Menuntut Ilmu dan Jalan Penuh Liku
Kampus UGM, Bulaksumur-Jogja, medio 1999. Aku naik ke lantai dua Gedung Fisipol. Dari Mbak Neny staf program studi aku menerima selembar surat pemberitahuan. Isinya tentang nasibku sebagai calon mahasiswa Pasca Sarjana (PPS) UGM. Gedung ini berdekatan dengan Gedung Fakultas Psikologi yang dulu sekali, pada 1985, aku masuki untuk mengikuti tes Sipenmaru masuk perguruan tinggi. Kala itu pilihan pertamaku MIPA Matematika UGM dan pilihan keduaku adalah Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Kedua universitas ini tidak mau menerimaku sebagai mahasiswa baru mereka. Masa ini memang periode paling menantang dalam sejarah hidupku. Kini pada 1999 aku kembali kesini sebagai calon mahasiswa UGM. Di luar Gedung Fisipol aku membuka surat pemberitahuan dari PPS UGM itu. Isinya singkat, “Anda diterima sebagai mahasiswa PPS Sosiologi Universitas Gadjah Mada.” Aku tak kuasa menahan derai air mata. Ini adalah mimpi lama yang menjadi nyata. Setelah empat belas tahun.
Sejak awal perjalananku sekolah memang penuh liku. Terutama untuk mewujudkan cita-cita ketika pertama masuk Jogja. Setamat SD di kampung halaman Pulau Sangkar-Kerinci, aku dibawa kakak nomor empatku sekolah di Jogja. Sebagai juara umum SD di pedalaman aku ternyata masih selalu menjadi juara ketika di SMP IV PIRI Jogja. Lalu aku diterima di SMA Muhi, salah satu SMA Favorit di Jogja. Disini aku tidak lagi bisa fokus belajar. Aku mulai sekolah sambil survival. Bisa jadi ini alasan saja untuk membenarkan ketidakberhasilan. Masa ini aku memang miskin prestasi akademik. Tetapi kaya pengalaman hidup. Aku juga tetap memelihara cita-cita awal masuk Jogja untuk bisa lanjut kuliah. Setiap habis shalat doaku selalu kongkrit. “Semoga bisa diterima di MIPA matematika UGM.” Sesederhana itu. Tetapi cita-cita adaah suatu hal. Sedangkan tercapainya cita-cita suatu hal yang lain. Kadang mereka seiring sejalan. Tetapi lebih sering bersimpang jalan.
Pada 1985 aku tamat SMA Muhammadiyah 1 (Muhi) Jogja. Tidak seperti banyak teman aku tidak bisa lanjut kuliah. Keluarga meminta aku mundur selangkah, pulang kampung. Direncanakan setelah kondisi ekonomi membaik aku berangkat lagi ke Jogja. Aku memilih bertahan di Jogja. Bekerja sebagai tukang ketik di Madrasah Muallimin. Untuk sementara melupakan kuliah, melupakan UGM. Setahun kemudian nasib baik membawaku kuliah dengan beasiswa penuh di Pondok Shabran UMS-Solo. Tetapi tidak di jurusan Matematika. Sebagai alumni SMA jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) aku kuliah pada Juruan IPA (Ilmu Perbandingan Agama). Aku menerima taqdir ini dengan ikhlas. Fokus menjalani perkuliahan sekaligus menjadi mahasiswa aktivis. Aku selesai studi tepat waktu sekaligus menemukan jodoh teman satu kelas. Tiga bulan setelah lulus, taqdir baik kembali menghampiriku. Aku diterima menjadi dosen di UMY, di Jogja kota idamanku sejak dulu.
Sebagai dosen, tentu peluangku untuk sekolah lebih lanjut kembali terbuka. Pada tahun ketiga aku mengikuti program Pembibitan Dosen Kemenag-UIN Sunan Kalijaga. Peserta program adalah dosen-dosen muda yang diproyeksikan untuk kuliah di luar negeri. Diawali dengan kursus bahasa intensif. Pada tahap berikutnya kami akan dikursuskan lanjut di Bali. Tetapi dengan perjanjian siap menjadi PNS yang ditugaskan di UIN Suka. Pada masa ini belum ada skema dosen PNS UIN yang dikaryakan di PTS seperti UMY. Sedangkan pada dua angkatan program sebelumnya dua temanku sesama dosen FAI UMY sudah beralih menjadi dosen UIN Suka. Aku lalu memilih mundur dari program. Aku merasa dulu waktu S-1 dikuliahkan Muhammadiyah dan merasa kurang etis meninggalkan UMY sebagai Amal usaha Muhammadiyah untuk mengejar karir di luar UMY. Pada sisi lain sebagai dosen aku juga sudah dipercaya memegang jabatan struktural di UMY.
Pada akhir 1997 peluangku sekolah lagi kembali datang. Datang untuk pergi lagi. Pemerintah mewajibkan dosen harus tamat S-2. UMY lalu membiayai dosennya studi lanjut. Di FAI UMY dilakukan seleksi berdasar score TOEFL. Karena memiliki score tertinggi aku membayangkan bahagianya kembali menjadi mahasiswa. Apalagi mahasiswa S-2. Tetapi aku dipanggil Pak Dasron, Rektor UMY kala itu. Beliau mengakui aku berhak berangkat tahun itu. Tetapi beliau meminta aku untuk masih bersabar. Fakultas masih membutuhkan aku menjadi Pembantu Dekan (PD) Bidang Kemahasiswaan. Akupun menjawab bahwa perasaanku untuk sekolah lagi kuat sekali. Aku melanjutkan, “tetapi karena ini perintah pimpinan maka sami’na wa atha’na.” Aku kembali menjadi pembantu dekan. Jabatan ini aku pegang sampai 11 tahun. Mengalami empat Wakil Rektor: dari Pak Musthafa, Pak Said, Pak Irut, Bang Ahmad Husni, sampai Dindo Husni Amriyanto.
Pada 1999 giliranku sekolah datang kembali. Aku mencari program studi yang terkait mata kuliah yang aku pegang yaitu Sosiologi Agama. Aku lalu mendaftar di dua Program Pasca Sarjana (PPS). Pertama, PPS Sosiologi dan Antropologi Universitas Pajajaran-Bandung. Disini aku diterima. Alhamdu lillaah. Kedua, PPS Sosiologi UGM-Jogja. Alhamdu lillaah aku juga diterima. Tentu akhirnya aku memilih UGM. Biaya lebih efisien dan bisa tetap bersama keluarga di Jogja. Di balik itu diterima di UGM memiliki makna mendalam bagiku. Sejak masuk SMP di Jogja pada 1979 obsesiku sebagai anak dusun adalah menjadi mahasiswa UGM. Maka pada 1985 setamat SMA aku ikut Sipenmaru. Aku tidak diterima di Jurusan Matematika FMIPA UGM idamanku. Kini, empat belas tahun kemudian, aku diterima sebagai mahasiswa UGM. Bahkan pada program S-2. Inilah yang membuat deraian air mataku tak terbendung sebagaimana aku tuliskan pada intro tulisan ini.
Prodi Sosiologi yang aku masuki adalah minat khusus Agama dan Perubahan Sosial. Ini merupakan program kerjasama Kemenag/UIN Sunan Kalijaga dengan UGM. Maka aku beruntung bisa belajar pada dosen yang berasal dari UIN Suka danjuga dari UGM. Aku memperoleh ilmu dari dua sumber yang otoritatif. Dari UIN Suka, misalnya dosen kami adalah Prof Atho Muzhar, Ph.D Rektor UIN Suka masa itu. Sedangkan dari UGM kami diajar langsung Prof. Sunyoto Usman Dekan Fisipol UGM kala itu. Dosen kami lainnya Pak Heru Nugrorho Ph.D. alumni Jerman yang menjadi Kaprodi Sosiologi UGM. Dari mereka dan para dosen senior lainnya kami mendapatkan wawasan tentang teori-teori sosiologi dan studi agama dalam perspektif ilmu sosial. Kuliah kami meliputi Teori Sosiologi Klasik, Moderen, dan Posmoderen. Lalu Metodologi Peneiltian, baik kualitatif, kuantitatif, maupun penelitian keagamaan. Tentu saja ada mata kuliah pokok Agama dan Perubahan Sosial.
Teman kuliahku berasal dari berbagai institusi. Dari FAI-UMY aku berdua dengan Bu Bahiroh. Kang Sugiyanto dan Pak Nurjidin dari UCY, Bang Ridwan dari STAI Masjid Syuhada, Pak Sutarjo, Pak Hasyim, dan Pak Goffar-STAIM Wates, Pak Hery dan Kyai Parman dari STAI-Wonosari, Bu As, Pak Mundzirin, Pak Suryanto, Kang Isnanto, Pak Suyanto, dan Pak (?) dari UIN Suka, Pak Jupri dari IAIN Bengkulu, dan Ayuk Binti dari IAIN Lampung. Dari fresh graduate ada Nurkholish-Bantul, Aldi-Jambi, dan Islamiyah-Lamongan. Dua tahun kemudian pada 2001 aku menjadi lulusan pertama setelah menulis tesis “Integrasi Muslim dan Kristen di RW-2 Ngampilan Yogyakarta.” Penelitian dilakukan di kampung dimana aku tinggal di tengah kota Jogja. Sekembali ke UMY dalam hitungan bulan aku kembali diminta menjadi Wakil Dekan bidang kemahasiswaan. Aku menggantikan Pak Muh Sam yang berangkat sekolah S-2. Sebelumnya beliau menggantikan posisiku selama aku menjalani studi S-2.
Lima tahun kemudian, pada 2006 aku kembali berangkat sekolah. Ini seperti menemukan momentum paska sebelas tahun (1993-1999, 2001-2006) menjadi pembantu dekan yang mulai menjenuhkan. Periode ini memang periode penuh gejolak. Periode menjelang, saat, dan paska Reformasi. Jogja, khususnya UMY adalah “sarang” demonstran. Sesekali bahkan kami sebagai pimpinan didemo mahasiswa sendiri. Maka kembali sekolah menjadi sangat menyenangkan. Apalagi sekolah pada strata tertinggi, S-3. Untuk ini aku kembali ke Bulaksumur. Masuk Program Doktor Sosiologi UGM. Kali ini program reguler. Pesertanya adalah mahasiswa umum dari berbagai kampus. Teman se angkatanku adalah Nirzalin-dosen IAIN Lhokseumawe, Hempri-dosen Fisipol UGM, Argyo-dosen UNS, Pajar-alumni UNS, Supartini-PNS Depsos, Sri-dosen Unmul, Chandra-dosen di Kupang, dan Nurun-dosen Universitas Hamzawi Lombok.
Berdasar pengalaman sekolah berliku-liku ini terpatri keyakinan dalam diriku. Bahwa selalu ada jalan bagi para penuntut ilmu. Awalnya ini terinspirasi oleh pengalaman Upoak ayahku sendiri. Ketika di Sumatera Thawalib Padang Panjang era 1930-an, Upoak berjuang membiayai sendiri sekolahnya. Aku ceritakan ini dalam “UPOAK Buya Pegiat Masyarakat.” Aku juga terinspirasi oleh Wo Damunir, senior satu rumah ketika di Blok G Pengok. Kalau itu aku kelas satu SMP dan beliau mahasiswa FIPA Kimia UGM. Demi membiayai kuliah Wo Munir rela menjadi kuli bangunan dan tukang becak. Tentang ini aku sudah tuliskan dalam “WO MUNIR DAN UNI RUK Senior Tangguh dari Tanjung Pauh.” Pada giliran selanjutnya diriku sendiri nampaknya dijadikan inspirasi oleh para yuniorku. Terutama para kemenakan yang melanjutkan sekolah di Jogja meski ekonomi orang tua pas-pasan. Tentang ini tulisanku misalnya adalah “MELGAN Melompati Mimpi.”
Ruang PPS Fisipol UGM, 2012. Aku berdiri di podium menghadap tujuh penguji dalam Ujian Terbuka Promosi Doktor. Prof Susetiawan sebagai Promotor dan Prof San Afri Awang sebagai Co-Promotor. Para penguji terdiri dari Prof Partini, Najib Azka, Ph.D., Dr. Suharko, Dr. M. Supraja, dan Dr. Mahendra. Sedangkan Prof Agus Purwanto dekan Fisipol UGM menjadi ketua sidang. Disini aku merasa makin tinggi sekolah makin harus banyak belajar. Ketika Prof Agus mengumumkan aku lulus dengan predikat Sangat Memuaskan, air mataku kembali berderai. Di depan majelis aku tersungkur, bersujud syukur pada Allaah atas anugerah tiada tara ini. Di belakangku seratusan tamu undangan menjadi saksi. Mereka mewakili sepanjang jalan penuh liku sejarah sekolahku. Sejak SD sampai S-3. Kali ini tiga orang paling berbahagia: Kis Rahayu istriku yang dulu teman sekelas saat kuliah S-1 dan dua generasi penerus kami, Dilla dan Fia. Kepada mereka pencapaian itu aku persembahkan.
Hotel Millenium Jakarta, 27 Oktober 2023
Mahli Zainuddin Tago