Moderasi Beragama di Ruang Akademik Global: Refleksi dari Jepang dan Amerika Serikat

Publish

18 December 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
96
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Moderasi Beragama di Ruang Akademik Global: Refleksi dari Jepang dan Amerika Serikat

Oleh: dr. Endin Nokik Stujanna, Ph.D., merupakan Postdoctoral Researcher di CUNY School of Medicine, pengurus PCIM Amerika, serta dosen Fakultas Kedokteran UHAMKA.

Tidak pernah ada bayangan sebelumnya bagi saya untuk mencoba menempuh pendidikan serta menjejakkan karir di luar negeri. Bayangan ketakutan serta kekhawatiran selalu menghalangi niat dan motivasi saya sebagai seorang Muslimah untuk mencoba kehidupan baru sebagai minoritas di luar tanah air.  Namun takdir berkata sebaliknya, kurang lebih 12 tahun lalu dari awalnya menemani suami tugas belajar, awal perjalanan saya pun dimulai.

Jepang: Negara budaya dan adat istiadat tinggi

Jepang adalah negara pertama kami singgahi selama kurang lebih 6 tahun. Dalam 6 tahun tersebut, saya menghabiskan 4 tahunnya untuk menempuh pendidikan doctoral di kota Tsukuba, sebuah kota pendidikan yang berjarak sekitar 1 jam perjalanan dari Tokyo. Tinggal dan menempuh pendidikan di kota Tsukuba, kami nyaris tidak mengalami kesulitan berarti dalam menjalani kehidupan sebagai keluarga muslim.

Hal tersebut lebih dikarenakan terdapat adanya komunitas muslim Indonesia dengan jumlah anggota yang cukup besar yang telah silih berganti tinggal di kota tersebut. Para penduduk kota tersebut pun telah terbiasa dengan gaya hidup muslim baik dari segi berbusana maupun cara beribadah. Terdapat toleransi yang cukup tinggi dimana meskipun mereka tidak secara formal menyediakan fasilitas resmi untuk ibadah di kampus, namun toleransi dalam memberikan kesempatan menjalankan ibadah nampaknya telah cukup bagi kami sebagai golongan minoritas.

Hal menarik lainnya adalah nilai-nilai kehidupan tinggi yang mereka junjung. Berkali-kali kami kehilangan barang, berkali-kali pula barang tersebut kembali ke tangan kami. Terdapat tuntutan atas kejujuran yang telah turun menurun mengakar di kehidupan mereka dimana nampaknya hal tersebut tentunya selaras dengan ajaran agama islam.

Hal yang mungkin belum sempat kami nikmati adalah pengakuan atas hari besar keagamaan sebagai hari libur dan kurangnya ketersediaan makanan halal di sekitar kampus. Namun demikian hal tersebut dapat dimaklumi mengingat Jepang adalah negara yang relatif homogen penduduknya serta kondisi dimana para pemegang kebijakan masih dikuasai oleh warga asli

Amerika Serikat: Miniatur Dunia

Petualangan saya kedua adalah Amerika Serikat dimana sejak Mei lalu, saya berkesempatan menjalani karir pascadoktoral di bidang kardiovaskular di City University of New York (CUNY) School of Medicine di kota New York.  Sedikit berbeda dengan Tsukuba, kota sebesar New York tentunya memberikan tantangan lebih yang dibalut dalam kehidupan penuh keberagaman.

New York sering disebut sebagai melting pot dunia. Di kota ini, hampir semua agama besar ada dan hidup berdampingan. Universitas menjadi cermin kecilnya. Di CUNY, saya berinteraksi dengan kolega dari berbagai latar: Muslim, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, hingga mereka yang menyebut dirinya agnostik atau sekuler. Walaupun berbeda keyakinan, hubungan antarindividu tetap terjaga penuh rasa hormat. Terkait kemudahan menjalankan syariat islam, relatif sangat mudah bagi saya untuk menemukan makanan halal serta tempat ibadah yang tersebar di penjuru kota.

Hal menarik lainnya, pemerintah kota New York juga memberi pengakuan formal terhadap keberagaman ini. Sejak beberapa tahun lalu, Idul Fitri dan Idul Adha ditetapkan sebagai hari libur resmi di sekolah-sekolah public, termasuk CUNY. Saat Idul Adha yang lalu, saya pun merasakan langsung kemudahan ini, kampus saya memberi hari libur sehingga saya bisa melaksanakan ibadah tanpa terburu-buru oleh tuntutan pekerjaan. Meskipun saya belum mengalami Ramadhan di sini, pengalaman Idul Adha itu menjadi kesan mendalam tentang bagaimana sebuah kota multikultural memberi ruang yang setara bagi seluruh agama.

Para pemegang kebijakan di Amerika Serikat pun memiliki latar belakang yang sangat beragam baik dari asal keturunan maupun dari agama yang dianut. Mereka menyadari kebutuhan untuk memfasilitasi tiap-tiap agama demi memenuhi keinginan masing-masing warga negara. Namun demikian dibalik fasilitas kemudahan yang ada, terdapat tantangan atas kehidupan heterogen dimana kota New York seringkali menampilkan  sisi gelap yang diwujudkan dalam kejahatan maupun rasa kebencian yang seringkali ditemui sehari-hari. Berbeda dengan kehidupan jepang yang relatif damai, seorang muslim di New York harus dihadapkan dengan kejutan-kejutan maupun hal-hal yang mungkin bersinggungan dengan kekerasan serta kebencian atas agama.

Moderasi yang Hidup dalam Keseharian

Berdasarkan pengalaman dari 2 negara tersebut, moderasi beragama adalah sangat dibutuhkan dalam menyikapi keadaan berbeda yang kita temui. Cara pandang dan sikap kita sebagai muslim sangat menentukan hasil yang akan didapatkan. Sebagai kaum minoritas yang hidup jauh dari tanah air, seorang muslim harus mampu menempatkan dirinya secara tepat. Kehidupan di Tsukuba  mengajarkan bahwa moderasi beragama diwujudkan dalam cara pandang dan prilaku kita dalam menyikapi keterbatasan fasilitas ibadah namun berada di tengah masyarakat jepang yang santun dan homogen. Di sisi lainnya, kehidupan di New York memberikan tantangan bagaimana muslim harus bersikap di tengah fasilitas dan kemudahan beribadah namun dihadapkan dengan kehidupan heterogen yang rentan dengan konflik antar umat beragama.

Sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia pendidikan, secara pribadi saya melihat bagaimana institusi pendidikan dapat menjadi sarana diskusi untuk membangun hubungan yang harmonis antar sesama pemeluk agama. Di sekeliling lingkungan kerja saya saat ini, terdapat beberapa rekan kerja maupun mahasiswa yang berasal dari latar belakang  pendidikan, negara dan agama yang berbeda, dimana cara berkomunikasi sangat penting fungsinya.  Ilmu-ilmu serta informasi yang saya sampaikan tidaklah bersifat saling merendahkan namun lebih kepada bagaimana saling melengkapi. Sebagai seorang pendidik saya juga berkewajiban untuk menjelaskan secara logis dan ilmiah atas sikap saya, dimana contohnya adalah bagaimana saya harus menjelaskan alasan tidak mengkonsumsi alcohol maupun perbuatan saya lainnya sesuai ajaran Islam.

Pelajaran Moderasi: Dari Qur’an ke Kehidupan

Pengalaman ini mengingatkan saya pada firman Allah dalam QS. Al-Hujurāt [49]:13:

“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan; kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa...”

Ayat ini menegaskan bahwa keragaman adalah bagian dari kehendak Allah. Moderasi beragama berarti menghadirkan iman dengan cara yang ramah dan menghargai kemanusiaan universal. Bukan menyeragamkan, melainkan menjadikan perbedaan sebagai jalan untuk saling belajar.

Di Indonesia, kita sering menghadapi perdebatan identitas agama dalam ruang publik. Dari pengalaman di Jepang dan USA, pluralitas justru bisa melahirkan kolaborasi yang kaya bila dijaga dengan sikap saling menghormati. Moderasi adalah jembatan, menjaga komitmen pribadi terhadap agama sekaligus menghadirkan manfaat bagi masyarakat luas.

Islam Berkemajuan dan Global Citizenship

Apa yang saya saksikan di sini sejalan dengan gagasan Muhammadiyah tentang Islam Berkemajuan, agama sebagai rahmat, pendorong ilmu pengetahuan, dan kekuatan peradaban. Dalam ruang akademik global, saya melihat kolega Muslim tetap dapat menunaikan ibadah dengan khidmat, sembari aktif berkontribusi pada riset medis mutakhir. Sementara itu, kolega dari tradisi lain menampilkan nilai etika kemanusiaan yang juga berakar dari keyakinan mereka.

Hal ini menunjukkan bahwa keberagamaan sejati tidak berhenti pada simbol, tetapi hadir dalam bentuk kontribusi. Islam yang moderat adalah Islam yang menghadirkan solusi, bukan sekadar menonjolkan identitas.

Pengalaman diatas telah memberi saya pelajaran penting, bahwa moderasi beragama yang paling nyata tampak dalam keseharian yang sederhana, memberi ruang bagi perbedaan, menempatkan diri secara tepat, dan menjadikan agama sebagai sumber kontribusi sosial. Nilai-nilai inilah yang selaras dengan misi Muhammadiyah, menghadirkan Islam yang mencerahkan, inklusif, dan berkemajuan.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan. Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Mari kita lepaskan sejenak pand....

Suara Muhammadiyah

4 October 2024

Wawasan

Belajar dari Kiai Dahlan dan Jackie Chan Oleh: Agusliadi Massere, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan I....

Suara Muhammadiyah

27 December 2023

Wawasan

Menggagas Koperasi Merah Putih Syariah: Jalan Tengah Keadilan di Tengah Ketimpangan Oleh: Rafiq Azz....

Suara Muhammadiyah

26 July 2025

Wawasan

Ramadhan, Lebaran dan Sikap Egaliter Oleh: Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay, S.H.,M.H., Bidang Advo....

Suara Muhammadiyah

30 March 2025

Wawasan

Oleh: Amalia Irfani, Sekretaris LPP PWM Kalbar/Dosen IAIN Pontianak  Pendidikan adalah bagian ....

Suara Muhammadiyah

5 May 2025