Mu`tazilah dan Pilihan Bebas (Bagian ke-1)

Publish

25 September 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
841
sumber gambar: pixabay.com

sumber gambar: pixabay.com

Oleh: Donny Syofyan

Islam adalah agama terbesar ke-2 di muka bumi, namun pengikutnya hanya mewakili 1 persen dari dunia saintis. Hanya beberapa orang saja dari negara-negara Islam atau yang penduduknya mayoritas Muslim yang memperoleh hadiah Nobel dalam sains. Sebelum pengepungan dan penyerangan Baghdad oleh pasukan Monggol pada 1258, sains Islam adalah yang paling maju di dunia. Dibandingkan dengan masa lalu, disparitas umat Islam modern sangat jauh ketinggalan. Untuk memahami kurang atau lemahnya kemajuan sains umat Islam dewasa ini, kita harus mengeksplorasi masa lalu.

Dalam masa pra-Islam, para pedagang dari Asia, Afrika dan Eropa berdagang sepanjang jalur-jalur kuno dan membarter hasil tani, ternak, dan lain-lain dengan koin dan produk yang diinginkan. Produk yang paling berharga adalah sutera. Begitu berharganya, sutera kerap digunakan sebagai alat tukar dan merupakan barang mewah yang secara universal merepresentasikan kekuasaan dan kekayaan. Saking bernilainya bahkan rute tertua dinamakan Jalur Sutra (Silk Route). Masyarakat Romawi dan Persia telah mengeksplorasi jalur ini dan membangun infrastruktur yang diperlukan untuk menyokong dan memfasilitasi aktivitas perdagangan. Namun sejak kedua belah pihak disibukkan dengan peperangan dan konflik, potensi besar Jalur Sutra tidak pernah terealisasi.

Pada abad ke-8, dinasti Abbasiyah menggulingkan penguasa Umayyah dan mewarisi daerah-daerah yang dulunya bagian kekaisaran Romawi dan Persia. Dengan demikian, masyarakat Arab menguasai wilayah yang membentang dari Semenanjung Iberia hingga pinggiran China dan India. Ketiadaan penghalang politik lama memungkinkan gagasan dan komoditas peradaban sebelumnya untuk menyebar dan berinteraksi satu sama lain. Ketika para kafilah mengadakan perjalanan sepanjang Jalur Sutra, mereka berjual beli gelas Mesir, bubuk safron Persia, kuda Turkoman, baja Tamil, porselen dan keramik China, dan banyak lagi yang lainnya.

Jantung dari Jalur Sutra adalah dinasti Abbasiyah. Artinya, jika kekaisaran Romawi ingin mengimpor kayu cendana dari Gujarat atau budak-budak Nubia, mereka harus bepergian di sepanjang pos pemeriksaan yang berlawanan. Untuk merespons peningkatan aktivitas perdagangan, pemerintahan Abbasiyah mendirikan kota-kota baru sebagai pusat-pusat perdagangan sepanjang Jalur Sutra, di antaranya Samarkand, Tabriz dan sebagainya. Dalam periode sejarah inilah keragaman, kemewahan dan kekayaan Merv lebih dikenal sebagai ‘Mother of Earth’ (Ibu Bumi). Sementara saingannya, Ray, yang kini berlokasi di Teheran waktu itu disebut sebagai gerbang perdagangan. Namun kota paling penting waktu tak lain adalah Baghdad.

Khalifah Al Manshur, khalifah ke-2 dari dinasti Abbasiyah, telah membangun Baghdad di suatu lokasi di mana sungai Efrat dan Tigris bertemu pada persimpangan tersempit. Keberhasilan ini mengantarkan Al-Manshur menetapkan Baghdad sebagai ibukota kekhalifahan Abbasiyah, bukan Damaskus. Tak menunggu lama, ibukota baru ini berkembang sebagai pusat metropolitan baru yang mempunyai taman, tempat pemandian umum, pasar, mesjid, sekolah, istana, aula pertemua bahkan rumah sakit. Kehidupan warga dan kota mengalami kemajuan pesat. Hingga akhir abad ke-10 Baghdad mewujud sebagai kota terbesar di dunia.

Baghdad tumbuh lewat perusahaan-perusahaan swasta, rasa haus akan ilmu pengetahuan, keahlian yang luar biasa dan berkembangnya makanan-makanan eksotis di ibukota Abbasiyah ini. Baghdad menjadi salah satu tempat paling awal yang mengalami globalisasi dalam sejarah. Orang-orang ingin mengenakan busana baru, mencicipi makanan yang beraneka, dan menampilkan barang-barang eksotis. Salah satu barang paling eksotis adalah kertas China, yang terbukti sangat bermanfaat bagi birokrasi Abbasiyah yang kian meluas.

Para penguasa Abbasiyah mendirikan banyak pabrik kertas di berbagai kota, seperti Bashrah, Alexandria dan juga Baghdad. Seiring perjalanan waktu, bahan-bahan kepenulisan makin murah dan tersedia luas. Sebagai konsekuensinya, ketersediaan kertas secara masif mendorong aktivitas-aktivitas pencatatan, penulisan puisi dan ilmu pengetahuan. Ketika literasi meningkat dan buku menjadi barang umum, maka pekerjaan manual tak lagi dibutuhkan untuk melangsungkan kehidupan. Para ilmuwan bisa menikmati kehidupan yang berlimpah dengan menulis ide dan buku baru. Akibatnya, revolusi intelektual berkembang pesat dan pasar untuk informasi melonjak.

Mengingat tegaknya dinasti Abbasiyah berawal dari pemberontakan nasionalis Persia, maka dinasti Abbasiyah memiliki banyak persamaan dengan tradisi-tradisi Sasaniyah (dinasti yang pernah berkuasa di Persia), salah satunya adalah menjaga atau mempertahankan perpustakaan kerajaan yang sangat besar. Karenanya, ketersediaan kertas yang murah berkontribusi bagi perluasan perpustakaan kekhalifahan Al-Rasyid. Sang khalifah mempekerjakan para sarjana untuk menerjemahkan karya-karya dari bahasa Yunani, China, Sanskerta dan Persia dalam bidang fisika, kimia, matematika, astronomi, filsafat, geografi, dan lain-lain ke dalam bahasa Arab.

Kemajuan teknologi membantu memecahkan persoalan keseharian. Sebagai misal, studi di bidang astronomi dan trigonometri membantu menentukan arah ke Makkah, jadwal shalat, dan sebagainya. Proses-proses teknologi turut memajukan teknik rekayasa dan memicu revolusi agraris. Ketika para sarjana ini sibuk dan tanpa kenal lelah menerjemahkan setiap teks sains, dinasti Abbasiyah tanpa sadar telah melakukan globalisasi ilmu pengetahuan. Gerakan masif ini kemudian dikenal sebagai ‘Gerakan Penerjemahan’ dan bahasa Arab segera menjadi bahasa ilmu pengetahuan. 

Ketika gerakan ini mendapatkan momentumnya, imperium Abbasiyah yang sudah dikenal sebagai adikuasa militer, ekonomi dan budaya maka pada saat yang sama juga menjelma sebagai surga intelektual. Para ilmuwan atau sarjana yang berambisi untuk mencari kedamaian dan stabilitas riset berbondong-bondong melakukan imigrasi ke Dunia Islam. Di antara tokoh-tokoh terkenal yang bermigrasi ke Baghdad adalah dinasti Barmakid, sebuah keluarga sangat berpengaruh dari Balkh (Iran). Keluarga ini merupakan pemimpin Budha turun-temurun sebelum menjadi Muslim. Di bawah dinasti Abbasiyah, keluarga ini menjadi patron untuk para dokter dan mereka yang melakukan kajian-kajian medis dan pengobatan. Dinasti lain yang hijrah ke Baghdad adalah keluarga Bukhtishu, keluarga Nashrani ahli bedah yang membantu menerjemahkan sumber-sumber Zoroaster dan Sasaniyah dari Persia. Masa itu bila seseorang hendak belajar sains, maka imperium Abbasiyah adalah tempatnya—(Bersambung)

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Marwah Hakim  Oleh: Ahsan Jamet Hamidi Kabar tentang dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim ....

Suara Muhammadiyah

17 November 2023

Wawasan

Nubuwah Era Digital dan Aplikasinya dalam Pembelajaran Oleh: Dr. Samson Fajar, M.Sos.I. Era digita....

Suara Muhammadiyah

28 September 2023

Wawasan

Memahami Impian Rakyat Oleh: Sobirin Malian, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Ketika ....

Suara Muhammadiyah

23 August 2024

Wawasan

Oleh: Dartim Ibnu Rushd  Bulan ramadhan telah datang di tengah-tengah kita. Di bulan ramadhan ....

Suara Muhammadiyah

23 March 2024

Wawasan

Oleh: Mahli Zainuddin Tago Kampleks  BBGP, Jalan Kaliurang-Jogja, Jumat 9 Febr 2024. Suasana s....

Suara Muhammadiyah

16 February 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah