Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (1)
Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra
Adakah yang mengira bahwa pernikahan merupakan langkah terakhir untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat? Boleh jadi, cukup banyak di antara pemuda yang mengira demikian. Akibatnya, ketika banyak masalah besar yang dihadapinya setelah menikah, mereka tidak siap mental dan pernikahannya hanya berusia seumur jagung. Bahkan, mungkin ada yang kurang dari usia jagung.
Sementara itu, di antara pasangan suami istri yang telah berumur dua dasawarsa atau bahkan lebih pun ada yang berakhir dengan perceraian. Ada sejuta alasan terjadinya perceraian itu. Namun, sangat mungkin perceraian itu terjadi karena belum dipahaminya sejak awal berbagai hal yang terkait dengan pernikahan.
Pada Ikhtiar Awal menuju Keluarga Sakinah(1) ini diuraikan hal menikah sebagai ibadah.
Anjuran Menikah
Menikah merupakan salah satu ibadah karena melaksanakan perintah Allah SubḥānahuwaTaʻāladan mengikuti sunah Rasul-Nya.
Allah SubḥānahuwaTaʻāla berfirman dalamAl-Qurʻan surat ar-Rum (30): 21,
وَمِنْ اٰيٰتِهٖۤ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَا جًا لِّتَسْكُنُوْۤا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰ يٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk mu istri-istri dari jenis mu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Sementara itu, di dalam HR al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah dan Tirmizi dijelaskan bahwa Rasūlullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kalian telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah menikah karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa di antara kalian yang belum mampu, maka hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat menjadi penghalang untuk melawan gejolak nafsu.”
Pada hadis lain, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu, dijelaskan, yang artinya:
“Ada tiga orang atau lebih datang ke rumah istri Rasūlullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallamyang bertanya tentang ibadah beliau. Ketika diberitahukan, seolah-olah mereka membanggakan ibadahnya masing-masing seraya berucap, Dibandingkan dengan beliau, maka di manakah posisi kita, sedangkan beliau telah diberi ampunan atas dosa-dosa yang akan datang dan yang telah berlalu. Salah seorang di antara mereka berkata, Aku senantiasa melakukan shalat malam satu malam penuh. Yang lain berkata, Aku selalu berpuasa sepanjanng masa dan tidak akan berbuka. Yang lain berkata, Aku senantiasa menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya. Kemudian, Rasūlullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallamdatang dan bersabda, Kalian ini orang yang mengatakan begini dan begitu. Ingat, demi Allah. Sesungguhnya, aku adalah orang yang sangat takut dan bertakwa kepada Allah daripada kalian. Akantetapi, aku berpuasa dan berbuka, mengerjakan shalat dan tidur, serta menikahi wanita. Barangsiapa yang tidak suka pada sunnatku, maka mereka bukan termasuk golonganku.”
Berdasarkan firman Allah SubḥānahuwaTaʻāladan sabdaRasūlullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang artinya telah dikutip, sangat jelas bagi kita bahwa menikah merupakan perintah yang bersifat anjuran. Jadi, melaksanakannya berarti beribadah. Pemahaman yang demikian tentu hanya dimiliki oleh orang yang menggunakan semua hidayah dari Allah SubḥānahuwaTaʻāla secara benar. Dengan kata lain, orang tersebut memiliki dan menggunakan kecerdasan intelektual, emosi, sosial, dan spiritual secara benar.
Fenomena Menjemput Jodoh
Di dalam kenyataan ada di antara calon pasangan suami istri yang sejak langkah awalnya tidak menyadari bahwa menikah adalah beribadah. Akibatnya, ada di antara mereka yang selalu hanya menggunakan kecerdasan intelektualnya. Apa yang dilakukannya? Mereka membuat standar sendiri yang semuanya hanya didasarkan logika pikirannya. Apa pun yang tidak sesuai dengan logika pikirannya dianggap tidak perlu dipertimbangkan.
Bukankah ada orang yang ketika berusaha menemukan pendamping hidupnya tanpa melalui doa? Mereka membuat kriteria mutlak bahwa calon pendamping hidupnya yang baik adalah orang yang berpendidikan formal (tinggi), berpekerjaan formal (berjabatan tinggi), dan berstatus sosial terhormat, sedangkan kelurusan akidah, ketekunan ibadah, dan kemuliaan akhlak, sama sekali tidak dijadikan pertimbangan.
Berkenaan dengan kriteria yang demikian, mereka tidak pernah mohon kepada Allah SubḥānahuwaTaʻāla agar dipertemukan dengan orang terbaik menurut-Nya. Bahkan, ketika melihat orang yang akidahnya lurus, ibadahnya tekun, dan akhlaknya mulia, mereka tidak tertarik sama sekali. Ketika melihat ada orang rajin bersedekah mereka menganggapnya sebagai pemborosan. Pendek kata, mereka mengukur kebahagiaan hidup berumah tangga hanya dengan kecerdasan intelektualnya.
Orang-orang yang hanya menggunakan kecerdasan intelektual tidak percaya bahwa ada kehidupan di akhirat. Oleh karena itu, mereka mau melakukan apa saja demi tercapainya tujuan. Dengan kata lain, mereka mau menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan yang sesuai dengan logika pikirannya.
Sementara itu, ada juga orang yang hanya menggunakan kecerdasan emosinya. Untuk mendapatkan calon pendamping hidupnya, mereka mengutamakan perasaan. Jika sudah merasa tertarik kepada seseorang, mereka tidak peduli lagi pada pertimbangan akal sehat apalagi agama. Tidak peduli apakah ucapan dan/atau tindakannya menyakiti perasaan orang lain. Malahan, tidak peduli juga bahwa ucapan dan/atau tindakannya menyakiti perasaan orang tuanya sendiri.
Berbeda halnya orang yang menggunakan kecerdasan spiritual. Mereka berikhtiar secara komprehensif sejak menjemput jodoh. Mereka sadar akan hidayah yang diterima dari Allah SubḥānahuwaTaʻāla, yakni nafsu, pancaindra, akal, dan ad-din adalah sesuai dengan kebutuhannya.
Kesadaran itu membimbingnya sejak ikhtiar awalnya menjemput jodoh. Mereka sadar bahwa sebagai manusia, padanya ada kebutuhan biologis. Dengan hidayah yang berupa pancaindra, mereka dapat melakukan ikhtiar awal untuk menjemput jodoh. Namun, ikhtiarnya itu dilakukan secara cerdas; tidak asal-asalan. Meskipun demikian, mereka sadar akan keterbatasan pancaindra dan akalnya, juga sadar akan bahaya yang timbul jika nafsu tidak dikendalikan atau hanya dikendalikan oleh akalnya. Oleh karena itu, mereka menggunakan hidayah ad-adiin. Baginya, menikah merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, semua ucapan dan/atau tindakannya dalam hubungannya dengan menikah bernilai ibadah juga. Ketika menjemput jodoh, mereka senantiasa berdoa agar memperoleh “kiriman” jodoh dari Allah SubḥānahuwaTaʻāla. Mereka yakin seyakin-yakinnya bahwa Dia Maha Baik, maka mereka mohon diberi jodoh terbaik menurut-Nya. Mereka pun yakin seyakin-yakinnya bahwa Dia adalah tempat memohon. Mereka yakin seyakin-yakinnya bahwa Dia bersifat Maha Mengabulkan. Dengan keyakinan itu, mereka mohon kepada-Nya dan yakin bahwa doanya pasti dikabulkan.
Tidak hanya berdoa yang dilakukannya. Mereka bergaul sesuai dengan tuntunan Islam. Di dalam pergaulannya mereka berakhlak mulia (akhlaqul karimah). Dari hal yang mungkin dianggap remeh misalnya berpakaian, berbicara, duduk, berjalan, atau yang lain lagi, mereka selalu mengamalkan ajaran Rasūlullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Mungkin padanya ada kelemahan dalam kecerdasan intelektual. Hal itu disadarinya. Oleh karena itu, mereka berikhtiar agar unggul dalam kecerdasan emosi, sosial, dan lebih-lebih spiritual.
Kesalehannya itu tidak hanya menyenangkan sesama muslim, tetapi juga orang nonmuslim. Dengan kata lain, mereka dapat menjadi representasi muslim yang kaffah.
Allahu aʻlam
Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah,tinggal di Magelang Kota
Iyus Herdiyana Saputra, dosen al-Islam dan Kemuhammadiyah Universitas Muhammadiyah Purworejo