Mengapa Aturan Islam Terasa Banyak? (Bagian 2)
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Mari kita lihat bagaimana tujuan-tujuan ini bekerja:
- Pemeliharaan Akal: Inilah alasan utama alkohol dilarang. Seperti yang kita bahas sebelumnya, alkohol merusak fungsi penilaian, sehingga secara langsung mengurangi karunia akal yang Tuhan anugerahkan untuk kita jaga.
- Pemeliharaan Kehidupan: Hal ini selaras dengan perintah universal "Jangan membunuh" dalam Perjanjian Lama. Dalam Islam, Al-Qur'an dengan tegas melarang, (Lafal Arab): "Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah," kecuali dalam konteks penegakan keadilan hukum negara (misalnya, hukuman mati). Dengan demikian, salah satu fungsi utama hukum adalah untuk melindungi eksistensi dan keselamatan setiap jiwa.
Sering kali, ketika kita mendengar kata "hukum" atau "aturan," pikiran kita langsung dipenuhi dengan daftar kewajiban yang memberatkan ("semua hal yang harus kita lakukan") atau larangan yang mengekang ("semua hal yang tidak boleh kita lakukan"). Akibatnya, hukum terasa seperti penghambat kebebasan pribadi—sesuatu yang kita harap tidak ada.
Namun, mari kita lihat dari sisi lain: Bukankah kita sering merasa geram ketika melihat ketidakadilan di masyarakat dan berharap ada peraturan yang bisa menghentikannya? Bukankah kita sering berseru, "Seharusnya ada undang-undang tentang ini!" ketika pelaku kejahatan lolos?
Inilah fungsi utama Syariah: Islam telah menyediakan apa yang kita butuhkan. Al-Qur'an memberi kita hukum langsung dari Tuhan untuk mengisi kekosongan tersebut dan memastikan keadilan.
Kita telah membahas perlunya Pemeliharaan Akal dan Kehidupan (yang setara dengan larangan membunuh, dll.). Sekarang mari kita lihat dua tujuan berikutnya. Pertama, pemeliharaan properti (Harta). Aturan Islam bukan sekadar melarang pencurian; ia melindungi seluruh sistem ekonomi dan kepemilikan. Al-Qur'an secara spesifik melarang pencurian, penipuan, dan penggunaan timbangan atau ukuran palsu. Mengapa? Karena jika Anda menjual dengan timbangan kurang, Anda secara tidak adil merampas properti pembeli. Menipu, berbohong, mencuri, hingga mengambil properti orang lain secara paksa, termasuk praktik riba (bunga)—semua ini dilarang karena dianggap sebagai perampasan harta secara tidak adil. Hukum ini ada untuk memastikan bahwa individu dan komunitas secara keseluruhan dapat merasa aman atas apa yang mereka miliki.
Kedua, pemeliharaan keturunan dan kehormatan. Tujuan ini berfokus pada pembentukan masyarakat yang stabil. Setiap anak berhak dilahirkan dalam kehormatan dan dibesarkan dalam lingkungan yang aman. Islam memandang keluarga sebagai "sarang" yang protektif, di mana kedua orang tua hadir dan saling melengkapi. Oleh karena itu, Al-Qur'an menetapkan pernikahan sebagai satu-satunya jalan yang sah untuk membentuk keluarga dan melahirkan keturunan.
Tentu saja, karena kehidupan tidak selalu sempurna, Syariah juga harus memiliki hukum perceraian yang jelas. Bagaimana kita tahu sebuah pernikahan sah? Bagaimana kita memastikan perpisahan benar-benar final? Dan bagaimana cara terbaik untuk mencegah perpisahan yang menentukan itu? Semua detail ini membutuhkan aturan yang cermat demi memastikan tujuan luhur—yakni perlindungan keturunan dan kehormatan keluarga—tercapai sepenuhnya.
Jelas terlihat bahwa setiap aspek kehidupan, dari ikatan sosial hingga hubungan pribadi, memerlukan pedoman—membutuhkan hukum. Hukum Islam hadir sebagai sarana vital untuk mewujudkan tujuan-tujuan luhur (Maqasid) yang telah kita bahas. Tanpa kerangka hukum ini, cita-cita kebaikan dan keadilan tidak akan pernah tercapai. Oleh karena itu, tugas kita adalah menghormati hukum tersebut dan memastikan bahwa penerapannya senantiasa berorientasi pada pencapaian tujuan-tujuan mulia tadi.
Namun, pertanyaan mendasar muncul di benak banyak orang: Mengapa terasa begitu banyak aturan? Perasaan ini sering muncul karena konteks hidup kita saat ini. Mayoritas Muslim, terutama yang tinggal di negara non-Muslim (seperti di Barat), adalah minoritas. Di sana, hukum negara yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Wajar jika muncul pemikiran, "Jika hukum negara sudah ada, mengapa kita membutuhkan seperangkat hukum agama lain yang melakukan hal serupa?" Ini adalah komentar yang sah dan perlu dijawab.
Jawabannya terletak pada prinsip adaptasi dan harmoni. Dalam konteks minoritas, umat Islam dapat secara selektif menerapkan hukum Islam pada bidang-bidang yang paling mendasar: hukum pribadi dan hukum keluarga (misalnya, pernikahan, perceraian, warisan) sebagaimana diatur dalam Al-Qur'an dan fikih klasik. Sementara itu, untuk semua hukum lain yang mengatur kehidupan publik, mereka patuh sepenuhnya pada hukum negara setempat.
Ini menciptakan perpaduan yang harmonis antara dua sistem hukum. Yang menggembirakan, banyak negara demokrasi mengakui dan menghargai nilai hukum pribadi Muslim. Mereka bahkan melegitimasi praktik hukum-hukum ini bagi warga Muslim—selama tidak melanggar hukum negara secara keseluruhan.
Hasilnya? Umat Islam dapat menjaga koneksi spiritual dan budaya mereka dengan tradisi hukum Islam klasik di ranah pribadi, sekaligus hidup sepenuhnya sebagai warga negara yang damai, taat hukum, dan harmonis di negara tempat mereka tinggal.
Menariknya, bahkan di sebagian besar negara yang mayoritas penduduknya Muslim, sistem hukum yang berlaku sering kali bukanlah Syariah klasik secara keseluruhan. Banyak yang mengadopsi model hukum dari sistem lain—seperti warisan sistem Prancis atau Inggris. Di negara-negara ini pun, umat Islam sering kali tetap harus merujuk pada hukum Islam khusus untuk mengatur urusan pribadi dan keluarga mereka. Memang, ada satu atau dua negara yang secara prinsip bersikeras menerapkan Syariah secara total di semua bidang, namun seberapa jauh penerapannya benar-benar terwujud di lapangan adalah isu yang selalu menjadi perdebatan.
Apa yang wajib kita pahami di era modern ini adalah: Hukum Islam adalah konsep yang hidup, dinamis, dan terus berubah. Inti dari Syariah adalah tujuan-tujuan dasar yang telah kita tetapkan—memelihara kehidupan, akal, keturunan, dan properti. Tujuan-tujuan inilah yang harus menjadi tolok ukur utama saat hukum diterapkan dalam konteks dunia kita yang selalu berubah.
Kita harus berhati-hati: Jangan sampai kita terlalu kaku memegang 'huruf' (teks) hukum, sehingga malah menggagalkan 'semangat' atau tujuan sejati di baliknya. Tujuan-tujuan mulia (Maqasid) harus selalu menjadi kompas kita. Seringkali, anggapan "terlalu banyak aturan" muncul karena beberapa hukum yang dirumuskan di masa lalu, ketika diterapkan tanpa penyesuaian di masa kini, terasa menghambat alih-alih membantu. Padahal, semua hukum itu diciptakan untuk membantu kita mencapai tujuan baik yang sudah kita gariskan, dan kita tidak boleh melupakan esensi tersebut.
Singkatnya, Islam tidak memiliki terlalu banyak aturan. Anggapan itu muncul karena konteks hidup kita yang baru. Semua masyarakat pasti membutuhkan hukum—entah itu berwujud hukum negara (sekuler) atau hukum agama. Perbedaannya adalah pada konsepsi Islam, semua hukum bersumber dari Tuhan dan idealnya harus terintegrasi menjadi satu kesatuan yang kohesif.
Meskipun integrasi total ini tidak selalu praktis—terutama bagi Muslim minoritas—kita memiliki solusi elegan: kita mengamalkan hukum keluarga dan pribadi sesuai ajaran agama, dengan izin dari negara tempat tinggal, sambil menaati hukum negara sepenuhnya. Dengan cara ini, kita hidup sebagai warga negara yang patuh dan damai, selaras dengan sesama manusia, sesuai dengan hukum yang berlaku di tanah air kita.


