Merawat Adab di Tengah Ragam Tradisi Pesantren

Publish

18 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
123
Istimewa

Istimewa

Merawat Adab di Tengah Ragam Tradisi Pesantren

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso, Wakil Sekretaris LPCRPM PP Muhammadiyah

Saya pernah menjadi santri, belajar di pondok, dan hidup selama 24 jam selama delapan tahun di dalam lingkungan pesantren. Sejak 1980–1988, saya menjalani satu tahun di Pondok Walisongo Ngabar, enam tahun di Pondok Gontor, dan satu tahun di Pondok Daarunnajah Jakarta. Ketiga pesantren tersebut memiliki ciri pendidikan dan pengasuhan yang sama seperti Gontor.

Pondok-pondok ini menamakan dirinya sebagai pondok “modern” karena sistem pendidikannya memadukan kurikulum klasik dengan metode pengajaran modern, termasuk disiplin, cara berorganisasi, penguasaan bahasa asing, dan penekanan pada kegiatan yang terstruktur. Melalui model itu, para lulusannya diharapkan mampu menjadi pribadi Islami, terampil, dan siap menghadapi perkembangan zaman di komunitasnya nanti.

Saya ingin menyoroti satu aspek saja, yakni terkait dengan penciptaan tradisi penghormatan yang tercermin dalam relasi antara murid, guru dan kiai. Pesantren Gontor agak berbeda dengan pondok-pondok yang sering disebut sebagai pesantren salaf. Saya mendefinisikannya sebagai lembaga pendidikan Islam yang mempertahankan sistem pengajaran klasik dengan fokus pada kitab kuning.

Pengajaran di pesantren salaf biasanya menggunakan berbagai metode, antara lain sorogan (metode privat satu-satu dengan kiai), wetonan atau bandongan, yaitu pengajian secara kolektif di mana kiai membaca, sedangkan para santri menyimak, serta metode hafalan dan diskusi. Dalam tradisi pesantren salaf, memang ditanamkan budaya kekeluargaan, kebersamaan, dan sikap saling tolong-menolong di antara para santri. Bersikap hormat kepada guru, kiai, dan keluarganya adalah adab yang dijunjung tinggi.

Model belajar di pesantren salaf seperti itu tidak pernah saya alami selama delapan tahun mondok di pesantren ala Gontor. Di Gontor, saya mendalami ilmu agama dalam arena pembelajaran seperti di kelas-kelas umum. Para murid duduk di bangku kelas dengan rapi, guru mengajar dengan teknik pengajaran biasa, menggunakan banyak instrumen, terkadang menghafal, atau membuka buku. Sebagian buku berbahasa Arab telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sehingga fokus belajarnya lebih menekankan pada kajian dan pemahaman. Ada ujian enam bulanan dan tahunan untuk menentukan kenaikan kelas para santri.

Di Gontor, pola pengasuhan santri dilakukan dengan disiplin ketat, mirip sekolah kedinasan. Kapan santri harus bangun tidur, salat Subuh, mengaji, olahraga, sarapan, belajar di kelas, makan siang, masuk kelas lagi, olahraga sore, mandi sore, salat Magrib, mengaji lagi, makan malam, salat Isya berjemaah, belajar lagi hingga pukul 22.00 malam, semua sudah terjadwal rapi. Seluruh aktivitas pondok harus berhenti pada jam itu. Para guru dan santri harus tidur hingga waktu menjelang Subuh. Rutinitas itu berjalan sesuai waktu yang telah ditentukan. Tidak boleh ada yang melebihi jadwal, kecuali dalam kondisi darurat yang bisa ditoleransi.

Salah satu ciri pembeda lainnya adalah dalam hal relasi antara guru dan murid. Di pesantren ala Gontor, hubungan antara guru dan murid cukup cair dan egaliter. Saya tidak pernah mencium tangan guru atau Pak Kiai selama menjadi santri. Bahkan, saya bisa duduk di sebelah Kiai Imam Zarkasyi saat salat Jumat. Usai salat, saya hanya bersalaman biasa tanpa mencium tangan, lalu pergi. Saat Pak Kiai hendak meninggalkan masjid, beliau juga akan berbaur dan melewati kerumunan para santri yang berjalan bareng menuruni tangga masjid. Bahkan ketika Pak Kiai berjalan-jalan pagi sambil berolahraga, para santri yang sedang berpapasan pun tetap melanjutkan aktivitasnya. Mereka yang sedang belajar, nongkrong, atau berolahraga pun tetap pada posisi semula, paling hanya mengucapkan salam.

Budaya semacam ini tentu tidak akan pembaca temui di pesantren salaf. Budaya penghormatan kepada para kiai dan keluarganya sangat berbeda jauh. Prinsipnya, para santri di pondok mana pun meyakini bahwa menghormati kiai adalah keniscayaan yang berlaku universal. Ajaran itu memang menjadi perintah agama. Namun, praktik penghormatan itu terwujud dalam beragam cara dan banyak dipengaruhi oleh budaya setempat. Pondok-pondok pesantren di Sumatra, Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara akan memiliki budaya penghormatan yang berbeda dibanding pondok pesantren di Pulau Jawa. Saya tidak akan menilai mana yang lebih baik, apalagi menakarnya dengan standar benar atau salah, atau mana yang paling sesuai dengan ajaran agama atau tidak.

Membijakkan Perbedaan

Hemat saya, belajar untuk melihat semua perbedaan yang ada di setiap pondok pesantren dengan bijaksana itu jauh lebih penting. Saya tidak perlu menilai perbedaan tersebut dengan kacamata tunggal, apalagi dilandasi dengan rasa senang atau tidak senang. Sekali lagi, yang mutlak adalah menghormati orang lain, terlebih kepada guru dan para kiai, karena mereka telah berjasa dalam memberikan ilmu pengetahuan, membimbing para santri agar menjadi pribadi yang jujur, amanah, dan bertanggung jawab.

Meski ajaran tentang penghormatan kepada para kiai itu mutlak, tetap ada prasyarat umum yang wajib dipenuhi agar penghormatan itu bisa terwujud. Salah satunya adalah keteladanan dalam mempraktikkan ajaran kebajikan agama dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan dalam pribadi seorang guru ataupun kiai (dan keluarganya) itu juga berlaku mutlak, melebihi mitos tentang keistimewaan para guru, kiai, serta anak cucu mereka. Siapa pun mereka yang hidup di lingkungan pondok, apakah keturunan kiai atau bukan, jika tidak mampu memberikan keteladanan, maka mereka juga tidak akan bisa mendapatkan penghormatan dan penghargaan dari para santri.

Dunia pendidikan di negeri ini memang masih harus terus belajar kedewasaan dan kebijaksanaan dalam menyikapi perbedaan. Termasuk menghargai perbedaan dalam menyimpulkan suatu peristiwa, serta kearifan dalam menyikapi pandangan atau kesan orang yang berbeda dengan kita. Tayangan televisi dan komentar para pengguna media sosial yang meliput soal tradisi relasi para santri dan kiai di sebuah pesantren telah menegaskan betapa beragamnya pandangan setiap orang atas satu objek atau peristiwa yang sama. Kedewasaan kita semua dalam menyikapi sebuah perbedaan memang betul-betul diuji.

Perbedaan cara mendidik dan mengasuh adalah keniscayaan di dalam dunia pesantren yang kaya akan ragam tradisi, sistem, dan nilai. Belajar memahaminya bukan berarti harus kehilangan prinsip, tetapi justru memperkaya perspektif dalam memandang hidup yang beragam. Pastinya, saya harus tetap berusaha merawat adab dalam melihat keberagaman cara mendidik, mengasuh, dan membangun relasi di lingkungan pesantren. Termasuk belajar menjadi lebih bijaksana dalam memahami sudut pandang orang lain yang mungkin sangat jauh berbeda dengan pandangan saya yang sudah memahami dunia pesantren.

Sebagaimana ilmu yang tak hanya perlu dipelajari, tetapi juga harus diamalkan, begitu pula dengan sikap bijaksana: ia bukan sekadar wacana, tetapi harus tumbuh dalam laku keseharian, dalam cara bersikap terhadap guru, terhadap sesama, dan terhadap mereka yang berbeda pandangan. Kemuliaan seseorang tak hanya diukur dari banyaknya ilmu yang dimiliki, tetapi dari sejauh mana ia mampu menjaga adab dan menghargai perbedaan dengan hati yang lapang.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Antara Ilmu dan Amal Oleh: Suko Wahyudi/PRM Timuran Yogyakarta   Ilmu merupakan pondasi utam....

Suara Muhammadiyah

14 April 2025

Wawasan

Menggabungkan Fintech dan Prinsip Syariah dalam Keuangan Modern Oleh: Muhammad Zakiy Dalam era mod....

Suara Muhammadiyah

30 October 2023

Wawasan

Jangan Tertipu oleh Perasaan Sendiri Oleh: Suko Wahyudi/PRM Timuran Yogyakarta  Sering kali m....

Suara Muhammadiyah

11 April 2025

Wawasan

Lailatul Qadar Untuk Semua Oleh: Kumara Adji Kusuma, Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo dan Wa....

Suara Muhammadiyah

30 March 2025

Wawasan

Oleh: Mohammad Nur Rianto Al Arif Ketua PD Muhammadiyah Jakarta Timur Dakwah kultural menjadi top....

Suara Muhammadiyah

19 March 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah