SURAKARTA, Suara Muhammadiyah - Suasana Seminar Nasional Risalah Islam Berkemajuan di Ruang Seminar Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sabtu (10/5), berlangsung dinamis dan sarat gagasan. Seminar tersebut menjadi bagian dari rangkaian Rapat Kerja Wilayah Lembaga Pengembangan Pesantren (LPP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah yang menyoroti strategi konkret dalam mencetak kader ulama melalui penguatan institusi pesantren.
Ketua LP2M PWM Jawa Tengah, Dr KH Muhammad Irzal Fadholi, SThI., MPd., MPdI., tampil sebagai pembicara utama dengan gagasan-gagasan tajam. Ia menekankan perlunya reformasi manajerial dalam sistem pesantren agar lebih terukur dan berorientasi pada hasil.
"Penetapan Sekretaris LPP dan BDN se-Jawa Tengah harus diarahkan pada integrasi KPI dalam setiap kegiatan. Insyaallah akhir Juni kita adakan rapat koordinasi mudir se-Jawa Tengah di Unimus juga," tegas Irzal, Sabtu (10/5).
Irzal menekankan pentingnya etos kerja baru di kalangan pengelola pesantren. “Kita nggak boleh lagi omon-omon, kita harus maksimal. Supaya pesantren kita juga maksimal. SDM-nya harus produktif, harus inovatif, jangan menunggu perintah,” ujarnya.
Dalam pemaparannya, Irzal menekankan tiga pilar utama dalam penguatan pesantren. Pilar pertama adalah membangun sumber daya manusia yang tangguh. Pilar kedua adalah sistem. Tak lupa, ia mengajak para mudir dan pengelola LPP-BDN memahami secara utuh tata kelola pesantren.
“Kurikulumnya harus jelas, pengasuhannya harus baik, kegiatan ekstrakurikulernya harus kumbul, dan studi lanjutnya harus clear. Empat komponen ini adalah sistem yang harus panjenengan semua bikin,” paparnya.
Sementara pilar ketiga adalah nilai atau value. Irzal mewanti-wanti agar pesantren Muhammadiyah tidak kehilangan ruh. “Jangan sampai alumni pesantren Muhammadiyah nggak punya nilai. Nggak care dengan pesantrennya. Padahal kalau pesantren bisa besar, itu karena alumninya,” ujarnya sambil mencontohkan tokoh yang sukses berkontribusi, seperti Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Fajar Riza Ul Haq.
Lebih lanjut, Irzal menegaskan nilai dasar pesantren Muhammadiyah harus berlandaskan ruhul ikhlas. “Jangan pernah pesantren Muhammadiyah punya relasi dengan mencari duit dari santri. Itu haram hukumnya. Pesantren harus sederhana, disiplin, dan berbudi tinggi,” tegasnya. Tanpa kedisiplinan, menurutnya, seluruh kegiatan akan mudah berantakan.
Ia juga mengkritik sikap anti terhadap kelompok lain. “Nggak usah kita ini Muhammadiyah, dia NU, lalu dijauhkan. Kita rampul. Ambil nilai positifnya. Pesantren tradisional pun bisa jadi mitra. Kolaborasi ini kekuatan sosial. Jangan jadi sektarian,” serunya.
Pesan penting lainnya yang ditekankan Irzal adalah penguatan intelektualitas dan kemandirian berpikir. Ia menilai bahwa nadzir atau pemimpin pesantren harus berwawasan luas, tidak cukup hanya memahami Tarjih, melainkan mampu menggali berbagai sumber keilmuan.
Pola pikir kewirausahaan dan sikap independen, kata dia, wajib dimiliki oleh para calon ulama agar tidak tunduk pada tekanan oligarki. “Jadilah ulama yang menyatakan kebenaran, bukan yang membenarkan kenyataan,” tegas Irzal.
Dalam konteks pengembangan pesantren, ia menyebut bahwa beasiswa telah disiapkan bagi para santri dan alumni untuk melanjutkan studi, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Namun, ia menekankan pentingnya kesiapan sistem agar program tersebut berkelanjutan.
Seminar ini juga menghadirkan Direktur Eksekutif Departemen Ekonomi dan Syariah Bank Indonesia Ita Rulina, yang menggarisbawahi pentingnya membangun kemandirian ekonomi pesantren melalui sinergi strategis dengan lembaga-lembaga keuangan nasional.
Dalam paparannya, Ita menekankan pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan dan pembinaan moral, tetapi juga memiliki potensi besar sebagai penggerak ekonomi umat jika dikelola dengan baik.
“Kolaborasi dengan Bank Indonesia sangat krusial untuk menciptakan kemandirian ekonomi yang berkelanjutan,” ujarnya di hadapan peserta seminar.
Ia menjelaskan Bank Indonesia memiliki berbagai program pemberdayaan ekonomi berbasis pesantren, mulai dari pelatihan literasi keuangan syariah, fasilitasi pembentukan koperasi pesantren, hingga pendampingan usaha mikro dan kewirausahaan santri.
Lebih jauh, Ita menyebut pesantren memiliki keunikan dalam model sosial dan kulturalnya yang bisa menjadi kekuatan ekonomi tersendiri. Dengan pendekatan komunitas yang solid dan jejaring alumni yang luas, pesantren memiliki basis untuk mengembangkan usaha kolektif yang berbasis nilai-nilai keislaman.
“Pesantren memiliki kekuatan sosial yang tidak dimiliki lembaga lain. Jika ini dikapitalisasi dengan baik melalui kolaborasi multipihak, dampaknya bisa luar biasa,” tambahnya.
Acara kemudian ditutup dengan sesi diskusi interaktif yang memperlihatkan antusiasme tinggi dari para peserta. Seminar ini menjadi bukti komitmen kuat PWM Jawa Tengah untuk memperkuat posisi pesantren sebagai basis utama kaderisasi ulama yang unggul, terbuka, dan berintegritas. (Genis/Humas)