Oleh: Donny Syofyan
Baru-baru ini Menko PMK Muhadjir Effendy mewacanakan larangan haji lebih dari sekali. Sebetulnya ini bukanlah gagasan baru. Ulama sepakat bahwa haji diwajibkan sekali seumur hidup. Menurut Muhadjir, wacana itu disampaikan lantaran masa tunggu haji di Indonesia cukup lama. “Peminat haji di Indonesia itu luar biasa, banyak sekali. Kalau tidak ada kebijakan melarang mereka yang sudah haji, untuk berkali-kali, maka peluang untuk yang lain yang belum berangkat bisa berhaji itu kecil," kata Muhadjir di kantor Kemenko PMK, Jakarta, Minggu (27/8/2023). Jadi prioritas berangkat haji akan diberikan kepada masyarakat yang belum berangkat.
Untuk memahami persoalan ini, kita bisa kembali kepada kaidah ushul fikih. Sebagai misal,
mencegah kerugian lebih baik daripada mendapatkan manfaat—dar'ul mafâsid muqaddamun `alâ jalbil mashâlih (درء المفاسد مقدم على جلب المصالح). Sekarang, jika ada orang-orang dirugikan, atau tidak beruntung di sekitar kita dan mereka membutuhkan uang, maka lebih baik bersikap meringankan bahaya itu (dengan membantu mereka secara finansial dengan serius) daripada pergi ke Makkah untuk naik haji yang sejatinya adalah untuk kepentingan pribadi atau diri sendiri.
Prinsip di atas juga terbuhul dengan prinsip lainnya yang tak jauh berbeda, yakni kepentingan umum harus diprioritaskan dari pada kepentingan yang bersifat khusus (taqdim al-maslahah al-‘ammah ‘ala al-maslahah al-khasshah). Ketika ada kebutuhan publik yang lebih prioritas dan kemiskinan di sekitar kita, maka upaya membantunya secara finansial mesti lebih didahulukan atau diutamakan. Boleh jadi ada Islamic Center atau sekolah-sekolah di mana anak-anak belajar tentang Islam yang membutuhkan dukungan kita. Alih-alih mengeluarkan uang untuk pergi haji, jauh lebih mulai bila uang yang kita punyai digunakan untuk membantu lembaga-lembaga tersebut.
Dengan pemahaman demikian, kita bisa mengerti bagaimana uang yang kita punyai dapat menghasilkan kebaikan terbesar. Karenanya, naik haji berulang kali memang tidak direkomendasikan. Kita bisa memilih untuk tidak melakukan sesuatu yang kurang bermanfaat dan mengerjakan sesuatu yang jauh lebih bermanfaat.
Pilihannya memang dilematis. Bila Anda mengatakan kepada orang yang ingin menunaikan ibadah haji untuk kesekian kalinya, “Cukup haji sekali saja!” maka mereka bisa saja menggunakan kelebihan rezki yang mereka nikmati dengan berwisata ke tempat lain dengan kapal pesiar, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini, tentu pilihan naik haji akan lebih baik. Tapi sebetulnya mereka bisa saja berziarah ke tempat-tempat yang punya nilai kesejarahan Islam, semisal daerah-daerah kelahiran para Nabi dan Rasul.
Perlu diingat, bagaimanapun juga, bahwa memberikan uang untuk aktivitas amal tidak sama dengan pergi haji. Ibadah haji tidak hanya memerlukan pengorbanan finansial, tetapi juga menuntut pengorbanan waktu kita. Ada opportunity cost yang hilang atau terbuang karena kita harus meninggalkan pekerjaan sehingga kehilangan penghasilan untuk waktu tertentu. Tak kalah pentingnya bahwa ada kekuatan fisik untuk menunaikan ibadah haji. Semua itu menegaskan banyak perbedaan antara haji dan ibadah lainnya. Semuanya mensyaratkan pengorbanan pribadi.
Kita bisa membaca banyak hadits Rasulullah SAW yang mendorong kita berkunjung ke Baitullah untuk naik haji. ada penghapusan dosa bagi jamaah haji yang tidak berbuat maksiat. Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang berhaji, lalu tidak berkata keji dan tidak berbuat dosa, niscaya ia pulang (suci) seperti hari dilahirkan oleh ibunya,’” (HR Bukhari, Muslim, An-Nasai, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Nabi menegaskan balasan surga bagi jamaah haji yang mabrur, "Umrah ke umrah merupakan kafarah (dosa) di antara keduanya. Sedangkan haji mabrur tiada balasan baginya kecuali surga,’” (HR Malik, Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Al-Asbihani)."
Bahkan ada hadits yang menyebutkan pemberian syafaat pada 400 anggota keluarganya. “Dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari ra dengan marfu dari Rasulullah saw, ‘Orang yang berhaji dapat memberikan syafaat kepada 400 orang keluarga atau keluarganya dan ia akan keluar dari dosanya seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya," (HR Al-Bazzar).
Namun demikian, para ulama tetap bersepakat bahwa naik haji berulang kali memang tidak dianjurkan sebagaimana telah di jelaskan di atas. Ini bukanlah sesuatu yang etis. Jauh lebih afdal bagi mereka yang sudah naik haji mensponsori saudara-saudaranya yang lain untuk bisa berziarah ke Makkah buat menunaikan panggilan Nabi Ibrahim ini. Wallâhu a`lam.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas