Urgensitas Revitalisasi Perkaderan di Muhammadiyah

Publish

16 May 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
343
Anggota PCM Jetis Yogyakarta saat melakukan perkaderan dalam Baitul Arqam. Foto: Cris

Anggota PCM Jetis Yogyakarta saat melakukan perkaderan dalam Baitul Arqam. Foto: Cris

Oleh: Prof Dr Mohammad Nur Rianto Al Arif, MSi, Ketua PDM Jakarta Timur

 

Muhammadiyah bukan sekadar organisasi keagamaan; ia adalah gerakan pembaruan Islam yang telah berusia lebih dari satu abad. Dalam kurun waktu tersebut, Muhammadiyah telah mencetak banyak tokoh nasional, memajukan pendidikan umat, memelopori pelayanan kesehatan, hingga menyuarakan gagasan Islam yang berkemajuan.

Namun di tengah pesatnya perubahan zaman, tantangan baru menghadang. Salah satu tantangan yang paling krusial adalah menurunnya kualitas dan keberlanjutan kaderisasi di tubuh Muhammadiyah. Di sinilah pentingnya revitalisasi perkaderan sebagai strategi jangka panjang untuk memastikan keberlangsungan, daya tahan, dan daya saing gerakan ini.

Meskipun secara struktural Muhammadiyah memiliki sistem perkaderan yang mapan, seperti Darul Arqam, Baitul Arqam, Pelatihan Instruktur, dan sejenisnya, faktanya banyak wilayah dan cabang mengalami stagnasi dalam merekrut, membina, dan mengembangkan kader. Bahkan, tidak sedikit pimpinan di tingkat ranting hingga wilayah mengeluhkan "langkanya kader muda militan" yang siap mengisi ruang-ruang strategis organisasi.

Fenomena ini mencuat dalam berbagai forum Musyawarah Ranting hingga Muktamar. Persoalan ini juga kerap dibicarakan secara informal oleh para aktivis senior yang khawatir bahwa roda organisasi akan kehilangan pelumasnya jika kaderisasi tidak segera diperbaiki. Kesenjangan antar generasi, fragmentasi pemahaman ideologis, serta menurunnya minat generasi muda untuk berkhidmat dalam organisasi adalah gejala-gejala krisis yang nyata.

Mengapa kaderisasi Muhammadiyah mengalami stagnasi?

Pertama, perkaderan cenderung formalistik dan elitis. Banyak pelatihan kader hanya menjadi rutinitas administratif tanpa sentuhan ideologis yang kuat atau praksis gerakan yang membumi. Peserta datang, mendengarkan ceramah, lalu pulang tanpa transformasi yang mendalam. Hal ini menjadikan perkaderan tidak menyentuh jantung keimanan, keintelektualan, dan aktivisme kader.

Kedua, kurangnya integrasi antara amal usaha dan proses kaderisasi. Banyak kader muda bekerja di amal usaha Muhammadiyah (sekolah, rumah sakit, universitas), namun tidak diberdayakan dalam struktur organisasi. Bahkan, tidak sedikit guru di sekolah Muhammadiyah yang tidak mengenal AD/ART Muhammadiyah, tidak aktif di organisasi otonom, bahkan tidak merasa menjadi bagian dari gerakan.

Ketiga, dominasi senioritas yang tidak produktif. Di beberapa tempat, kaderisasi dibatasi oleh politik internal yang mengedepankan loyalitas personal ketimbang kualitas kader. Kader muda yang potensial kadang tersingkir karena dianggap “kurang sopan” atau “tidak sabar”, padahal mereka membawa semangat perubahan dan inovasi.

Keempat, kurangnya adaptasi dengan realitas digital dan budaya generasi Z. Dalam dunia yang serba cepat dan digital, perkaderan masih banyak terjebak pada pendekatan lama. Padahal, generasi muda kini lebih akrab dengan platform daring, budaya visual, dan pendekatan berbasis komunitas.

Revitalisasi perkaderan bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Tanpa pembaruan sistem kaderisasi, Muhammadiyah bisa mengalami "kemunduran dalam kemapanan", yaitu situasi di mana organisasi terlihat mapan secara struktur tetapi rapuh secara ideologis dan regenerasi.

Beberapa alasan mengapa revitalisasi perkaderan menjadi suatu hal yang penting dan mendesak. Pertama, revitalisasi ini untuk menjawab tantangan global dan nasional. Dunia sedang mengalami perubahan geopolitik, krisis iklim, revolusi industri 5.0, hingga transformasi digital yang disruptif. Umat Islam dan bangsa Indonesia membutuhkan kader-kader Muhammadiyah yang visioner, berwawasan global, namun tetap berakar kuat pada nilai Islam dan keindonesiaan. Tanpa perkaderan yang kontekstual dan adaptif, sulit mencetak kader seperti ini.

Kedua, revitalisasi memastikan proses regenerasi kepemimpinan. Sebagai organisasi kader, Muhammadiyah tidak boleh kekurangan stok pemimpin. Regenerasi tidak bisa dibiarkan terjadi secara alamiah, tapi harus dirancang dengan cermat. Revitalisasi perkaderan akan menjadi kunci untuk memastikan kesinambungan kepemimpinan dari tingkat ranting hingga pusat.

Ketiga, revitalisasi menumbuhkan militansi ideologis. Dalam era post-truth dan banjir informasi, kader Muhammadiyah harus punya landasan ideologis yang kokoh. Revitalisasi perkaderan perlu menekankan pentingnya paham Islam berkemajuan, keadaban publik, dan etos dakwah yang inklusif.

Keempat, revitalisasi menghidupkan amal usaha sebagai kawah candradimuka. Amal usaha tidak boleh hanya menjadi ladang ekonomi, tapi juga wahana kaderisasi. Revitalisasi perkaderan perlu mengintegrasikan orientasi ideologis dalam manajemen amal usaha agar terjadi sinergi antara gerakan dan institusi.

Revitalisasi perkaderan tidak cukup dengan seruan moral. Ia harus diwujudkan dalam kebijakan, struktur, metode, dan budaya baru yang lebih relevan dan membebaskan. Terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh persyarikatan dalam proses revitalisasi perkaderan ini. 

Strategi pertama ialah reformulasi kurikulum dan metode perkaderan. Kurikulum perkaderan perlu direvisi agar lebih reflektif, dialogis, dan aplikatif. Pendekatan andragogis (pendidikan orang dewasa), experiential learning (belajar dari pengalaman), dan penggunaan teknologi digital harus diutamakan. Materi-materi klasik tetap penting, tetapi harus dikontekstualisasi dengan isu kontemporer seperti ekologi Islam, teknologi, ekonomi syariah, gender, dan pluralisme.

Strategi kedua ialah membangun sistem kaderisasi berbasis data. Revitalisasi perkaderan memerlukan sistem informasi kader yang akurat dan terintegrasi dari pusat hingga ranting. Dengan big data kader, organisasi dapat memetakan potensi, minat, dan kompetensi kader secara tepat, sekaligus melakukan evaluasi dan rotasi kader secara objektif.

Strategi berikutnya ialah sinergi antara organisasi otonom, amal usaha, dan struktur persyarikatan. Organisasi otonom seperti IPM, IMM, NA, Tapak Suci, hingga Pemuda Muhammadiyah harus menjadi ruang aktualisasi kader muda secara berjenjang. Namun perlu ada kebijakan bersama untuk menjamin kaderisasi lintas struktur. Amal usaha juga harus disinergikan sebagai media pembinaan ideologis, bukan semata lembaga teknokratis.

Revitalisasi kultur organisasi menjadi salah satu strategi yang harus dilakukan oleh persyarikatan. Kultur senioritas yang menghambat perlu dikikis. Digantikan dengan budaya mentoring, kolaborasi antar generasi, dan kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Kader muda perlu diberikan ruang, kesempatan, dan kepercayaan untuk memimpin tanpa merasa terhambat oleh tradisi hierarkis.

Strategi kelima ialah digitalisasi perkaderan. Pandemi COVID-19 menjadi pelajaran bahwa pelatihan dan perkaderan daring bukan hal tabu. Muhammadiyah perlu membangun platform digital perkaderan yang interaktif, open access, dan modular agar siapa pun bisa belajar dan tumbuh di mana saja.

Strategi terakhir ialah inklusivitas dan penguatan jaringan kader perempuan. Revitalisasi perkaderan harus inklusif, termasuk terhadap perempuan. Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah perlu memperkuat peran strategis kader perempuan dalam isu-isu publik. Kader perempuan Muhammadiyah tidak hanya berkutat di ranah domestik atau sosial, tapi juga harus tampil di ruang-ruang strategis pengambilan kebijakan.

Muhammadiyah dibangun di atas semangat tajdid—pembaruan yang berakar pada pemurnian akidah dan pemajuan kehidupan umat. Spirit ini harus terus dihidupkan dalam perkaderan. Tanpa kader yang ideologis, cakap, dan progresif, gerakan ini hanya akan menjadi organisasi sosial-keagamaan yang statis, kehilangan daya transformasi.

Revitalisasi perkaderan bukan hanya soal mengganti metode, tetapi soal membangun kesadaran kolektif bahwa kader adalah investasi jangka panjang. Tidak ada kemajuan tanpa kader. Tidak ada kader tanpa perkaderan yang kuat.

Sudah waktunya Muhammadiyah membangun paradigma baru dalam perkaderan: dari rutinitas menjadi gerakan pembebasan; dari seremonial menjadi transformasional; dari birokrasi menjadi aksi ideologis. Hanya dengan begitu, cita-cita Indonesia yang berkemajuan dan Islam yang rahmatan lil ‘alamin akan terwujud melalui tangan-tangan kader Muhammadiyah.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Kapan kemenangan dari Allah akan datang? Banyak orang yang mengajukan pertanyaa....

Suara Muhammadiyah

13 November 2023

Wawasan

Milad 66 Uhamka: Merenda Peradaban Berkemajuan Oleh: Prof. Dr. Abdul Rahman A. Ghani Momen Ulang t....

Suara Muhammadiyah

17 November 2023

Wawasan

Jurgen Klopp  Membahas berita tantang berhentinya Jurgen Klopp sebagai Manajer Liverpool rasan....

Suara Muhammadiyah

22 May 2024

Wawasan

Oleh: Nur Ngazizah Dosen UM Purworejo Frugal living adalah praktik gaya hidup hemat yang bertujuan ....

Suara Muhammadiyah

13 November 2024

Wawasan

Anak Saleh (21) Oleh: Mohammad Fakhrudin "Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui pr....

Suara Muhammadiyah

12 December 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah