PURWOKERTO, Suara Muhammadiyah – Sejarah harus dibaca secara komprehensif. Demikian tegas Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir. Hal ini menyoal hal ihwal historisitas bangsa Indonesia mulai dari pra hingga pasca-kemerekaan, yang muatan khazanahnya sangat kaya dan mendalam sekali.
Terlebih khusus lagi, ulasan Haedar berpokok pangkal pada peristiwa pra-kemerdekaan. Yang diungkapnya, saat dijajah oleh Belanda, Islam berkembang dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang pusparagam.
“Sebelumnya ada kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Kutai, yang itu juga mengalami transformasi yang tidak keras. Peralihan dari Majapahit ke Mataram Islam, berjalan dengan baik,” sebutnya saat Rapat Terbuka Senat Laporan Tahunan Rektor dalam rangka Milad ke-60 Universitas Muhammadiyah Purwokerto Aula A.K. Anshori Lt. 3, Kampus 1 Ahmad Dahlan UMP, Senin (29/12).
Berlanjut pada matarantai perjalanan bangsa pasca-kemerdekaan, yang diawali oleh proses baru sejak awal abad ke-20, yakni lahirnya Kebangkitan Nasional. “Aliran dan sumber-sumber kebangkitan itu beragam,” tutur Haedar, menyebut aliran itu seperti aliran agama, aliran nasionalis, “semuanya saling berhimpitan,” sambungnya.
Yang kemudian berkembang dengan munculnya gerakan Sarekat Dagang Islam (SDI), Budi Utomo, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Taman Siswa, Persatuan Islam, Al Irsyad, Nahdlatul Ulama, dan Jong Islamieten Bond (JIB), dan lain sebagainya.
“Ini membentuk sebuah gerakan Kebangkitan Nasional yang masif di seluruh Tanah Air. Dan dalam konteks inilah kemudian, lahirlah kemerdekaan dengan proses sejarah dan dinamika politik yang tidak mudah,” tegas Haedar.
Hal menarik lainnya, sebut Haedar, peristiwa Sumpah Pemuda dan Kongres Perempuan. Terjadi titik temu di sini, di mana tahun peristiwanya serupa, yakni 1928. “Itu juga merupakan kohesif dari berbagai golongan,” tuturnya.
Yang dari situlah kemudian dalam konteks Sumpah Pemuda, lahir tentang komitmen ke-Indonesiaan, “Satu Bahasa, Satu Tanah Air, dan Satu Bangsa Indonesia,” sambungnya.
Demikian hahlnya Kongres Perempuan. Dengan melibatkan ‘Aisyiyah, Wanita Taman Siswa, Wanita Katolik, Wanita Oetomo, Putri Indonesia, Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling (JIBDA), dan Jong Java Dames Afdeeling (JJDA).
“Semuanya menjadi satu kekuatan besar, dan akhirnya kita merdeka pada 17 Agustus 1945,” bebernya, yang bersambung 18 Agustus 1945, lahir sebuah kodifikasi menjadi konstitusi dasar berbangsa dan bernegara. “Lahirlah Pembukaan dan UUD 1945, Pancasila, yang itu menjadi rujukan resmi kita,” pungkasnya. (Cris)

