Mentransformasikan Nilai Silaturahmi dalam Keindonesiaan

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
124
Prof Dr Haedar Nashir M.Si

Prof Dr Haedar Nashir M.Si

JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Silaturahmi merupakan ekspresi dari sebuah kebaikan yang utama. Sebagaimana konsep ini telah menjadi bagaian dari kehidupan dan kebiasaan seorang Muslim. Ketika ada orang yang berbuat baik, maka kita diharuskan membalasnya dengan kebaikan yang lebih besar. Dan sebaliknya, jika ada orang yang berbuat keburukan, maka kita mesti bisa membalasnya dengan kebaikan. Walaupun Islam memperbolehkan seseorang untuk membalas sebuah keburukan dengan keburukan yang sebanding, namun Islam selalu mengutamakan prinsip kemaslahatan dan nilai utama. 

Inilah yang menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir disebut sebagai ihsan. “Silaturahmi harus mengandung prinsip ihsan dan menebarkannya kepada siapa saja,” ujar Haedar dalam acara Silaturahmi Idulfitri 1446 H di Universitas Muhammadiyah Jakarta (19/4). 

Dalam konteks ini, ia menegaskan bahwa ihsan adalah sebuah sikap dan sifat lemah lembut, cinta damai, toleran, serta selalu mengedepankan keadaban luhur dalam setiap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

“Betapa luhur nilai silaturahmi itu, yang setiap tahun kita adakan acaranya lewat halal bihalal, syawalan, dan lain sebagainya,” tegasnya. 

Menyangkut silaturahmi, ada hal yang mendesak untuk segera dilakukan transformasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di antaranya melalui jalan agama dan kebudayaan. 

Dulu, sebelum Islam datang, Hindu menjadi agama terbesar di Nusantara. Saat ini, Islam menjadi yang terbesar secara kuantitas. Pada waktu itu, peralihan dari Hindu ke Islam berjalan begitu damai. Begitu juga setelahnya, saat Kristen dan Katolik datang ke Indonesia. Inilah yang Haedar sebut sebagai nilai luhur dan nilai hidup dari umat beragama yang dalam perjalanannya tidak pernah ada perang dan konflik serius. 

Hal ini tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan umat beragama dalam mentransformasikan nilai-nilai agama dengan budaya luhur bangsa. “Keragaman etnis dan agama yang ada di Indonesia menggambarkan bahwa bangsa ini bisa bersatu,” ucapnya bangga. 

Untuk bisa sampai kepada nama “Indonesia” para tokoh bangsa bersatu. Dimulai pada tahun 1920-an, ketika seluruh tokoh pergerakan memilih nama Indonesia, itu dikarenakan dua semangat. Pertama, semangat identitas diri. Upaya untuk menunjukkan bahwa rakyat Indonesia berhak merdeka. Kedua, semangat persatuan, yang kemudian dimodifikasi secara kuat melalui momentum Sumpah Pemuda dan Kongres Perempuan tahun 1928. 

“Secara official, wujud dari silaturahmi kebangsaan kita adalah untuk merawat dan menjaga kesatuan pemikiran serta wawasan ke-Indonesiaan,” paparnya. (diko


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

TURKIYE, Suara Muhammadiyah - Andi Azhar, dosen sekaligus Kepala Kantor Urusan Internasional Univers....

Suara Muhammadiyah

3 January 2025

Berita

SURAKARTA, Suara Muhammadiyah – Universitas Aisyiyah Surakarta (AISKA) mengadakan Sidang Senat....

Suara Muhammadiyah

22 February 2024

Berita

BANDUNG, Suara Muhammadiyah – Bencana alam terjadi dimana saja dan kapan saja secara tak terdu....

Suara Muhammadiyah

19 February 2024

Berita

TEGAL, Suara Muhammadiyah - Program Studi Magister Hukum Universitas Ahmad Dahlan telah melaksa....

Suara Muhammadiyah

26 February 2025

Berita

SLEMAN, Suara Muhammadiyah – Tim dosen Pengabdian kepada Masyarakat Departemen Ilmu Komunikasi....

Suara Muhammadiyah

20 October 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah