil-Injil ini mengabaikan sisi kemanusiaan Yesus. Ada detail-detail menarik yang tetap menyisipkan hubungan dunianya. Menariknya, meskipun Injil Markus tidak menceritakan proses kelahirannya, ia menjadi satu-satunya catatan yang secara spesifik menyebut Yesus dengan gelar "Anak Maria". Gelar ini sangat krusial karena di kemudian hari, Al-Qur'an menggunakan identitas serupa untuk menegaskan kemanusiaan beliau sekaligus kehormatan ibundanya.
Di dalam Injil Yohanes pun, sisi manusiawi Yesus tetap muncul melalui perdebatan masyarakat saat itu. Orang-orang yang meragukan kerasulannya sering kali skeptis karena latar belakang geografisnya. Mereka bertanya-tanya, "Bukankah sang Mesias harusnya lahir di Bethlehem?" atau secara sinis berujar, "Mungkinkah ada sesuatu yang hebat muncul dari kota sekecil Nazaret?"
Diskusi-diskusi publik ini membuktikan bahwa latar belakang kemanusiaan Yesus tetap dikenal secara luas. Namun, fokus utama Injil Yohanes tetap pada misinya: ia tidak ingin pembaca terjebak pada detail kelahiran di Bumi, melainkan ingin mengajak kita mendongak ke atas, melihat pancaran ilahi dari sosok yang ia yakini berasal dari langit.
Jika Injil Markus dan Yohanes memilih untuk langsung melompat ke masa dewasa, lain halnya dengan Injil Matius dan Lukas. Keduanya menjadi sumber utama bagi narasi kelahiran Yesus yang paling populer di tengah masyarakat modern saat ini. Namun, jika kita menelitinya lebih dalam secara historis, kedua catatan ini sebenarnya cukup sulit untuk diselaraskan secara sempurna; terdapat perbedaan signifikan pada urutan kronologis maupun detail peristiwanya.
Di luar narasi tersebut, sejarah menyimpan khazanah literatur yang lebih luas. Jauh sebelum kitab Perjanjian Baru disatukan secara resmi, terdapat berbagai naskah lain yang beredar di kalangan umat awal, salah satunya adalah Protoevangelium Yakobus. Penamaan "Proto" (awal) sangatlah tepat, karena naskah ini berfungsi sebagai prekuel. Jika Injil pada umumnya berfokus pada masa dakwah Yesus, naskah ini mundur jauh ke belakang untuk menceritakan apa yang terjadi sebelum kisah utama dimulai.
Menariknya, naskah ini bukan menceritakan masa kecil Yesus, melainkan berfokus pada masa kecil Maria—mulai dari silsilahnya hingga keajaiban kelahirannya sendiri. Di sinilah letak titik temu yang luar biasa dengan Al-Qur'an; kitab suci umat Islam pun memulai narasi keajaiban Yesus justru dari kisah pengabdian dan masa kecil Maryam.
Selanjutnya, kita mengenal Injil Masa Kecil Tomas, sebuah naskah dari abad kedua yang mencoba memuaskan rasa penasaran publik mengenai tahun-tahun yang hilang dari masa kanak-kanak Yesus.
Untuk membayangkannya, cobalah ingat serial Netflix Raising Dion. Di sana, kita melihat seorang anak kecil yang tiba-tiba memiliki kekuatan super dan harus belajar menguasainya perlahan-lahan. Dion sering terkejut sendiri dengan kemampuannya dan bertanya-tanya, "Bagaimana aku bisa melakukan itu?"
Namun, naskah Injil Tomas menyajikan perspektif yang jauh lebih ekstrem. Para penulis naskah ini tampaknya ingin menegaskan bahwa jika Yesus adalah sosok yang memiliki sifat ketuhanan (seperti yang mulai diyakini sebagian orang saat itu), maka ia tidak boleh tampil bingung seperti Dion. Ia haruslah Mahatahu dan Mahakuasa sejak dalam buaian.
Hasilnya adalah sebuah potret masa kecil yang cukup mengejutkan. Yesus digambarkan sebagai anak yang memiliki kendali penuh atas kekuatannya; ia tahu siapa dirinya dan apa yang bisa ia lakukan tanpa perlu proses belajar. Sejak kecil, ia melakukan berbagai keajaiban luar biasa. Namun, ada sisi gelap dalam narasi ini; ia digambarkan bisa bertindak sangat keras, bahkan hingga mencabut nyawa teman sebayanya hanya karena merasa terganggu.
Para penulis naskah ini seolah tidak merasa perlu memoles karakter Yesus agar terlihat santun. Fokus utama mereka hanyalah menunjukkan kekuatan mutlak: bahwa di hadapan mereka ada sosok "Maha Kuasa" dalam wujud anak kecil, terlepas dari apakah tindakan-Nya terlihat baik atau buruk di mata manusia.
Rasa penasaran manusia terhadap sosok Yesus tidak mengenal batas geografis. Hal ini terbukti dengan kemunculan Injil Pseudo-Matius, sebuah literatur penting yang ditulis dalam bahasa Latin. Jika naskah-naskah lain umumnya ditulis dalam bahasa Yunani untuk audiens di wilayah Timur, kehadiran Pseudo-Matius menandai betapa besarnya minat masyarakat di wilayah Barat (Eropa) untuk menyelami kehidupan sang Al-Masih.
Akar dari munculnya tulisan-tulisan ini adalah adanya celah waktu yang sangat besar dalam sejarah arus utama. Kita tahu bahwa Injil Markus baru memulai kisahnya saat Yesus berusia 30 tahun. Bahkan dalam Injil Matius dan Lukas yang memuat kisah kelahiran, tetap ada misteri besar: apa yang terjadi di antara masa bayi hingga usia 12 tahun? Injil Lukas memang sempat menyebutkan momen ziarah Yesus ke Bait Allah pada usia 12 tahun, namun setelah itu, sejarah seolah membisu hingga ia dewasa. Kehampaan informasi inilah yang mendorong lahirnya Injil Pseudo-Matius, Injil Yakobus, dan Injil Tomas sebagai upaya literer untuk mengisi teka-teki masa kecil tersebut dengan narasi yang lebih berwarna, meskipun Pseudo-Matius sendiri sebenarnya lebih merupakan perluasan yang lebih detail dari naskah Yakobus.
Menariknya, tren ini berlanjut hingga jauh setelah masa kenabian Muhammad SAW. Kita mengenal Injil Masa Kecil Arab, yang manuskripnya baru muncul sekitar abad ke-12. Meskipun naskah ini jauh lebih muda dibandingkan Al-Qur'an—bahkan Pseudo-Matius pun diperkirakan baru ditulis pada abad ke-7 atau ke-8—hal ini menunjukkan bahwa tradisi lisan mengenai keajaiban masa kecil Yesus terus hidup dan bertransformasi. Injil Masa Kecil Arab ini tampaknya menjadi sebuah kompilasi unik, di mana cerita-cerita kuno bertemu dan bersinggungan dengan pengaruh narasi yang ada dalam Al-Qur'an.
Lantas, bagaimana Al-Qur'an memposisikan diri di antara belantara cerita-cerita apokrifa ini? Al-Qur'an hadir bukan sekadar untuk menceritakan ulang, melainkan sebagai korektor ideologis. Melalui Surah Ali 'Imran dan Surah Maryam, Al-Qur'an menarik perhatian audiensnya pada kisah-kisah yang mungkin sudah akrab di telinga mereka, namun dengan memberikan sentuhan teologis yang sangat mendasar:
Jika dalam Injil Masa Kecil Tomas Yesus digambarkan memiliki kekuatan ilahi yang seolah-olah miliknya sendiri—bahkan hingga tampak tak terkendali—Al-Qur'an meluruskan persepsi ini. Al-Qur'an menegaskan bahwa memang benar Yesus melakukan berbagai mukjizat luar biasa sejak kecil, namun semuanya terjadi bi'idznillah (hanya dengan izin Allah). Ini adalah penegasan bahwa Yesus adalah utusan Allah, bukan entitas ilahi yang berdiri sendiri. Mukjizat tersebut adalah bukti kemuliaan Tuhan, bukan bukti ketuhanan sang nabi.
Al-Qur'an juga mengambil fragmen indah dari tradisi Pseudo-Matius dan Yakobus mengenai kesucian Maryam. Namun, Al-Qur'an membingkainya dalam narasi pengabdian yang lebih murni. Maryam digambarkan sebagai wanita pilihan yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk berkhidmat di Baitul Maqdis. Ia adalah sosok yang teguh memegang janji Allah, menjadikannya prototipe manusia beriman yang kesucian dan keteladanannya melampaui zaman.
Dengan demikian, Al-Qur'an merangkul ingatan kolektif manusia tentang sejarah ini, membersihkannya dari elemen-elemen yang dianggap menyimpang, dan menyajikannya kembali sebagai pelajaran moral dan spiritual yang abadi bagi seluruh umat manusia.

