JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Silaturahmi merupakan ekspresi dari sebuah kebaikan yang utama. Sebagaimana konsep ini telah menjadi bagaian dari kehidupan dan kebiasaan seorang Muslim. Ketika ada orang yang berbuat baik, maka kita diharuskan membalasnya dengan kebaikan yang lebih besar. Dan sebaliknya, jika ada orang yang berbuat keburukan, maka kita mesti bisa membalasnya dengan kebaikan. Walaupun Islam memperbolehkan seseorang untuk membalas sebuah keburukan dengan keburukan yang sebanding, namun Islam selalu mengutamakan prinsip kemaslahatan dan nilai utama.
Inilah yang menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir disebut sebagai ihsan. “Silaturahmi harus mengandung prinsip ihsan dan menebarkannya kepada siapa saja,” ujar Haedar dalam acara Silaturahmi Idulfitri 1446 H di Universitas Muhammadiyah Jakarta (19/4).
Dalam konteks ini, ia menegaskan bahwa ihsan adalah sebuah sikap dan sifat lemah lembut, cinta damai, toleran, serta selalu mengedepankan keadaban luhur dalam setiap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
“Betapa luhur nilai silaturahmi itu, yang setiap tahun kita adakan acaranya lewat halal bihalal, syawalan, dan lain sebagainya,” tegasnya.
Menyangkut silaturahmi, ada hal yang mendesak untuk segera dilakukan transformasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di antaranya melalui jalan agama dan kebudayaan.
Dulu, sebelum Islam datang, Hindu menjadi agama terbesar di Nusantara. Saat ini, Islam menjadi yang terbesar secara kuantitas. Pada waktu itu, peralihan dari Hindu ke Islam berjalan begitu damai. Begitu juga setelahnya, saat Kristen dan Katolik datang ke Indonesia. Inilah yang Haedar sebut sebagai nilai luhur dan nilai hidup dari umat beragama yang dalam perjalanannya tidak pernah ada perang dan konflik serius.
Hal ini tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan umat beragama dalam mentransformasikan nilai-nilai agama dengan budaya luhur bangsa. “Keragaman etnis dan agama yang ada di Indonesia menggambarkan bahwa bangsa ini bisa bersatu,” ucapnya bangga.
Untuk bisa sampai kepada nama “Indonesia” para tokoh bangsa bersatu. Dimulai pada tahun 1920-an, ketika seluruh tokoh pergerakan memilih nama Indonesia, itu dikarenakan dua semangat. Pertama, semangat identitas diri. Upaya untuk menunjukkan bahwa rakyat Indonesia berhak merdeka. Kedua, semangat persatuan, yang kemudian dimodifikasi secara kuat melalui momentum Sumpah Pemuda dan Kongres Perempuan tahun 1928.
“Secara official, wujud dari silaturahmi kebangsaan kita adalah untuk merawat dan menjaga kesatuan pemikiran serta wawasan ke-Indonesiaan,” paparnya. (diko)