Muhammadiyah dan Dinamika Politik
Oleh: Ahmad Alkhawarizmi, S.H, Trainer Pusdiklat UMM, Pengurus MPW PWM Banten
Muhammadiyah berdiri pada tanggal 18 november 1912 oleh Muhammad Darwis atau biasa disebut Ahmad Dahlan. Sebelum Muhammadiyah berdiri, Ahmad Dahlan sempat belajar dan tinggal di tanah suci Mekkah. Ahmad dahlan banyak membaca pemikiran pembaharu islam seperti Jamaluddin Al-afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridho yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Muhammadiyah dan memberikan trobosan untuk memadukan pelajaran agama dan umum.
Pada awalnya Muhammadiyah fokus pada aktivitas pendidikan karena Ahmad Dahlan ingin anak-anak pribumi mendapatkan pendidikan yang layak. Mulai dari mendirikan surau dan mengajarkan agama kepada anak-anak pribumi dengan jumlah siswa yang sedikit dan juga Ahmad Dahlan sempat mengajar agama pada siswa-siswi di sekolah Boedi Oetomo dari kalangan borjuis dan kolonial dengan tujuan menyebarkan ajaran islam dan melawan gerakan kristinisasi melalui Pendidikan. Selain fokus dengan gerakan pendidikannya, Muhammadiyah juga bergerak di bidang agama karena untuk menentang penyakit tahayul, bid`ah, dan syirik dan ingin melakukan pembaharuan untuk islam yang berkemajuan dengan mengacu pada al-quran dan hadist.
Pada perjalanan yang cukup panjang untuk membangun sebuah paradigma gerakan islam, akhirnya Muhammadiyah bertumbuh kembang dan berhasil membangun amal usaha serta mampu menyebarkan Muhammadiyah di Indonesia, sehingga Muhammadiyah menjadi organisasi masyarakat yang besar, dan membuat Muhammadiyah menjadi ormas yang sangat berpengaruh. Lantas, bagaimana perjalanan Muhammadiyah menghadapi lika-liku dinamika politik?
Sekitar tahun 1918 pada kongres Muhammadiyah dalam rangka membahas anggaran dasar rumah tangga, sempat terjadi perdebatan antara Ahmad Dahlan dan Agus Salim. Saat itu Agus Salim yang merupakan anggota aktif di Syarikat Islam dan pernah aktif di Muhammadiyah mengusulkan agar Muhammadiyah bertransformasi dari organisasi masyarakat menjadi partai politik. Karena menurutnya jika Muhammadiyah menjadi partai politik akan berkembang pesat seperti Syarikat Islam pada saat itu. Dengan argumen yang mengesankan membuat para hadirin setuju dengan pendapat Agus Salim.
Namun, Ahmad Dahlan tidak setuju dengan pendapat Agus Salim. Sebab, gerakan dakwah muhammadiyah tetap mengacu pada al-imran ayat 104 untuk menyeru kebajikan dan menjauhi kemungkaran. Jika Muhammadiyah tidak menjadi partai politik, maka ruang gerak dakwah menjadi leluasa dan akselarasi dakwah yang menjadi kencang. Muhammadiyah ingin tetap konsisten berkiprah untuk kemaslahatan umat dan tetap dengan gerakan kultral dan dakwahnya. Ahmad dahlan meyakini bahwa Muhammadiyah bisa melakukan lebih dari apapun daripada partai politik tanpa bersentuhan dengan politik praktis.
Menurut penulis, keputusan Ahmad Dahlan sudah sangat tepat karena jika Muhammadiyah menjadi partai politik maka cita-cita dan perjuangan yang sudah dibangun selama ini tidak akan tercapai dan jika sudah menjadi partai politik, maka yang hanya dipikirkan untuk kepentingan golongan atau individu, bukan lagi memikirkan kepentingan umat. Mari kita bayangkan, andai saja pada waktu itu ahmad dahlan setuju dengan pendapat agus salim untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik, maka apa yang akan terjadi pada Muhammadiyah pada saat ini?
Mungkinkah Muhammadiyah tetap ada atau kemungkinan terburuknya Muhammadiyah sudah tidak ada. Jika kita melihat perjalanan Syarikat Islam yang mengalami dualisme antara Syarikat Islam merah yang dipimpin oleh semauan dengan ideologi komunis dan syarikat islam putih yang dipimpin oleh agus salim dengan ideologi islam, kondisi dualisme ini disebabkan karena Syarikat Islam bertransformasi menjadi partai politik sehingga ada kepentingan politik masing-masing. Karena kondisi politik pada saaat itu sangat menegangkan, sehingga kemudian Tjokroaminato menjadi penengah atas ketegangan syarikat islam, dan berusaha untuk menata gerakan Syarikat Islam kembali yang sesuai dengan cita-citanya. Karena kondisinya sudah tidak dapat dikendalikan, semaun tetap dengan ideologi komunisnya dan agus salim dengan ideologi islamnya, maka pada akhirnya syarikat islam bubar.
Kita bisa melihat contoh dari dinamika Syarikat Islam, jika Muhammadiyah menjadi partai politik, bisa jadi kemungkinan terburuknya Muhammadiyah pada saat ini sudah tidak ada, maka sudah dipastikan tidak ada amal usaha, ortonom, dan majelis-majelis. Muhammadiyah bisa berkembang sepesat ini dan maju karena konsistenan dan paradigma yang sudah dibangun oleh Muhammadiyah untuk gerakan dakwah.
Persinggungan selanjutnya antara Muhammadiyah dan politik, keterlibatan annggotanya dalam Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Pada 7 november 1945 Masyumi yang menaungi kelompok islam yang kemudian bertransformasi menjadi partai politik, beberapa kader muhammadiyah seperti Fakih Usman, Ki Bagus Hadikusumo, Sutan Mansur, Buya Hamka, Ahmad Badawi, dan Djindar Tamimy sempat aktif dalam partai Masyumi. Bagi Muhammadiyah, Masyumi adalah saluran aspirasinya politiknya, dan bagi Masyumi, Muhammadiyah adalah anggota istimewa yang sangat penting.
Namun, kiprah politik Masyumi tidak berlangsung lama karena ada ketegangan politik, yang pada akhirnya pada tahun 1959 pemerintah soekarno membubarkan partai Masyumi karena dianggap keterlibatannya dalam PRRI-Permesta. Kemudian pada khittah di Palembang tahun 1959 Muhammadiyah memtuskan untuk netral dalam urusan politik. Meski sudah netral, namun pada 20 februari 1968 beberapa tokoh Muhammadiyah sempat mendirikan partai Muslimin Indonesia atau biasa disebut Parmusi. Namun, kiprah Parmusi tidak berlangsung lama, pada kongres Muhammadiyah ke 38 di Makasar tahun 1971 memutuskan bahwa Muhammadiyah tidak terafiliasi dengan politik dan fokus dengan gerakan dakwah.
Menurut penulis, bermuhammadiyah adalah sebuah pengabdian bukan untuk mencari eksistensi agar menguntugkan individu atau golongan. Namun, Muhammadiyah juga sering mengangkat isu politik, agar mengontrol dan mengarahkan kebijakan politik. Dalam mengawasi kebijakan politik, Muhammadiyah tidak boleh menggunakan politik praktis agar keberadaan Muhammadiyah tidak dijadikan batu loncatan dan alat politik untuk kekuasaan.
Pada suatu saat Ahmad Dahlan pernah berpesan kepada istrinya yaitu Siti Walidah dan anak-anaknya, pesan Ahmad Dahlan tersebut adalah “Hidup hidupilah Muhammadiyah tapi jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah”. Lalu setelah beberapa tahun Ahmad Dahlan sudah wafat, kondisi Siti Walidah sedang sakit dan dirawat inap di rumah sakit Muhammadiyah. Lalu dari pihak rumah sakit ingin menggratiskan biaya pengobatan Siti Walidah, sebab beliau adalah istri dari pendiri Muhammadiyah. Namun, Siti Walidah menolak untuk digratiskan karena beliau selalu inget pesan dari Ahmad Dahlan tersebut untuk menghidupan Muhammadiyah dan tidak ingin mencari keuntungan di Muhammadiyah. Siti Walidah tetap membayar biaya pengobatannya, bahkan Siti Walidah menjual barang-barang dirumahnya untuk membayar biaya rumah sakit. maksud dari risalah ahmad dahlan tersebut bahwa kita harus menghidupkan Muhammadiyah dengan gerakan dan aktivitasnya dakwahnya untuk kemaslahatan umat, tetapi kita tidak boleh mencari keuntungan di Muhammadiyah untuk kepentingan diri sendiri, sebab Muhammadiyah dibangun untuk kepentingan umat, bukan untuk kepentingan individual.