Muhammadiyah Sebagai Sistem
Oleh: Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.
Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang bertumpu utama pada sistem organisasi yang bernama persyarikatan. Amal usaha, program, dan kegiatan Muhammadiyah itu seluruhnya tersistem dalam kendali organisasi di bawah Persyarikatan. Semua aset dan kehartabendaan tertib tercatat dan resmi di bawah badan hukum Persyarikatan. Muhammadiyah sendiri sebagai organisasi merupakan satu badan hukum dengan otoritas Pimpinan Pusat, sehingga selain itu tidak ada badan hukum lainnya termasuk tidak dibolehkan ada yayasan di dalam Muhammadiyah.
Kepemimpinan Muhammadiyah dari Pusat sampai Ranting terstruktur dalam sistem organisasi, termasuk praktik kepemimpinan kolektif pun bukan kolektif-kolegial ala kepemimpinan tradisional yang berdasarkan kehendak para pemimpinnya dalam kolektivitas tetapi dikendalikan sistem organisasi. Bukan kepemimpinan kolektif-kolegial menurut tafsir orang perorang. Bahkan, konsep kepemimpinan kolektif-kolegial itu sejatinya lebih merupakan spirit atau jiwa kebersamaan, sedangkan roda kepemimpinan yang berlaku resmi ialah kepemimpinan berbasis sistem organisasi yang di dalamnya terdapat otoritas berjenjang dan ada pembagian kerja atau tugas.
Karenanya para anggota, kader, dan terutama pimpinan dari Pusat sampai Ranting dengan seluruh komponennya penting memahami keberadaan atau eksistensi dan identitas atau jatidiri Muhammadiyah sebagai sistem yang bernama organisasi atau Persyarikatan. Termasuk yang berada di organisasi otonom, majelis, lembaga, biro, amal usaha, dan unit kelembagaan lainnya agar memahami dan mengikuti koridor sistem organisasi dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Jangan individu atau aktor yang menonjol dan menentukan, tetapi sistem atau organisasi itulah yang diutamakan dan menentukan segala urusan Muhammadiyah sebagai Persyarikatan.
Sistem Organisasi
Muhammadiyah sebagai sistem organisasi menamakan dirinya “persyarikatan”. Kata “persyarikatan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah “perkumpulan; ikatan; perhimpunan; 2. perseroan; kongsi; 3. persekutuan; perseroan; kongsi.”. Kata “serikat” artinya “1. perkumpulan (perhimpunan, gabungan, dan sebagainya); 2. persekutuan (dagang); perseroan; 3. sekutu; kawan (dalam perang dan sebagainya). Adaun berserikat ialah “bersama-sama mengusahakan sesuatu (seperti berdagang); 2. bersatu merupakan perkumpulan (gabungan, ikatan, dan sebagainya; 3. bersekutu (dengan); berkawan (dengan)“.
Dalam Berita Tahunan tahun 1927 disebutkan dengan jelas bahwa “Kalimat Syarikat itu berarti kumpulannya beberapa orang untuk melakukan sesuatu dengan semufakat mungkin dan bersama-sama”. Pandangan Muhammadiyah tersebut sejalan dengan pendapat ahli yang menyatakan, “Organisasi adalah suatu sistem perserikatan formal, berstruktur, dan terkoordinasi dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam mencapai tujuan tertentu.” (Hasibuan, 2011). Jadi dalam sistem organisasi Muhammadiyah yang disebut “Persyarikatan” orang bukan sekadar berhimpun biasa, apalagi berupa kumpulan orang-perorang semata. Perhimpunan orang itu harus merupakan satu kesatuan yang bermufakat untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi dengan dasar, usaha, tujuan, dan segala ketentuan yang mengikat para anggota yang berhimpun itu dalam satu sistem.
Menurut W.J.S. Poerwadarminta, “Organisasi adalah susunan dan aturan dari berbagai bagian (orang atau kelompok) sehingga menjadi satu kesatuan yang teratur dan tertata.”. Bila ada orang menyatakan, “berorganisasi kok banyak aturannya”, hal itu tentu tidak sejalan dengan asas organisasi. Karena organisasi itu melekat dengan tatanan yang di dalamnya terdapat aturan dan keteraturan dalam suatu kesatuan sistem dalam berorganisasi, sehingga orang apalagi pimpinan tidak boleh berbuat dan melangkah sekehendaknya dengan mengabaikan koridor organisasi. Konsep kepemimpinan “kolektif-kolegial” yang selama ini menjadi bagian dari mekanisme organisasi, haruslah berada dan dibingkai sistem, bukan kepemimpinan yang terlepas dari sistem apalagi hanya mengikuti kehendak dan pandangan perorangan.
Menurut Max Weber organisasi itu merupakan suatu kerangka terstruktur yang di dalamnya berisikan wewenang, tanggung jawab, dan pembagian kerja untuk menjalankan masing-masing fungsi tertentu dalam satu kesatuan. Lahirlah otoritas dan birokrasi dalam organisasi. Organisasi tanpa birokrasi memang bukan organisasi tetapi kolektivitas atau kerumunan semata. Bagi Weber, birokrasi sebagai suatu struktur administrasi tertentu yang bekerja berdasarkan otoritas yang beorientasi legal dan peran formal.
Karenanya menjadi salah bila ada orang yang merasa terganggu dengan ketentuan organisasi, sebab watak organisasi itu memang berisi ketentuan-ketentuan yang mengikat para anggotanya. Tentu saja ketentuan itu tidak sembarangan, sehingga organisasi kehilangan fleksibilitasnya dalam mencapai tujuan. Birokrasi organisasi juga terbuka pada perubahan atau pembaruan. Lahirlah reformasi organisasi dan birokrasi dalam menghadapi perkembangan dan tantangan organisasi, sehingga organisasi mampu bertahan laman di tengah gelombang zaman.
Adaptasi Pimpinan
Sistem menurut Talcott Parsons memerlukan adaptasi (adaptation), integrasi (integration), cara mencapai tujuan (goal attainment), dan pemeliharaan pola (pattern maintenance). Organisasi sebagaimana berlaku di Persyarikatan Muhammadiyah mengatur dan menjadi koridor bagi anggota dalam “berperilaku, baik dalam berpikiran maupun bertindak, sehingga individu yang berada dalam organisasi itu tidak boleh berkehendak dan berbuat sendiri. Itulah makna adaptasi sekaligus integrasi, cara mencapai tujuan, dan pemeliharaan pola dari para anggota terhadap keberadaan dan keberlangsungan sistem tersebut.
Menurut Shafritz & Ott yang dirujuk Levy (2009) bahwa “organisasi merupakan sejumlah pemikiran dan konsep yang menjelaskan atau memperkirakan bagaimana organisasi/kelompok dan individu di dalamnya “berperilaku”, dalam berbagai jenis struktur dan kondisi tertentu”. Di sinilah pentingnya individu atau anggota, apalagi para pimpinan dalam suatu organisasi untuk menyesuaikan diri (beradaptasi dan berintegrasi) menjadi bagian dari dan bertindak sejalan dengan organisasi. Para anggota tidak boleh bertentangan dengan sistem dan kebijakan Persyarikatan.
Khusus bagi para pimpinan penting untuk seksama dalam membawa bahtera Muhammadiyah. Bagaimana seksama mengelola organisasi serta menghadapi permasalahan dan relasi dengan kehidupan keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan global. Jangan mudah mensubordinasikan sebaliknya membenturkan Muhammadiyah dengan pihak lain yang membuat nasib Persyarikatan dipertaruhkan. Bagi anggota dan pimpinan yang memiliki kebiasaan kritis agar tetap menjaga keseksamaan dan keseimbangan dalam memposisikan Muhammadiyah. Amar makruf dan nahi munkar pun harus dijalankan dengan seimbang (tawazun), tengahan (tawasuth), adil, objektif, mengikuti koridor organisasi, serta sesuai kadar dan objeknya sehingga tidak ekstrem atau berlebihan, subjektif, dan berdasarkan kehendak sendiri.
Muhammadiyah tentu bersikap cerdas dan kritis manakala ada masalah prinsip yang krusial dalam kehidupan internal, umat, bangsa, dan kehidupan global. Namun semua masalah itu dihadapi dan disikapi dengan berbagai pertimbangan yang menyeluruh dan tidak parsial, objektif dan tidak subjektif, proporsional dan tidak berlebihan, serta berpijak pada koridor organisasi. Jangan menjadikan organisasi Muhammadiyah yang besar itu sebagai institusi oposisi yang selalu berhadapan secara konfrontatif dengan pihak lain, apakah dengan pemerintah maupun organisasi lain. Gunakan pendekatan “dakwah lil-muawajjahah” yang bermuatan proaktif, positif, konstruktif, dan solutif sebagaimana pandangan Muhammadiyah. Bukan “dakwah lil-mu’aradlah” yang bersifat reaktif, negatif, destruktif, dan apologetik. Kedepankan kepentingan organisasi yang lebih besar ketimbang kehendak, kecenderungan, pola pikir, dan sikap pribadi yang sempit dan subjektif-individual. Hakikat berorganisasi itu justru menyesuaikan dan menyelaraskan diri ke dalam sistem, bukan memaksa sistem agar sejalan dengan kehendak diri.
Muhammadiyah bukanlah kerumunan orang-perorang yang setiap anggotanya boleh bertindak sendiri. Muhammadiyah itu satu sistem organisasi yang harus diikuti dan menjadi komitmen seluruh anggotanya untuk bertaat asas. Organisasi dengan segala prinsip, nilai, dan ketentuannya harus dijadikan standar bersikap dalam bermuhammadiyah ke dalam maupun ke luar. Jangan ada personal yang merasa lebih besar dan menjadi penentu standar berorganisasi lebih dari organisasi itu sendiri. Pandangan kolektif-kolegial pun harus berbasis organisasi dan bukan mengikuti tafsir dan standar perorangan. Bila anggota maupun pimpinan tidak taat asas organisasi dan lebih mengedepankan orientasi pribadi, lantas siapa yang harus menaati dan menjaga eksistensi organisasi. Anggota dan pimpinan dalam Muhammadiyah tidak di atas organisasi tetapi di dalam organisasi. Jangan menjadikan pikiran dan sikap pribadi menjadi pikiran dan sikap organisasi, apalagi dengan cara memaksakan kehendak.
Karena itu dalam berorganisasi semua anggota, lebih-lebih pimpinan, haruslah ikhlas menyatukan hati, pikiran, dan tindakan dalam jiwa persaudaraan untuk berada dalam satu barisan yang kokoh sebagaimana Surat Ash-Shaff ayat-4 dalam Al-Qur’an. Jangan sebaliknya dalam berorganisasi anggota dan pimpinan bertindak sendiri-sendiri, berdasarkan pikiran sendiri, memaksakan kehendak sendiri, dan mengambil jalan sendiri-sendiri. Jika anggota dan pimpinan Muhammadiyah tidak menyatukan barisan, maka bukan berorganisasi dalam sistem, tetapi menyalahi dan mengangkangi sistem!
Sumber: Majalah SM Edisi 04 Tahun 2023