Oleh: Muhammad Qorib, Bendahara PWM Sumut/ Dekan FAI UMSU/ TPHD Pemprov-Su
Banyak pelajaran penting yang dapat dipetik dari pelaksanaan ibadah haji. Jika dicermati dan dikelola secara arif, pelajaran-pelajaran itu dapat berfungsi sebagai piranti untuk meningkatkan kualitas fisik, psikis dan sosial pelaksana haji itu. Disinilah sesungguhnya posisi strategis ibadah haji, tidak hanya sebatas rutinitas ritual, namun ibadah tersebut dapat berfungsi sebagai laboratorium kehidupan.
Rangkaian Ikhtiar
Ibadah haji beririsan dengan serangkaian ikhtiar yang sangat panjang. Rangkaian ikhtiar tersebut harus direspons dengan bijak. Ibadah haji juga dilandasi persyaratan. Syarat ibadah haji harus istitha’ah, dalam pengertian bahwa pelaksana ibadah haji itu siap secara fisik dan mental, membawa bekal yang bersih dan cara yang ditempuh untuk berhaji sesuai dengan regulasi agama dan negara.
Dari tahun ke tahun, jumlah Jemaah haji kian meningkat, namun kuota yang tersedia sangat terbatas. Hal ini menyebabkan terjadinya antrian yang tidak sebentar. Jika pada waktu lalu, antrian hanya berlangsung satu sampai tiga tahun, namun kini antrian lebih daripada sepuluh tahun tergantung daerah masing-masing. Tak jarang Jemaah wafat sebelum berangkat haji. Tak sedikit pula pada saat mendaftar dalam keadaan sehat, namun Jemaah jatuh sakit di saat keberangkatan. Rangkaian ujian Allah setahap demi setahap muncul. Ini bukan sesuatu yang buruk, melainkan anak tangga menuju kualitas keimanan yang lebih tinggi.
Ibadah haji bukan sebatas paket ritual yang terdiri dari umroh dan haji yang dilaksanakan di Tanah Haram. Ibadah haji sejatinya terkait dengan persiapan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan. Di ketiga waktu tersebut, berbagai hal bisa saja terjadi dan mempengaruhi sikap dan pikiran pelaksana haji itu. Ada yang semakin matang dengan keadaan itu, ada pula yang menganggapnya biasa saja. Antrian yang lama sejak dari pendaftaran sampai menjelang keberangkatan oleh Jemaah Haji sering disikapi dengan sabar sekaligus momentum untuk meningkatkan pemahaman tentang haji.
Pada sisi lain, tak jarang daftar tunggu yang lama oleh segelintir orang disalahgunakan untuk tujuan pragmatis. Mereka mengintip peluang agar jadwal keberangkatannya dapat dipercepat. Sikap kurang terpuji muncul dengan melakukan lobby dan tindakan transaksional ke pihak tertentu untuk mendapatkan prioritas keberangkatan. Mirisnya, jadwal orang lain harus dimundurkan demi jadwal keberangkatannya. Ini tentu saja bertentangan dengan salah satu esensi ibadah haji yaitu menghormati hak orang lain. Padahal sejatinya ibadah haji lekat dengan sikap humanis, bersih dan jujur.
Banyak persoalan teknis bermunculan selama proses pelaksanaan ibadah haji. Jika tidak direspons dengan baik maka hal itu akan menjadi batu ujian pelaksanaan haji itu sendiri. Ibadah haji melibatkan banyak orang. Banyak pihak lain yang juga melaksanakan ibadah tersebut. Ini berarti bahwa interaksi sosial yang berkeadaban sangat diperlukan. Sikap tepa selira, luas pandangan dan lapang dada menjadi sangat penting. Rambu-rambu rafats, fusuuq, dan jidaal harus menjadi perhatian penting, karena rambu-rambu tersebut menjadi petunjuk ke arah mabrurnya haji (Q.S. Al-Baqarah/ 2: 197).
Kecerdasan sosial dalam haji mutlak dibutuhkan. Ada sebuah ungkapan yang sering disalahpahami, “Disini saya ingin beribadah, maka jangan diganggu oleh orang lain.” Dalam hal ini, ada Jemaah yang hanya self centered (berpikir dan bertindak untuk dirinya sendiri dan abai dengan orang lain). Harus dimengerti, bahwa ibadah haji merupakan ibadah kemanusiaan. Artinya, membantu sesama jemaah dalam kesusahannya merupakan ibadah yang nilainya amat tinggi di sisi Allah. Ibadah haji menghidupkan kembali kecerdasan sosial. Setiap Jemaah haji disadarkan bahwa hidup tidak sendirian, namun senantiasa berdampingan dengan orang lain dan bagaimana setiap jemaah memberi makna kehadirannya terhadap orang lain.
Mulai dari pembagian kamar sampai bagaimana berkomunikasi dengan teman sekamar jika tidak disikapi secara dewasa sering menjadi masalah tersendiri. Dalam haji reguler, biasanya satu kamar terdiri dari empat sampai lima orang bahkan lebih. Ada saja satu atau beberapa teman sekamar yang memiliki karakter “unik” bahkan mungkin “aneh”. Karena itu, setiap Jemaah harus menahan diri dan dapat berucap dan bersikap proporsional. Jangan sampai keadaan itu melahirkan fusuuq dan jidaal. Fusuuq mewujud lewat perbuatan bergunjing, sombong, menganggap rendah orang lain dan jidaal mewujud dalam tindakan berbantah-bantahan, caci maki, ego berlebihan, dan saling cemooh.
Salah satu poin penting dalam pelaksanaan ibadah haji adalah sikap sabar dan cerdas dalam beradaptasi dengan keadaan. Secara praktis, menyesuaikan diri dengan makanan yang disajikan selama musim haji dapat menghindari sikap fusuuq dan jidaal tersebut. Hal ini menjadi bagian ujian keimanan dan jihad psikologis. Selama ini, makanan dan minuman di rumah disajikan sesuai selera. Namun selama pelaksanaan musim haji, keduanya disiapkan secara sederhana. Ini agar Jemaah haji terbiasa dengan pola hidup sederhana, senantiasa sehat dan dapat bertahan dalam berbagai keadaan.
Keberadaan Jemaah haji di Tanah Suci Makkah dan Madinah bertujuan untuk beribadah. Karena itu, durasi waktu yang dilalui selama 40 hari dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas ritual dan intelektual. Zikir, membaca buku, mengikuti berbagai kajian, shalat berjamaah, menjadi media untuk peningkatan kualitas ritual dan intelektual tersebut. Ibadah haji sesungguhnya sama dengan kampung pelatihan, atau mungkin pesantren ritual dan sosial. Karena berlangsung hanya sebentar, maka setiap momen yang berlalu harus produktif.
Banyak tempat bersejarah di Kota Makkah dan Kota Madinah yang dapat dikunjungi. Kunjungan ke berbagai tempat tersebut dapat menghubungkan kembali antara masa kini dengan masa lalu. Misalnya saja Masjidil Haram, Gua Tsur, Gua Hira’, Arafah, Muzdalifah, Mina (Armuzna), Tha’if, di Makkah, dan Masjid Nabawi, Bukit Uhud, Bir Ali, di Madinah, direkomendasikan untuk dikunjungi. Banyak pelajaran berharga yang dapat diambil dengan mengunjungi berbagai tempat itu. Namun perlu dicatat, dalam musim haji, bahwa Ritual Umroh dan Puncak Haji di Armuzna harus diprioritaskan. Dengan kata lain, Jemaah haji harus menyimpan energi untuk dua ritual penting itu.
Ada sebuah tradisi bahwa Jemaah haji Indonesia sangat hobi berbelanja. Banyak pedagang Arab yang dapat berbahasa Indonesia, dari yang mahir sampai yang sangat sederhana. Adalah sebuah kebanggaan saat kembali ke tanah air ada oleh-oleh yang dibawa dan dibagikan untuk keluarga, sanak famili dan karib kerabat. Ini simbol dari tradisi filantropi. Namun aktivitas ini jangan sampai membuat lengah. Setiap jamaah haji harus dapat menahan diri. Konsentrasi ibadah jangan sampai tergerus karena aktivitas berbelanja itu.
Ibadah haji juga dapat diibaratkan sebagai pertemuan internasional. Umat Islam dari seluruh dunia berkumpul. Mereka datang atas undangan Allah, berasal dari berbagai suku bangsa, budaya dan bahasa yang berbeda. Setiap bangsa memiliki keunikan masing-masing yang bersifat saling mengisi dan saling memperkaya wawasan keislaman. Satu budaya tidak bisa diklaim lebih unggul daripada lainnya. Sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam Alquran bahwa dijadikan-Nya manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal (Q.S. Al-Hujurat/ 49: 13).
Bahkan saat beribadah sekalipun, terdapat berbagai perbedaan budaya dan pemahaman. Adalah hal yang biasa lewat di depan orang yang shalat, melangkahi pundak bahkan cenderung melangkahi kepala. Ada pula yang tertidur pulas di depan pintu keluar masjid. Tentu tindakan ini dianggap “kurang ajar” jika dilakukan di tanah air. Pelakunya juga dapat ditegur atau dimarahi. Namun fakta ini kerap terjadi dan dialami Jemaah haji. Sebab itu, setiap pelaksana haji harus terbiasa dan dapat beradaptasi secara baik. Benar apa yang dijelaskan pepatah, “lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya.”
Tak sampai di situ, praktik ibadah juga berbeda-beda. Misalnya dalam shalat, ada yang meluruskan tangannya tanpa diletakkan di atas dada, ada pula yang salamnya mendahului imam. Meskipun menurut pemahaman kita bahwa ini kurang tepat, namun sikap lapang dada dan tidak menggunakan pemahaman kita untuk menilai orang lain adalah cermin kedewasaan dalam beragama. Dalam ibadah haji, setiap orang sedang bergabung dalam kafilah spiritual menuju Allah. Semuanya adalah umat Rasulullah yang sedang menunaikan ibadah haji. Manakah yang benar? Allah adalah Hakim Yang Terbaik (Q.S. Al-Tin/ 95: 8).
Menggali Makna
Ibadah haji sejatinya merupakan laboratorium kehidupan yang sarat makna. Dalam ibadah tersebut, setiap orang diajarkan untuk membangun hubungan vertikal yang kokoh kepada Allah. Pakaian ihram mengajarkan bahwa dihadapan Allah semua manusia sama, dan akan kembali kepada Allah tanpa apa pun yang dibawa kecuali kain kafan. Hanya amal shaleh yang menjadi investasi dan bekal abadi. Wukuf di Arafah adalah cermin dimana manusia dikumpulkan di padang mahsyar. Setiap orang akan sibuk dengan urusan masing-masing.
Selain itu, spiritualitas ilahiyah (ketuhanan) menjadi sesuatu yang melekat dan tidak boleh terlepas dalam kehidupan setiap Jemaah haji. Ini disimbolkan dalam ritual thawaf. Sa’i memberi pesan agar hidup setiap pelaksana haji senantias optimis dan bermanfaat untuk kehidupan. Tahallul mengajarkan agar setiap pelaksana haji mengerti batas-batas yang seharusnya dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Ibadah haji juga mengajarkan hubungan yang baik kepada sesama umat manusia. Kebajikan-kebajikan sosial yang diwujudkan dalam perkhidmatan kepada umat manusia sama pentingnya dengan ritual haji itu sendiri. Di sinilah pentingnya bagaimana setiap jemaah haji mentransformasikan haji bukan sebatas ritual, namun juga amal sosial. Dengan ini, ibadah haji dapat berfungsi sebagai laboratorium kehidupan yang mencerahkan. Semoga bermanfaat.